Dedaunan
di halaman sekolah berlari-lari dengan lincah di atas angin yang mengayun
begitu lembut. Para siswa Madrasah Tsanawiyah terlihat sedang berbahagia,
berlarian, main kejar-kejaran di lapangan hijau yang terbentang begitu luas.
Ada juga yang tengah berteduh di bawah pohon durian yang rindang, sejenak,
mereka menghirup gas O2 yang segar. Mengusut bulir keringat yang mengucur sangat
deras. Anak perempuan dan laki-laki berbaur bersama. Suasana yang sangat riuh,
saling sapa, bersenda gurau dan main-main. Belum terlihat perubahan pubertas
yang matang pada mereka yang rata-rata baru lulus tingkat sekolah dasar,
tingkahnya masih sangat lekat khas anak-anak yang identik dengan kepolosan.
Suasana
di bangku taman. 5 orang siswa perempuan sedang santai dan mencicipi jajanan.
Dan salah seorang siswa membuka percakapan, mengajak bicara teman-temannya,
dengan mulut yang penuh dengan goreng pisang yang di belinya di kantin sekolah.
Irma : “Eh temen-temen,
besok mau pada ikut acara Maulid Nabi di Pesantren Al-Furqon gak? Katanya mau
di hadiri Bapak Gubernur loh! Pasti rame.” Serunya, tangannya sibuk mengelap
sisa-sisa minyak di bibirnya. Selang beberapa detik Irma menyeruput minuman es
yang di bungkus plastik.
Nurma : “Aku pengen
ikut Ir, tapi jauh sih. Mana boleh sama Abiku, apalagi acaranya malem-malem.
Abiku bisa ngomel, bilang,’Nurma, tidak
baik anak gadis main malem-malem, lebih baik kamu belajar di rumah, tidak enak
kalau di lihat tetangga anak gadis Abi satu-satunya di bebaskan keluyuran
malem-malem,’ aku ngebayangin raut mukanya kalau lagi marah itu, serem
bangeetttt. Hiihh.” Ujar Nurma yang bergidik membayangkan ketakutan,
kalau-kalau Abinya marah.
Bintang : “Alaah, sudah
ketahuan kamu Nur, pasti tidak ikut. Secara gitu anak Abi hehehe,” sergah
Bintang. “aku ikut Ir, mau main ke rumah kamu, pokoknya sediakan makanan yang
banyak ya. Sekalian aku mau liat ikhwan-ikhwan yang cakep. Ckck.” Lanjutnya
begitu antusias. Kemudian mengedipkan matanya, genit.
Sontak
Irma dan Nurma menyoraki Bintang secara bersamaan. Dari arah kejauhan, dua
teman mereka, Mega dan Sally terlihat sedang berjalan mendekati mereka bertiga.
Kedua temannya itu langsung berbaur dan mengambil posisi duduk.
Mega :
“Kalian sedang apa sih? Heboh amat!” Tanyanya, melerai keributan.
Sally :
“Iya, nih. Kumpul gak ngajak-ngajak kita ya Meg?”
Mega : “Bener, Sal. Kalian gak asik ah.”
Keluhnya.
Irma : “Haha ini
nih, si Bintang bawaanya modus terus. Masa mau ikut acara Maulid cuma mau ngincer
ikhwan-ikhwan cakep aja. Ckckck.” Irma menjawab di sela gelak tawanya. Dan
kedua temannya yang baru datang itu juga menyatu dalam tawa.
Nurma : “Eh, emang
kalian dari mana.?” Merasa penasaran, ia bertanya, sejenak membungkus tawa
teman-temannya. Memasukannya pada kontak yang lengang.
Mega : “Kami tadi
ada di Perpus, ngembaliin buku Fiqih yang kemaren di pinjem.” Jelasnya.
Nurma, Irma, dan Bintang :
“Oohh...” Secara serentak mereka membulatkan bibirnya.
Kemudian Irma berseru, tak kalah semangatnya
dari awal dia mengajak Nurma dan Bintang, iya juga bersikap sama, mengajak
kedua temannya yang baru datang. Seperti tidak di perkenankan untuk mengelak,
mereka menggangguk, akan ikut hadir di acara Maulid Nabi yang selalu
mendapatkan respon yang luar biasa baik dan heboh dari masyarakat untuk
merayakannya.
Tak terasa detik waktu melesat begitu cepat.
Acara perayaan besar-besar itu pun di gelar. Panggung yang megah pun sudah
bertengger kuat di sebuah lapangan pesantren yang cukup luas, hiasan berupa
pot-pot bunga, lampu-lampu yang berkerlap-kerlip, dan hiasan kaligrafi yang
begitu indah terpahat di atas kayu jati yang mengkilap bertuliskan lapadz
Baginda Habbibbana Wanabi’ana Muhammad SAW. Para ibu-ibu menjadi super sibuk,
menyediakan makanan-makanan kecil untuk di hidangkan di atas meja-meja yang
berjejer di depan panggung, khusus untuk menyambut Bapak Gubernur. Tidak
seperti acara maulid tahun-tahun kemarin, yang hanya beralaskan terpal untuk
kami duduk menghadap panggung, kali ini para petinggi pesantren, santri dan
santriwati, para tertua kampung, Pak RT, Pak RW, Remaja Karang Taruna dan warga
sekitar bersepakat untuk menyewa kursi-kursi beserta tenda kepada tukang rias
yang biasa mentata rias di acara-acara hajatan.
Di sepanjang sisi-sisi jalan raya, sudah di
padati oleh pedagang-pedagang dari mulai yang jualan makanan, sendal-sepatu,
baju-baju, celana, mainan anak-anak, sampai yang jualan lukisan kaligrafi dan
buku-buku islami pun turut memadati jalanan. Anak-anak, remaja, para orang tua
hingga lansia ikut hadir di acara Maulid Nabi SAW.
Saat acara dimulai, di buka oleh salah seorang
santri dengan Tilawatil Qur’an. Dilanjutkan dengan sambutan-sambutan dari
petinggi pesantren, satu perwakilan tertua kampung, dan satu perwakilan dari
remaja karang taruna.
Di lapak aksesoris jepitan dan jam tangan,
Irma, Bintang, Mega dan Sally berkumpul. Benar saja, Nurma tidak hadir. Mereka
berempat asik memilah-milih aksesoris, seperti ikat rambut, bando, bros,
cincin, gelang, kalung, anting, dompet, kacamata berwarna, yang semua itu
terbuat dari plastik, bukan dari emas, alias Kw-Kwan.
Mega : “Menurut
kalian ini bagus gak sih.?” Tanyanya yang menimbang-nimbang dua ikat rambut
berwarna jingga dan biru.
Sally : “Lebih bagus yang biru Meg!” Responnya singkat. Sally
tahu, biar perkara ini cepat beres, jangan kelamaan menimbang, tahu deh kalau
Mega jajan aja suka lama. Pilih-pilih.
Irma : “Udah yuk
kita nyari tempat duduk, pegel nih.” Keluh Irma, pandangannya mencari-cari
kursi yang kosong.
Bintang : “Kita duduk
disana!” Serunya. Ketiga temannya mengikuti kemana arah telunjuk Bintang
tertuju.
Sally : “Itu kan
deket tempat duduk para santri.?”
Bintang : “Iya, ayolah.
Gak apa-apa kali. Kagak usah malu-malu, aku saja yang tidak pakai kerudung
biasa saja tuh.” Katanya, sambil menyeret lengan ketiga temannya yang malah
bengong.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti karena
mendengar seruan seseorang yang memanggil-manggil nama mereka. Terlihat orang
itu berlari-lari kecil, menghampiri mereka dengan deruan nafas yang tersengal.
Nurma :
“Assalamu’alaikum semuanya,” serunya sambil memburu nafas dengan kasar,”ma...
maaf ya... aku telat.”
Bintang : “Hey, kamu jadi
datang juga, gak di marahin Abimu?”
Nurma : “Gak lah, malah
Abiku yang ngajak ke sini. Katanya sekalian ngajak Mas Thoriq jalan-jalan.”
Secara bersamaan Irma dan Mega berseru, dan
bertanya-tanya siapa nama yang baru saja Nurma bilang? Yang jelas terasa sangat
asing bagi mereka.
Irma & Mega : “Mas Thoriq? Siapa tuh.?” Tanyanya menyelidik.
Nurma : “Dia sodara
dari jauh, kebetulan lagi liburan di sini. Itu orangnya!” Telunjuk Nurma
mengarah ke seseorang yang sedang berdiri tegap di sebelah Abinya. Orang itu
memiliki perawakan yang tinggi, sedang, berwajah teduh, hitam manis dan
berlesung pipi. Dengan mengenakan baju koko berwarna hitam putih, memakai
jasko, peci hitam dan celana hitam mengkilap. Tampak manis dengan kacamata minusnya,
mampu terbaca kalau orang tersebut berpendidikan.
Seketika semua teman-temannya membuang
pandangan mereka, mengikuti telunjuk Nurma yang menunjuk pada seseorang yang
alim dan rupawan. Hampir secara bersamaan mereka berseru,’Wah...’ terpana.
Bintang : “Mengapa gak
bilang-bilang sih, kalau kamu punya sodara setampan itu Nur? Tampannya.”
Sally : “Kenalin ke
kita-kita dong!” Ujar Sally sambil menyikut lengan Nurma.
Nurma : “Hm... kalian
mau ku kenalkan dengan Mas Thoriq.?”
Jalan sudah, teman-temannya semangat
mengangguk, telihat sumringah. Tawaran yang menggembirakan bagi mereka bisa berkenalan
dengan ikhwan sholeh yang umurnya tidak terpaut jauh dengan mereka, hanya
selisih 4 atau 5 tahun saja. Namun terlihat dewasa dan berwibawa.
Nurma : “Oke...
Oke... Aku kenalkan kalian dengan Mas Thoriq. Asal kalian jangan malu-maluin,
plus jangan nanya yang aneh-aneh, terutama kamu, Bintang.”
Tanpa
ada yang tawar-menawar, meminta lebih dari perkenalan yang di tawarkan Nurma,
mereka serempak mengamininya. Dan keempat temannya langsung menguntit di
belakang Nurma yang berjalan mendekati sodaranya dan Abinya yang berdiri di
dekat kursi para tertua kampung dan remaja karang taruna. Mereka berbaur
bersama, saling sapa dan berbasa.
Sally : “Subhanallah, semakin dekat
semakin nampak jelas ya tampannya. Mukanya bersinar tanda ketaatan pada Tuhan.”
Pujinya, pandangannya terpikat.
Irma : “Setuju deh sama kamu.” Irma
melihat, takjim jua.
Akhirnya
Nurma memanggil sodaranya yang benama Thoriq itu kehadapan teman-temannya. Di
tariknya lengan Thoriq sedikit menjauh dari Abinya yang sedang sibuk berbincang
dengan pak RT.
Thoriq : “Ada apa de, ko narik-narik
lengan Mas? Mas mau dibawa kemana?”
Nurma : “Aku mau kenalkan Mas sama
teman-temanku.” Nurma menyeringai bahagia, senang sekali punya sodara setampan
Thoriq. Lihatlah teman-temannya tidak sabar untuk berkenalan dengan Masnya.
Bintang : “Hai... Assalamu’alaikum Mas
Thoriq!” Sapanya genit. Diantara teman-temannya yang lain, Bintang memang agak
agresif sama yang namanya ikhwan. Dan Dia satu-satunya yang tidak mengenakan
kerudung, hanya mengenakan baju panjang dan celana panjang seadanya. Yang
menurutnya simple.
Yang
di sapa kaget, ketika tahu namanya disebut. Nampak gugup si yang punya nama
ketika menjawab salam dari Bintang.
Thoriq : “Was... salamu’a... alaikum. Hai
ju... jug... juga...”
Nurma
tiba-tiba menyambar percakapan mereka, mencoba menetralisir situasi biar tidak
saling canggung.
Nurma : “Bintang. Dia namanya Bintang
Mas, yang pakai kerudung hitam ini namanya Irma, yang pakai kerudung abu
namanya Sally, dan yang pakai warna kerudung hijau terang ini namanya Mega.
Mereka semua teman-temanku.” Cerocos Nurma, memperkenalkan teman-temannya.
Irma, Sally dan Mega : “Salam kenal Mas Thoriq.” Senyuman merekah
dibibir mereka. Berharap ikhwan yang ada didepannya mau memetik senyumnya.
Thoriq : “Oh kalian temannya De Nurma.
Iya, salam kenal juga ya. Afwan, De Bintang kenapa tidak pakai kerudung.?”
Tak
disangka, kalau Thoriq bakalan langsung menodongkan pertanyaan seperti itu pada
Bintang, yang sedari tadi merangkai senyum saat memandang Thoriq. Sementara Bintang
gelalapan, memalingkan raut wajahnya yang malu itu kepada teman-temannya,
bingung mau dijawab apa?
Mega : “Dia memang tiap
hari gak pakai kerudung Mas, eh kecuali pas di sekolah aja ding.” Malu-malu,
Mega menerangkan.
Bintang
semakin tertunduk malu. Entah Dia mendapatkan ilham dari mana, beberapa menit
kemudian memutuskan untuk memberikan alasan kenapa Dia tidak mengenakan
kerudung. Tidak tahu kalau jawaban itu pas atau tidak, yang penting Dia ingin
menjawab, supaya sedikit bisa melunturkan raut wajah yang terlanjur tersirat
malu dihadapan Thoriq.
Bintang : “Aku belum terbiasa pakai kerudung
Mas, hanya sesekali saja pakainya. Karena belum siap sih. Tapi insya Allah,
hati aku dihijabi ko. Hatinya dulu baru luarnya. Hehe.” Bintang menjawab, ragu.
Dia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Thoriq : “Loh ko gitu? Memang hati bisa
dihijabi? Allah tidak menyuruh demikian bukan? Lagian hukum berhijab bagi kaum
Hawa itu wajib loh.”
Jelas
sudah, dari gaya bicaranya sudah beda, dewasa. Thoriq memang bukan
remaja-remaja yang seperti biasa Bintang dan teman-temannya kenal.
Nurma : “Oh gitu, tapi banyak Mas, yang
gak pakai kerudung alasannya mau hijabin hatinya dulu...,” kilahnya, “bukan
begitu temen-temen.?”
Keempat temannya
mengangguk secara bersamaan.
Thoriq : “Sebenarnya arti hijab itu apa
sih.?”
Sally : “Kalau gak salah, artinya
penutup ya Mas.?” Jawab Sally, mengakrabi.
Thoriq : “Iya betul. Jadi sama saja
artinya hijab hati itu menutup hati dari peringatan-peringatan Allah. Kan
sejatinya hijab itu untuk menutup aurat, bukan untuk menutup hati.”
Bintang : “Astagfirullah, jadi artinya gitu
ya Mas.?”
Bintang dibuat merinding
sekaligus takut mendengar jawaban dari Thoriq.
Thoriq : “Ya kurang lebih artinya gitu
lah. Semoga De Bintang nanti mau membiasakan pakai kerudung ya.” Jawabnya
sambil tersenyum, ramah.
Bintang : “Kalau sudah tau artinya begitu,
pasti aku pakai Mas. Serem juga ya.”
Nurma : “Dan semoga yang udah pakai,
tetap istiqomah. Amin.”
Seketika semuanya
berseru,’Amin.’
Bintang : “Senang rasanya bisa kenal Mas
Thoriq, bisa dapat pencerahan. Hehe.” Matanya melirik genit. Yang dilirik hanya
melempar senyum.
Mega : “Temen-temen udah kan
kenalannya? Kita duduk di depan panggung yuk? Kita liat penampilan marawis.”
Ajaknya, sambil menarik-narik lengan keempat temannya.
Bintang : “Ayoo Meg. Kita duduk disana, yang
disediakan kudapan yang banyak. Lumayan kan bisa sambil camilan. Hihi.”
Mega, Irma, Sally dan
Nurma : “Woo, dasar Bintang. Kalau ada
yang enak-enak pasti antusias benget.” Mereka menyerang secara bersama.
Thoriq hanya tertawa
kecil melihat tingkah mereka.
Follow
Penulis : @ElmaRegen08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar