Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Selasa, 15 Juli 2014

HIJAB HATI




            Dedaunan di halaman sekolah berlari-lari dengan lincah di atas angin yang mengayun begitu lembut. Para siswa Madrasah Tsanawiyah terlihat sedang berbahagia, berlarian, main kejar-kejaran di lapangan hijau yang terbentang begitu luas. Ada juga yang tengah berteduh di bawah pohon durian yang rindang, sejenak, mereka menghirup gas O2 yang segar. Mengusut bulir keringat yang mengucur sangat deras. Anak perempuan dan laki-laki berbaur bersama. Suasana yang sangat riuh, saling sapa, bersenda gurau dan main-main. Belum terlihat perubahan pubertas yang matang pada mereka yang rata-rata baru lulus tingkat sekolah dasar, tingkahnya masih sangat lekat khas anak-anak yang identik dengan kepolosan.
            Suasana di bangku taman. 5 orang siswa perempuan sedang santai dan mencicipi jajanan. Dan salah seorang siswa membuka percakapan, mengajak bicara teman-temannya, dengan mulut yang penuh dengan goreng pisang yang di belinya di kantin sekolah.
Irma                 : “Eh temen-temen, besok mau pada ikut acara Maulid Nabi di Pesantren Al-Furqon gak? Katanya mau di hadiri Bapak Gubernur loh! Pasti rame.” Serunya, tangannya sibuk mengelap sisa-sisa minyak di bibirnya. Selang beberapa detik Irma menyeruput minuman es yang di bungkus plastik.
Nurma             : “Aku pengen ikut Ir, tapi jauh sih. Mana boleh sama Abiku, apalagi acaranya malem-malem. Abiku bisa ngomel, bilang,’Nurma, tidak baik anak gadis main malem-malem, lebih baik kamu belajar di rumah, tidak enak kalau di lihat tetangga anak gadis Abi satu-satunya di bebaskan keluyuran malem-malem,’ aku ngebayangin raut mukanya kalau lagi marah itu, serem bangeetttt. Hiihh.” Ujar Nurma yang bergidik membayangkan ketakutan, kalau-kalau Abinya marah.
Bintang           : “Alaah, sudah ketahuan kamu Nur, pasti tidak ikut. Secara gitu anak Abi hehehe,” sergah Bintang. “aku ikut Ir, mau main ke rumah kamu, pokoknya sediakan makanan yang banyak ya. Sekalian aku mau liat ikhwan-ikhwan yang cakep. Ckck.” Lanjutnya begitu antusias. Kemudian mengedipkan matanya, genit.
            Sontak Irma dan Nurma menyoraki Bintang secara bersamaan. Dari arah kejauhan, dua teman mereka, Mega dan Sally terlihat sedang berjalan mendekati mereka bertiga. Kedua temannya itu langsung berbaur dan mengambil posisi duduk.
Mega               : “Kalian sedang apa sih? Heboh amat!” Tanyanya, melerai keributan.
Sally                : “Iya, nih. Kumpul gak ngajak-ngajak kita ya Meg?”
Mega               : “Bener, Sal. Kalian gak asik ah.” Keluhnya.
Irma                 : “Haha ini nih, si Bintang bawaanya modus terus. Masa mau ikut acara Maulid cuma mau ngincer ikhwan-ikhwan cakep aja. Ckckck.” Irma menjawab di sela gelak tawanya. Dan kedua temannya yang baru datang itu juga menyatu dalam tawa.
Nurma             : “Eh, emang kalian dari mana.?” Merasa penasaran, ia bertanya, sejenak membungkus tawa teman-temannya. Memasukannya pada kontak yang lengang.
Mega               : “Kami tadi ada di Perpus, ngembaliin buku Fiqih yang kemaren di pinjem.” Jelasnya.
Nurma, Irma, dan Bintang      : “Oohh...” Secara serentak mereka membulatkan bibirnya.
Kemudian Irma berseru, tak kalah semangatnya dari awal dia mengajak Nurma dan Bintang, iya juga bersikap sama, mengajak kedua temannya yang baru datang. Seperti tidak di perkenankan untuk mengelak, mereka menggangguk, akan ikut hadir di acara Maulid Nabi yang selalu mendapatkan respon yang luar biasa baik dan heboh dari masyarakat untuk merayakannya.
Tak terasa detik waktu melesat begitu cepat. Acara perayaan besar-besar itu pun di gelar. Panggung yang megah pun sudah bertengger kuat di sebuah lapangan pesantren yang cukup luas, hiasan berupa pot-pot bunga, lampu-lampu yang berkerlap-kerlip, dan hiasan kaligrafi yang begitu indah terpahat di atas kayu jati yang mengkilap bertuliskan lapadz Baginda Habbibbana Wanabi’ana Muhammad SAW. Para ibu-ibu menjadi super sibuk, menyediakan makanan-makanan kecil untuk di hidangkan di atas meja-meja yang berjejer di depan panggung, khusus untuk menyambut Bapak Gubernur. Tidak seperti acara maulid tahun-tahun kemarin, yang hanya beralaskan terpal untuk kami duduk menghadap panggung, kali ini para petinggi pesantren, santri dan santriwati, para tertua kampung, Pak RT, Pak RW, Remaja Karang Taruna dan warga sekitar bersepakat untuk menyewa kursi-kursi beserta tenda kepada tukang rias yang biasa mentata rias di acara-acara hajatan.
Di sepanjang sisi-sisi jalan raya, sudah di padati oleh pedagang-pedagang dari mulai yang jualan makanan, sendal-sepatu, baju-baju, celana, mainan anak-anak, sampai yang jualan lukisan kaligrafi dan buku-buku islami pun turut memadati jalanan. Anak-anak, remaja, para orang tua hingga lansia ikut hadir di acara Maulid Nabi SAW.
Saat acara dimulai, di buka oleh salah seorang santri dengan Tilawatil Qur’an. Dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari petinggi pesantren, satu perwakilan tertua kampung, dan satu perwakilan dari remaja karang taruna.
Di lapak aksesoris jepitan dan jam tangan, Irma, Bintang, Mega dan Sally berkumpul. Benar saja, Nurma tidak hadir. Mereka berempat asik memilah-milih aksesoris, seperti ikat rambut, bando, bros, cincin, gelang, kalung, anting, dompet, kacamata berwarna, yang semua itu terbuat dari plastik, bukan dari emas, alias Kw-Kwan.
Mega               : “Menurut kalian ini bagus gak sih.?” Tanyanya yang menimbang-nimbang dua ikat rambut berwarna jingga dan biru. 
 Sally               : “Lebih bagus yang biru Meg!” Responnya singkat. Sally tahu, biar perkara ini cepat beres, jangan kelamaan menimbang, tahu deh kalau Mega jajan aja suka lama. Pilih-pilih.
Irma                 : “Udah yuk kita nyari tempat duduk, pegel nih.” Keluh Irma, pandangannya mencari-cari kursi yang kosong.
Bintang           : “Kita duduk disana!” Serunya. Ketiga temannya mengikuti kemana arah telunjuk Bintang tertuju.
Sally                : “Itu kan deket tempat duduk para santri.?”
Bintang           : “Iya, ayolah. Gak apa-apa kali. Kagak usah malu-malu, aku saja yang tidak pakai kerudung biasa saja tuh.” Katanya, sambil menyeret lengan ketiga temannya yang malah bengong.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti karena mendengar seruan seseorang yang memanggil-manggil nama mereka. Terlihat orang itu berlari-lari kecil, menghampiri mereka dengan deruan nafas yang tersengal.
Nurma             : “Assalamu’alaikum semuanya,” serunya sambil memburu nafas dengan kasar,”ma... maaf ya... aku telat.”
Bintang           : “Hey, kamu jadi datang juga, gak di marahin Abimu?”
Nurma             : “Gak lah, malah Abiku yang ngajak ke sini. Katanya sekalian ngajak Mas Thoriq jalan-jalan.”
Secara bersamaan Irma dan Mega berseru, dan bertanya-tanya siapa nama yang baru saja Nurma bilang? Yang jelas terasa sangat asing bagi mereka.
Irma & Mega   : “Mas Thoriq? Siapa tuh.?” Tanyanya menyelidik.
Nurma             : “Dia sodara dari jauh, kebetulan lagi liburan di sini. Itu orangnya!” Telunjuk Nurma mengarah ke seseorang yang sedang berdiri tegap di sebelah Abinya. Orang itu memiliki perawakan yang tinggi, sedang, berwajah teduh, hitam manis dan berlesung pipi. Dengan mengenakan baju koko berwarna hitam putih, memakai jasko, peci hitam dan celana hitam mengkilap. Tampak manis dengan kacamata minusnya, mampu terbaca kalau orang tersebut berpendidikan.
Seketika semua teman-temannya membuang pandangan mereka, mengikuti telunjuk Nurma yang menunjuk pada seseorang yang alim dan rupawan. Hampir secara bersamaan mereka berseru,’Wah...’ terpana.
Bintang           : “Mengapa gak bilang-bilang sih, kalau kamu punya sodara setampan itu Nur? Tampannya.”
Sally                : “Kenalin ke kita-kita dong!” Ujar Sally sambil menyikut lengan Nurma.
Nurma             : “Hm... kalian mau ku kenalkan dengan Mas Thoriq.?”
Jalan sudah, teman-temannya semangat mengangguk, telihat sumringah. Tawaran yang menggembirakan bagi mereka bisa berkenalan dengan ikhwan sholeh yang umurnya tidak terpaut jauh dengan mereka, hanya selisih 4 atau 5 tahun saja. Namun terlihat dewasa dan berwibawa.
Nurma               : “Oke... Oke... Aku kenalkan kalian dengan Mas Thoriq. Asal kalian jangan malu-maluin, plus jangan nanya yang aneh-aneh, terutama kamu, Bintang.”
Tanpa ada yang tawar-menawar, meminta lebih dari perkenalan yang di tawarkan Nurma, mereka serempak mengamininya. Dan keempat temannya langsung menguntit di belakang Nurma yang berjalan mendekati sodaranya dan Abinya yang berdiri di dekat kursi para tertua kampung dan remaja karang taruna. Mereka berbaur bersama, saling sapa dan berbasa.
Sally                : “Subhanallah, semakin dekat semakin nampak jelas ya tampannya. Mukanya bersinar tanda ketaatan pada Tuhan.” Pujinya, pandangannya terpikat.
Irma                 : “Setuju deh sama kamu.” Irma melihat, takjim jua.
Akhirnya Nurma memanggil sodaranya yang benama Thoriq itu kehadapan teman-temannya. Di tariknya lengan Thoriq sedikit menjauh dari Abinya yang sedang sibuk berbincang dengan pak RT.
Thoriq              : “Ada apa de, ko narik-narik lengan Mas? Mas mau dibawa kemana?”
Nurma             : “Aku mau kenalkan Mas sama teman-temanku.” Nurma menyeringai bahagia, senang sekali punya sodara setampan Thoriq. Lihatlah teman-temannya tidak sabar untuk berkenalan dengan Masnya.
Bintang           : “Hai... Assalamu’alaikum Mas Thoriq!” Sapanya genit. Diantara teman-temannya yang lain, Bintang memang agak agresif sama yang namanya ikhwan. Dan Dia satu-satunya yang tidak mengenakan kerudung, hanya mengenakan baju panjang dan celana panjang seadanya. Yang menurutnya simple.
Yang di sapa kaget, ketika tahu namanya disebut. Nampak gugup si yang punya nama ketika menjawab salam dari Bintang.
Thoriq              : “Was... salamu’a... alaikum. Hai ju... jug... juga...”
Nurma tiba-tiba menyambar percakapan mereka, mencoba menetralisir situasi biar tidak saling canggung.
Nurma             : “Bintang. Dia namanya Bintang Mas, yang pakai kerudung hitam ini namanya Irma, yang pakai kerudung abu namanya Sally, dan yang pakai warna kerudung hijau terang ini namanya Mega. Mereka semua teman-temanku.” Cerocos Nurma, memperkenalkan teman-temannya.
Irma, Sally dan Mega  : “Salam kenal Mas Thoriq.” Senyuman merekah dibibir mereka. Berharap ikhwan yang ada didepannya mau memetik senyumnya.
Thoriq              : “Oh kalian temannya De Nurma. Iya, salam kenal juga ya. Afwan, De Bintang kenapa tidak pakai kerudung.?”
Tak disangka, kalau Thoriq bakalan langsung menodongkan pertanyaan seperti itu pada Bintang, yang sedari tadi merangkai senyum saat memandang Thoriq. Sementara Bintang gelalapan, memalingkan raut wajahnya yang malu itu kepada teman-temannya, bingung mau dijawab apa?
Mega                           : “Dia memang tiap hari gak pakai kerudung Mas, eh kecuali pas di sekolah aja ding.” Malu-malu, Mega menerangkan.
Bintang semakin tertunduk malu. Entah Dia mendapatkan ilham dari mana, beberapa menit kemudian memutuskan untuk memberikan alasan kenapa Dia tidak mengenakan kerudung. Tidak tahu kalau jawaban itu pas atau tidak, yang penting Dia ingin menjawab, supaya sedikit bisa melunturkan raut wajah yang terlanjur tersirat malu dihadapan Thoriq.
Bintang           : “Aku belum terbiasa pakai kerudung Mas, hanya sesekali saja pakainya. Karena belum siap sih. Tapi insya Allah, hati aku dihijabi ko. Hatinya dulu baru luarnya. Hehe.” Bintang menjawab, ragu. Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Thoriq             : “Loh ko gitu? Memang hati bisa dihijabi? Allah tidak menyuruh demikian bukan? Lagian hukum berhijab bagi kaum Hawa itu wajib loh.”
Jelas sudah, dari gaya bicaranya sudah beda, dewasa. Thoriq memang bukan remaja-remaja yang seperti biasa Bintang dan teman-temannya kenal.
Nurma             : “Oh gitu, tapi banyak Mas, yang gak pakai kerudung alasannya mau hijabin hatinya dulu...,” kilahnya, “bukan begitu temen-temen.?”
Keempat temannya mengangguk secara bersamaan.
Thoriq             : “Sebenarnya arti hijab itu apa sih.?”
Sally                : “Kalau gak salah, artinya penutup ya Mas.?” Jawab Sally, mengakrabi.
Thoriq             : “Iya betul. Jadi sama saja artinya hijab hati itu menutup hati dari peringatan-peringatan Allah. Kan sejatinya hijab itu untuk menutup aurat, bukan untuk menutup hati.”
Bintang           : “Astagfirullah, jadi artinya gitu ya Mas.?”
Bintang dibuat merinding sekaligus takut mendengar jawaban dari Thoriq.
Thoriq             : “Ya kurang lebih artinya gitu lah. Semoga De Bintang nanti mau membiasakan pakai kerudung ya.” Jawabnya sambil tersenyum, ramah.
Bintang           : “Kalau sudah tau artinya begitu, pasti aku pakai Mas. Serem juga ya.” 
Nurma             : “Dan semoga yang udah pakai, tetap istiqomah. Amin.”
Seketika semuanya berseru,’Amin.’
Bintang           : “Senang rasanya bisa kenal Mas Thoriq, bisa dapat pencerahan. Hehe.” Matanya melirik genit. Yang dilirik hanya melempar senyum.
Mega               : “Temen-temen udah kan kenalannya? Kita duduk di depan panggung yuk? Kita liat penampilan marawis.” Ajaknya, sambil menarik-narik lengan keempat temannya.
Bintang           : “Ayoo Meg. Kita duduk disana, yang disediakan kudapan yang banyak. Lumayan kan bisa sambil camilan. Hihi.”
Mega, Irma, Sally dan Nurma : “Woo, dasar Bintang. Kalau ada yang enak-enak pasti antusias benget.” Mereka menyerang secara bersama.
Thoriq hanya tertawa kecil melihat tingkah mereka.


Follow Penulis :  @ElmaRegen08

Tidak ada komentar:

Posting Komentar