Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Selasa, 15 Juli 2014

BULAN RUMAHNYA DIMANA?





            Malam ini aku melihat rembulan tak tersaput awan, langit nampak bersih. Tiba-tiba 2 keponakan aku muncul dari balik pintu rumah. Melihat aku lagi nongkrong di teras depan, mereka langsung menghampiri. Dan bertanya. Keponakan aku memang bawel. Hehehe.
Kanza              : Mbi lagi apa?
Aku                 : Lagi lihat bulan dong!
Zahra               : Mana, mana. (Sambil lari ke arahku, di ikuti Kanza juga).
            Beberapa menit kemudian, kami bertiga menyanyikan lagu Ambilkan Bulan. Hal ini bukan kali pertama kita lakukan. Aku suka mengajak mereka melihat bulan, juga keindahan alam lainnya. Agar mereka mengenal Tuhan mereka, Sang Maha Pencipta. Dan saat seperti inilah yang selalu menarik rasa penasaran mereka untuk bertanya, khas anak-anak. Sangat menggemaskan, lucu dan lugu. 
Kanza              : Mbi, bulan rumahnya dimana?
Aku                 : Bulan rumahnya di langit gelap, di atas sana. (Telunjuk kiriku tegak menusuk langit. Tangan kananku lagi di balut perban, jadi nunjuk pakai tangan kiri deh. Hiks).
Kanza              : Bukannya rumahnya itu di atas awan ya Bi? (Dengan raut wajahnya yang polos, dia bertanya. Bibirnya yang mungil mengatup-ngatup. Menggemaskan).
Aku                 : Bukan sayang. (Kedua bibirku pun tak tahan menarik segaris senyum melihat mereka, sungguh lucu, berwajah baby face, mungil. Ya Tuhan, apa dulu aku juga seperti mereka?).
            Aku bisa melihat rembulan di kedua mata mereka yang mengerjap-ngerjap, bersinar bak rembulan mini.
            Zahra. Keponakan aku yang satu ini tidak terlalu banyak bertanya. Dia sedari tadi melantunkan ritual pengambilan bulan.
Zahra               : Mbi, ambilkan bulan atuh. (Tak menyangka, dia diam-diam memendam keinginan yang sejenak membuat aku bingung menjawabnya. Pengaruh dari lagu).
            Kemudian aku membuka telapak tangan ke udara yang hampa, dan membenamkan rembulan disana. Aku menggegamnya. Lalu aku berikan pada keponakanku dengan ekspresi seru dan mengagetkan.   
Aku                 : Ayo, Aya ini bulannya, kantong mana kantong?
            Sempurna saja mereka terkejut, heran dan bingung.
Aku                 : Ayo, sini mana kantongnya, mbi masukin. (Mekar sudah  senyumku, gugur untuk mereka).
            Zahra langsung menyeringai gembira menerimanya. Berhasillah aku memancing imajinasi mereka haha.
Kanza              : Mbi, ko bulannya ndak jalan-jalan sih?
            Hahaha. Kali ini senyumku tak lagi mekar, melainkan berubah menjadi bom yang meledak-ledak. (Ehh, maksudnya senyumnya ding yang meledak-ledak :D).
Aku                 : Hmm... Bulannya lagi istirahat. Nanti jalannya kalau kalian sudah tidur. Hehe.
Kanza              : Aaaaahhh pengen liat bulan jalan... Ntal pas dede tidur bukan mbi?
            Ckckckck. Aku hanya mengangguk. Mengiyakan. Merasa kasian. Aku mengeluarkan ide cemerlang, mereka ingin melihat bulan berjalan bukan? Baiklah. Aku kasih tahu caranya.
Aku                 : Coba kalian jalan kesana dan lihat bulannya jalan ndak?
            Mereka langsung menuruti perintahku. Bergegas berjalan ke teras bawah.
Zahra               : Iiihh mbi, bulannya ngikutin aya.
Kanza              : Iya, bulannya jalan mbi. Bulannya jalan. (Mereka berseru sangat senang. Mereka tak lagi berjalan, dengan riang mereka berlari-lari kecil. Mungkin mereka ingin melihat bulan berlari?).
            Rembulan sempurna mengambang di kedua mata mereka yang mengerjap-ngerjap, berputar-putar, bulat seperti buah leci, mungil. Malam menjadi riuh oleh seruan dan decak kagum mereka. Dalam hatiku berseru,”Itulah keagungan Tuhan kita yang Maha Besar, sayang. Indah bukan? Dan kalian adalah rembulan yang mampu berjalan itu. Kalian adalah rembulannya ibu dan ayah kalian.”
            Dua puluh menit kiranya aku dijejali pertanyaan-pertanyaan lugu mereka. Lalu diakhiri dengan pertanyaan yang tak terduga.
Kanza                : Mbi, bulan kenapa sendirian?
            Jleeebb. Pertanyaan apa ini? Sejenak aku membetulkan kerudungku yang sedikit melengkung terkena hembusan angin malam. Aku juga baru ngeuh, kenapa rembulan malam ini cuma sendirian? Ternyata bintang-bintang tersamarkan awan.
Aku                 : Ada ko temennya. (Berfikir keras! Aah iya langit-langit malam itulah temannya. Dan langit-langit malam itulah... jodohnya. Aduh sayang  untuk yang satu ini tak akan ada jawaban. Suatu saat nanti kalian pasti mengerti. Rembulan itu....)
Zahra               : Temannya itu, awan ya mbi?
            Aku tersenyum, ragu mengiyakan saja.
Aku                 : Ada satu lagi temannya yang genit, suka ngedip-ngedipin mbi hehe.
Kanza              : Bintang ya mbi?
Aku                 : Iya sayang. Hmm, kalau malam ada bulan sama bintang, kalau siang ada apa hayoh? (Aku mengalihkan mereka dengan pertanyaan).
Kanza + Zahra  : Aaaaaawaaaaannn! (Terdengar seruan mereka yang menggelegar).
            Hey, ngomong-ngomong dari tadi jawaban mereka awan terus hihihi.
Aku                 : Bukan. Itu yang bulat kaya bulan, yang bikin panas. Tapi cantik. :D
            Beberapa menit mereka diam, bingung. Lalu aku pancing mereka dengan jawaban yang patah-patah aku lapalkan.
Aku                 :  Namanya. M.A.T.A......
Zahra               : MATAHARIIII.
Aku                 : Hoorreee. Iya, betul. Mm, udah yuk kita masuk rumah, udah malam.
            Tanpa perlu berkata dua kali. Mereka langsung berlari ke dalam rumah. Dengan aku yang menggiring mereka di belakangnya.
            Nanti pagi. Kita lihat matahari. Acara rutin kita, pagi hari bermandikan embun, menanti mentari, dan menunggu aungan kereta api. Dan mudah-mudahan kalian tidak bertanya di mana rumah matahari?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar