Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Rabu, 31 Juli 2013

PERGI KE PASAR ( JREENG. .JREENG ) :D



Pagi tadi seperti biasa aku berangkat kerja dengan berjalan kaki, menyelusuri jalan yang berkelok-kelok dan melewati beberapa petak rumah. Setiap kaki melangkah, dalam hatiku terlantunkan lagu-lagu nasyid Edcoustiq yang sudah hapal di luar hati, eh maksudnya di luar kepala hehe. Namun tetap saja hati yang bernyanyi riang bukan kepala bukan ?. Hal itu hampir aku lakukan setiap hari, lagu-lagu yang di nyanyikan bisa ganti lagu apa saja, tergantung mood. Bukankah kata seorang ahli fiksi yang bernama Darwis Tere Liye mengatakan, kalau mau tahu isi hati seseorang tanyain lagu apa yang sekarang dia suka. Nah ternyata memang benar. Contoh, kalau aku lagi kangen-kangennya sama Allah, yang dinyanyiin lagu-lagu yang berbau islami banget, seperti Opick misalnya. Allah Engkau dekat, penuh kasih sayang. Takkan pernah Engkau biarkan hamba-Mu menangis.………….. teessss air mata sudah bertumpah ruah di pipi, sampai pada bapalan siapa yang tiba diujung pipi duluan, lalu netes ke bawah lantai. Padahal itu baru satu lirik, ya begitu deh kalau lagi kangen-kangennya ( ciyyee ) hehehe. Nah kalau galau lagi melanda, yang mucul itu lirik lagu yang super bikin galau. Contoh lagi, kaya lagu Geisha judulnya Lumpuhkan Ingatan. Begini lirik lagunya. Lumpuhkanlah ingatakanku hapuskan tentang Dia, hapuskan memoriku tentangnya. Beeuhhh itu lagu beneran bikin suasana hati nambah tidak karuan. Beberapa langkah lagi aku tiba di tempat kerja. Ku dengar suara lagu Maher Zain disalah satu rumah. Hatiku makin tambah adem.

            Sesampainya di tempat kerja. Aku beres-beresin barang yang kemarin di acak-acakin sama mamang tukang cat, biasa mau lebaran jadi di cat baru hehehe. Semua barang yang disimpan sembarangan tempat aku rapihkan, ditaro di tempat semula. Pyuuhhh. Pagi-pagi sudah mengusap peluh di dahi. Keringat pun nyucur.

            Setelah selesai. Tiba-tiba Bosku datang nyuruh aku pergi ke pasar, beli gorden baru. Kayanya si Bos pengen dilebaran kali ini semuanya serba baru. Nah tugas yang seperti ini yang aku suka. Kerja sambil jalan-jalan, seperti yang sebelumnya di tugaskan ke Megamendung sama Subang. Tidak apa-apa deh kalau kali ini cuma ke pasar doang, yang penting sama kaya jalan-jalan juga hehe. Bendahara di tempat kerjaku ngasih uang Rp. 250.000 saja. Buat beli 2 gorden + ongkos mamang tukang ojek. Aku sejenak berfikir dan bergumam dalam hati, semoga uang segitu cukup. 

            Berangkatlah aku dengan mamang tukang ojek yang mangkal didepan tempat kerjaku. Namanya mamang Jalek. Bukan jelek ya. Dan aku sudah memastikan kalau mang Jalek tahu dimana tempat yang jualan gorden dengan bertanya terlebih dahulu. Maklum pasar kan luas. Jadi biar simpel, tidak menjelajah semua toko yang ada di pasar.

            Saat diperjalanan. Aku dan mang Jalek ngobrol dengan akrab. Mang jalek menanyakan banyak hal padaku, dan aku dengan senang hati menjawab setiap pertanyaannya. Yang kami obrolkan memang obrolan biasa, lumayan biar perjalananya tidak bete. 

            Tak lama kemudian. Mang jalek lebih memilih diam dan pandangannya fokus ke depan. Sesekali Dia berhasil menyalip mobil-mobil angkot yang bikin macet karena tidak move on – move on, kelamaan mangkal. Ada juga yang berhenti mendadak, menurunkan sembarangan penumpang di pinggir-pinggir jalan. Aku lebih memperhatikan apa-apa yang ada di jalan, seperti rumah-rumah yang catnya berwarna merah, coklat, kuning, biru, lebih singkatnya MEJIKUHIBINIU. Ada warung-warung kecil, bengkel, mesjid-mesjid, dan lain-lain. Ada juga anak-anak yang sedang bermain di pinggir jalan, memungut botol bekas teh gelas, merobek penutupnya dan memasukan tanah ke dalam botol bekas. Entahlah, mereka seperti asik dan anteng dengan bermain kotor-kotoran. 

            Kurang lebih 20 menit, kami tiba di pasar dan langsung di sambut ramah oleh penjaga toko.

            “ beli apa neng ? “ Tanya ibu penjaga toko. Dia terlihat sedang sibuk membersihkan barang-barangnya dari debu-debu jalanan yang menempel. Ku lihat anaknya pun sedang sibuk menata baju-baju yang akan dipajang didepan tokonya.

            “ maaf bu, disini jualan gorden ndak bu ? “. Aku tersenyum, bertanya. Ingin memastikan kalau aku tidak salah masuk toko. 

            “ oh. Ada. Ada. Mau yang kaya gimana ?. “ jawabnya riang. Ibu penjaga toko sudah berjalan kearah tumpukan gorden yang dilipat di atas lemari kaca, berniat memperlihatkan beberapa gorden yang bisa aku pilih. 

            “ semeternya berapa ya bu ? “ Aku bertanya lagi, mengingat ukuran kaca yang tadi sudah diukur oleh mamang tukang cat. Lebar 2,5 m dan panjang 2m. Tanganku sudah memegang beberapa gorden, menimbang-nimbangnya. Kira-kira warna apa yang cocok dan enak di pandang.

            “ 1 meternya 50ribu neng, mau berapa meter ? “.  Tanyanya.

            “ yang 2,5 meter ada ?. “ Tanyaku singkat. 

            “ coba nanti dihitung dulu. Jadi mau warna apa ? “. Tanyanya lagi.

            “ Biru. “ Karena aku suka warna biru, ya sudah aku pilih warna biru. 

            Ibu penjaga toko langsung menghitung beberapa lipatan yang ada dalam 1 gorden warna biru. Katanya 6 lipatan berarti 1 meter, 2 meter berarti 12 lipatan ada juga yang sampai 13 lipatan.

            Mataku menatap kesekeliling toko, melihat-lihat barang apa saja yang di jual di toko itu. Dan beberapa lama kemudian pembeli lain pun berdatangan. Mereka mulai berebut ingin dilayani duluan. Karena proses pembelianku agak lama, jadi sekitar 20 menit aku disuruh nunggu oleh ibu pemilik toko. Tak apalah hitung-hitung ngebuburit. eh tapi kan ini masih pagi ? masa ngepapagi, eh ndak enak di ucapnya, sudah tetep pakai istilah ngebuburit saja. 

            Aku tetap asik menunggu dengan memperhatikan sekeliling, entah sejak kapan aku jadi orang yang pemerhati hehe. Hal itu memang sudah jadi kebiasaanku.

 Ibu pembeli baju gamis kuning busuk sudah dilayanin. Ibu pembeli handuk hijau tua sudah dilayanin. Ibu pembeli baju batik untuk suaminya sudah dilayanin. Dan hei, yang memenuhi tokonya dominan para ibu-ibu, hanya aku yang masih muda. Setelah itu, datang bapak-bapak yang ingin membeli kain putih. Al hasil aku di suruh nunggu lagi. 

“ aduhh si Eneng yang dari awal datang disuruh nunggu, ndak apa-apa ya Neng ?. “ senyumnya ramah. 

“ ndak apa-apa bu, asal nanti di diskon saja 50%. “ jawabku sekenanya. 

Sontak orang-orang yang ada di toko itu tertawa, termasuk aku. 

10 menit berlalu. Bapak pembeli kain putih sudah dilayani. Sekarang tibalah giliranku. 

“ jadi semuanya 200ribu ya bu ?. “ tanyaku yang sudah selesai menghitung duluan. Sebenernya sih semuanya 245ribu, tapi sengaja aku pas-in dengan bilang semuanya 200ribu. 

            “ ndak bisa atuh neng, ini udah ibu kurangin. “ jawab Ibu penjaga toko, dengan kukuh.

            “ lah masa di kuranginnya dikit bu ? nih aku cuma bawa uang segini. “ kataku sambil melihatkan uang 200ribu pas. Terus uang 50ribunya kemana ?, aku umpetin di tangan kiri, karena kebetulan aku ndak bawa dompet. Aku genggam saja uang itu sampai agak sedikit basah, berlumuran air keringat yang keluar dari tangan. Itu taktik biasa, aku rasa hampir semua orang yang hendak berbelanja tak pernah lupa memakai taktik seperti itu. 

“ ndak bisa Neng, beli gorden satu dulu saja. “ jawabnya memberikan solusi. Aku mengusap-usap daguku sok mikir serius padahal fikiran bingung dan buntu.

Terjadilah perdebatan antara si penjual dan pembeli. Debat soal pengurangan harga, yang dua-duanya kukuh. Yang satu ingin diskon 50%, dan yang satu lagi tetap tidak mau menurunkan harganya. Sampai lupa sama mang Jalek yang sudah lama menunggu di depan toko. Jadilah aku yang sedikit mengalah, tak mau lama-lama berdebat. Kasian ke mang Jalek, Bos juga sudah kirim sms padaku, “ sudah balik lagi belum ? “. Uang 50ribu itu aku keluarkan. Tapi aku sedikit agak maksa minta potongin lagi harganya 5ribu saja, biar aku bisa pulang buat ongkos ojek mang Jalek. 

Singkat cerita, sampailah aku di tempat kerja.

Matahari mulai meninggi. Debu-debu jalanan mengering, mudah terhempaskan oleh angin. Daun-daun pohon bambu yang hijau melambai-lambai, daun yang sudah tua dan kering terjatuh dari tangkainya. Dua orang anak kecil berlarian di atas trotoar, mengejar burung-burung yang sedang meloncat-loncat kesana kemari, mencari makan untuk anak-anaknya. Dua orang anak kecil itu tampak riang, mengusir burung-burung itu yang tetap memilih terbang, hinggap lagi, terbang, hinggap lagi. Terus saja seperti itu sampai burung itu mendapatkan secuil makanan, rezeki yang telah Tuhan janjikan padanya.  

Setelah itu, aku langsung masuk ke ruang kerjaku. Ku panggil mamang tukang cat, sebentar saja menghentikan pekerjaan yang sedang di kerjakannya untuk membantuku langsung memasang gorden yang baru ku beli. Gorden putih bermotif bunga-bunga, di buka oleh mamang tukang cat untuk di ukur. Dari situ Nampak sekali kesalahanku, aku lupa tidak bilang kalau gorden yang ingin ku beli memiliki panjang 2 meter, sedangkan aku hanya menyebutkan lebarnya saja yang 2 meter. Ya jadi gordennya terjulur hingga ke atas lantai, terlalu kepanjangan. Hufh. Tapi sangat beruntung bos tidak mempermasalahkan hal itu, malah mempermasalahkan yang lain. 

“ ndak usah pakai gorden dalamnya, warnanya juga kenapa di bedain ?. “ tanyanya padaku. 

Sontak aku pun kaget mendengar perkataan bos, ndak usah pakai gorden dalam ? aduh kenapa ndak bilang pas aku kirim sms, menanyakan mau beli warna apa. Dengan biasanya bos menjawab smsku dengan “ terserah “. Warna gorden sengaja aku bedakan biar bervariasi. Sekarang bilang ndak usah ? saat itu juga aku memutar balikan otak, berfikir mencari jalan keluarnya.

“ ya sudah, kembaliin lagi saja bos. Tuker lagi sama uang, gimana ?. “ jawabku menawarkan dengan sedikit kesal juga harus bolak-balik. Mau ndak mau harus di lakukan, itu satu-satunya cara terbaik yang aku fikirkan. Semoga saja bisa di tukar.

“ iya, tukarkan saja. Berangkat lagi sama mang Jalek. “ perintahnya. Kedua tangannya sedang asik bernari lincah di atas keyboard laptopnya, entahlah sedang mengetik apa.

Aku hanya mengangguk pelan mengiyakan. Tak lupa aku mengambil bukti pembelian dari bendahara. Motor mang Jalek langsung melesat dengan cepat. Diperempat jalan, sebelum mang Jalek bertanya kenapa aku balik lagi ke pasar, aku sudah duluan bergerutu bilang “ tadi di sms bilang warna di jawab terserah, sekarang malah bla. .bla. .bla. . “ panjang sekali aku bercerita sama mang Jalek. Mang Jalek hanya ketawa mendengar aku bercerita. 

Setelah obrolanku yang panjang dengan mang Jalek, aku memutuskan untuk diam. Menatap kesal ke segala penjuru. Ku lihat anak-anak tadi masih bermain di pinggir jalan, kini aku melihat kearah ibu-ibu penjaga konter, ibu itu menatap lesu ke jalanan, mungkin kesal dan bosan menunggu pelanggan yang tak kunjung datang. Aduh moodku ini langsung berubah jadi jelek, dan merambat ke semuanya. Semuanya yang aku perhatikan. Sepersekian detik, aku memutuskan menarik nafas perlahan. Berharap moodku bisa kembali membaik. 

Dari kejauhan ku lihat ada anak laki-laki, kira-kira umurnya sekitar 12 atau 13 tahunan sedang memandikan motor maticnya di salah satu tempat pencucian motor. Anak itu tampak terlihat sedang kesulitan mematikan air keran yang keluar, muncrat kemana-mana, sulit di kendalikan. Dia terus mengarahkan air keran itu ke arah jalan, dan ketika mang Jalek memutuskan menerobosnya. Byyuuurrr, air deras itu tepat mengenai mukaku, membasahi kerudung yang ku kenakan dan sebagian pakaianku. 

“ Dasar bocah. “ kataku mendengus kesal, tambah buruk sudah moodku.

Anak laki-laki itu hanya tertawa dari kejauhan, tak merasa bersalah atas kejadian tersebut. Mang Jalek hanya bertanya, 

“ Kena Neng. ? “ tanyanya padaku. 

“ Kena muka mang. “ jawabku dengan nada yang kesal. Aku mengusap mukaku dari cipratan air menggunakan ujung kerudung. 

Motor mang Jalek pun berlalu, anak kecil itu sudah tak terlihat lagi setelah kita melewati belokan pasar dan sampai di toko penjual gorden tadi.

Tak lama-lama aku pun langsung menjelaskan maksud dan tujuanku kembali ke toko tersebut. Sempat ada sedikit pembelaan dari ibu toko, 

“ kalau belanja di matahari, yang sudah dibeli ndak bisa dikembalikan. “ belanya.

“ kan ini bukan di matahari bu. “ jawabku meyakinkan. 

“ ya sudah ini harga 2 gorden kan 110ribu, tadi sudah di potong buat ongkos ojek 10ribu jadi uang yang dikembaliin 100ribu ya ?. “ kata-katanya penuh taktik, tak mau rugi.

“ ya deh terserah. “ jawabku ketus, tak mau menghabiskan banyak waktu hanya untuk berdebat lagi. Aduh lihatlah sebelumnya aku masih bisa berguyon, tertawa dengan ibu-ibu penjaga toko yang baik, dan sekarang semuanya berubah karena mood jelek itu. 

Aku pun kembali ke tempat kerja melewati jalan yang sama. Anak laki-laki tadi kini sedang mengelus-elus mesra motornya yang selesai di mandikan, mengelusnya sampai terlihat kinclong. Dia masih tertawa saat melihatku melintas, dan aku hanya tersenyum tipis menimpal tawanya. 

Cukup hari ini aku akan diam menyikapinya, untuk memulihkan moodku. Dan lagu yang ku dengar setibanya di tempat kerja yaitu lagu Maher Zain yang berjudul insya Allah. Aku tak mau mendengarkan lagu-lagu galau yang menambah moodku semakin jelek.


The End

*23 Juni 2013
*Al-Islamadina
*curhatan yang di buat cerpen, ya mungkin maksud ceritaku gitu hehe. :D


Tidak ada komentar:

Posting Komentar