Pagi
ini aku benar-benar di kagetkan oleh setitik jerawat yang tumbuh di sebelah
pipi kiriku. Jelas-jelas hal itu membuat aku jengkel, bawaannya pengen di pites
tuh jerawat yang mengganggu pemandanganku. Ya sama seperti kalian, di usiaku
yang sedang meretas masa pubertas begini sering di galaukan oleh yang namanya
JERAWAT. Bagaimana tidak kesal coba? Dari pas bangun tidur aja sudah di
ejek-ejek sama orangtuaku, bilang aku sedang jatuh cintalah, bilang aku sedang
rindu pada seseoranglah. Dan ada olok-olok yang lebih menyakitkan lagi, yang
datangnya dari adikku yang dasarnya memang nyebelin, dan tengil. Dia bilang
kalau jerawatku itu seperti Chocochip,
yang lucu, mungil, manis. Tidaakk. Selucu-lucunya jerawat, buatku sama saja
seperti bintang yang buruk rupa, bukannya berwarna putih terang, tapi malah
warna tomat masak , yang jelas itu bencana.
Sempurna
sudah pagi itu aku di buat galau tingkat internasional. Lebih lama lagi diam di
kamar mandi dari hari biasanya, hanya di habiskan memandang satu jerawat yang
seperti menantangku untuk menyongkel hingga akarnya. Mengusap-usapnya hingga
terasa hangat. Kemudian ku basuh air, kali saja jerawat di pipiku bisa hilang
seketika terbawa air. Tapi tenyata tidak. Terus saja ku pegang jerawat itu,
yang semakin lama semakin terasa membesar dan begitu matang, warnanya merah
banget. Dan alhasil, jerawat itulah yang membuatku betah diam di kamar mandi.
Tiba-tiba
Mama mengetuk pintu kamar mandi, karena merasa ada yang aneh dengan anak gadisnya
yang sudah hampir satu jam lebih bersemedi di kamar mandi.
“Ka,
kamu mandi apa tidur sih? Ko gak keluar-keluar? Papa sudah nungguin kamu di
meja makan tuh! Mau berangkat bareng Papa kan.?” Teriak Mama dengan suaranya
yang melengking. Membuat telingaku berdenging beberapa detik.
“Iya,
bentar lagi Ma!” Seruku, menjawab dengan malas. Padahal aku masih terus mematut
mukaku, mencucinya dengan sabun muka anti jerawat dengan merek ternama, ahh
tetap saja si Chocochip itu tidak hilang. Hiks.
“Sebentarnya
kamu itu berapa menit, hah? Lima belas menit atau dua puluh menit? Mama tahu
tabiatmu itu. Yang bilangnya sebentar itu maksimal 30 menit, pernah juga lebih.
Jangan buat Papamu menunggu lama. Kasian Ka.”
Tokk...
Tookkk... Tooookkkk... Mama kali ini sudah tidak sabar, mengetuk pintu lebih
keras dari sebelumnya, terus menunggu aku hingga keluar kamar mandi. Dengan
terpaksa aku keluar menemuinya. Sontak Mama kaget melihat aku yang masih
memakai piama, rambut acak-acakkan, dan hey lihatlah, mamaku begitu terpesona
ketika melihat jerawatku yang sangat menarik perhatiannya. Di balik omelannya,
Mama juga sedikit menyembunyikan tawanya. Karena tidak mau menyinggung perasaan
anaknya, Mama hanya cekikikan saja.
“Zen
gak mau sekolah Mah!” ucapku bersumpal kekesalan yang kini memuncak.
“Kenapa?
Kaka sakit.?” Tanyanya, begitu mengkhawatirkanku yang telihat menyedihkan.
Merasa tersiksa dengan jerawat yang kali ini sudah mirip coklat caca warna
merah, akibat dari tadi aku mainin tuh jerawat malah makin tumbuh besar.
“Gak,
kenapa-kenapa mah. Zen, hanya...” Jawabanku tersedat, jari tangan usil mainin
jerawat lagi.
Tak
perlu aku menjelaskan alasan kenapa aku tidak mau sekolah, mama sudah menebak
duluan. Malah menertawakan aku lagi. Miris sekali.
Dari
arah ruang tamu, terdengar derap kaki yang mengarah ke kamar mandi. Dan ternyata
itu Papa dan Vee, yang kemudian menatap heran ke arah kami berdua.
“Ka
Zen belum mandi.?” Tanya Papa, alis matanya mengernyit ke arahku.
“Gak
tahu nih Pa, anak gadismu mendadak gak mau masuk sekolah.” Jawab Mama, ketus.
Vee
yang sedari tadi mencuil-cuil roti tawar yang ada di tangannya, tiba-tiba ikut
angkat bicara.
“Vee
tahu kenapa Ka Zen gak mau masuk sekolah!” Terangnya, terlihat amat Sok
Tahunya.
Seketika,
pandangan kami menoleh ke arah Vee untuk mengetahui jawabannya. Aku tahu pasti
dia akan mengejekku lagi.
Vee
tidak langsung menjawab semua rasa penasaran kami. Dia mengangkat alisnya yang
tebal dan hitam sambil melirik ke arahku. Mengedip-ngedipkan bulu matanya yang
lentik, matanya yang bulat kecil seperti biji lengkeng. Dan kedua pipinya yang
tembem itu tak berhenti bergoyang, menguyah sepotong roti tawar itu. Dia
menyeringai, yang membuatku memendam curiga.
“Pasti
kamu mau ngejek Kaka lagi kan? Dasar adik nyebelin!” Tungkasku. Membuang
pandanganku keluar jendela dapur.
“Vee
tahu kalau Ka Zen gak mau masuk sekolah karena malu di pipinya ada chocochip,
ya kan? Vee bener kan.?” Dia menyeringai semakin lebar, penuh kepuasaan.
Papa
dan Mama menahan tawa, belahan bibirnya mereka tutup dengan telapak tangan. Ini
memang kejadian lucu buat mereka bin menyebalkannya buat aku.
“Apa
yang dikatakan Vee itu benar Ka.?” Tanya Mama, di sela desakannya menahan tawa.
Sementara Papa dan Vee saling melempar cengar-cengiran mereka yang sama-sama
seperti ingin ku pites kaya jerawat.
Hal
yang buruk sudah mengukung pemikiranku. Aduh, di rumah saja udah jadi bahan
tertawaan, apalagi di luar? Di sekolahan? Ketemu cowok idaman? Ketemu
teman-teman? Aku yakin, nanti tanggapan mereka akan sama seperti tanggapan
orang rumah. Bilang aku jatuh cintalah, memendam rindulah, CIDAHA (Cinta Dalam
Hati), semaunya merekalah, terserah mau namainnya apa. Tapi aku penasaran,
memang apalah arti sebuah jerawat yang sebenarnya? Apa benar, timbul jerawat
itu karena orang itu sedang jatuh cinta atau sedang merindukan yang di
cintanya? Kalau benar, ada yang tahu siapa yang pertama kali mengartikannya,
siapa? Tega sekali, padahal mereka ada yang CIDAHA tapi memiliki wajah yang
mulus-mulus saja, atau sebaliknya yang sudah menjalin hubungan dengan orang
tercinta yang malah cenderung tumbuh jerawat, malah ada juga yang tidak.
Bingungkan? Sama, justru aku juga gak ngerti.
Sejurus
kemudian, kepalaku mengangguk, menyetujui apa yang di katakan Vee. Ya itu benar
sekali.
“Gak
apa-apalah Ka, jerawatnya lucu ko!” Kata Papa, menghibur dan mengejek memang
beda tipis. Lengannya menyikut lengan Vee. Mereka sepakat untuk bersekongkol,
mengejekku.
“Iya,
Ka. Wajar juga, gadis jerawatan. Itu sama dengan masa pertumbuhan. Makanya kamu
harus mulai bisa menjaga penampilan, kebersihan, dan kesehatan. Nanti Mama
ajarkan tips perawatan kulit dengan cara tradisional. Kamu bisa liat kan muka
Mama awet muda, gak ada flek atau tanda-tanda bekas jerawat.” Dengan bangganya
Mama menjawab, tanpa peduli dampak dari perkataannya itu, yang bisa ku artikan,’Waktu Mama muda gak jerawatan, kenapa kamu jerawatan.?’
Terlalu.
“Berarti
dulu Mama gak pernah jatuh cinta atau memendam cinta.?” Ucapku, sembari
mengeluarkan uap kekesalan.
“Kenapa
Ka Zen bertanya begitu.?” Kali ini Vee yang balik bertanya. Mataku mendelik ke
arahnya, ingin sekali aku menjawil pipinya hingga melar. Kesel banget, kenapa
dia yang spontan tertarik dengan pertanyaan yang ku todongkan untuk Mama.
Kembali,
aku mendengus kesal. Menghela nafas yang panjang. Terasa uap panas yang keluar
dari sela-sela lubang hidung yang minus, kedinginan sekaligus mengeluarkan uap
jengkel.
“Bukankah
orang yang jerawatan itu sedang jatuh cinta atau memendam cintanya? Dan
bimsalabim tumbuhlah bintik merah itu sebagai pertanda bahwa hatinya sedang
berbunga-bunga. Jadi Mama waktu muda, gak ngerasain gimana rasanya jatuh cinta
dong.?”
“Huuuaaaaahhhahaha.”
Mereka semua tertawa begitu renyah. Hey, memang ada yang aneh dengan
pertanyaanku itu? Aku rasa tidak. Aah yang bikin jengkel, kenapa Vee juga ikut
tertawa, bahkan ia terlihat paling bahagia dan puas, sampai-sampai berlinangan
air mata bahagia telah meledekku.
“Setahu
Papa nih Ka, jerawat itu muncul karena orangnya aja yang kurang merawat muka,
atau keturunan dari orang tuanya.” Jelas Papa, masih cekikikan.
Vee
terlihat bergidik, takut mendengar penjelasan Papa, kalau jerawat di turunkan
dari orang tuanya.
“Tapi
tenang saja Vee, Papa dan Mama Alhamdulillah gak pernah di galaukan sama
jerawat seperti Kakamu itu.hehehe.” Papa menyeringai lebar. Terlihat jelas
barisan giginya yang rapih dan seputih susu.
Aku
tersenyum masygul melihatnya.
“Ayolah
Ka, semangat! Berangkat sekolah ya? Masa sama jerawat saja kalah? Memang di
sekolahmu yang jerawatan itu cuma kamu? Gak kan? Bersyukurlah, kamu jerawatnya
cuma satu, ada loh mereka yang di uji dengan yang lebih banyak dari kamu, tapi
mereka masih tetep PD aja tuh. Nanti juga sembuh Ka.” Seru Mama, kali ini
kalimatnya sedikit menyuntikan semangat.
Akhirnya
aku berhasil di bujuk oleh Mama dan Papa untuk tetap berangkat sekolah.
Bagaimana dengan Vee? Ah, Dia sepertinya lebih senang melihat aku berlama-lama
mengurung diri di kamar mandi, dan gak masuk sekolah. Buktinya pas aku memutuskan
untuk berangkat ke sekolah, Dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Aku,
Mama dan Papa di depan kamar mandi. Dasar Vee, adik yang nyebelin.
Beberapa
jam kemudian. Aku sampai di sekolah, dengan tampilan baru. Memakai masker
medis, berwarna hijau. Untuk menyembunyikan, satu titik merah yang sangat
mengusik. Yang kalau tidak ku pakaikan masker bisa-bisa sepanjang hari aku
mainin tuh jerawat. Secara otomatis hal itu menjadi sorotan perhatian
anak-anak. Jarang banget ada murid yang pake masker, paling kalau ada yang
pakai juga itu karena mereka sedang flu.
Ida,
teman yang sebangku denganku langsung menelisik wajahku yang sebagian tertutup.
Seperti mengenakan cadar.
“Zen?
Kau Zenata kan? Ada apa denganmu, ko pakai masker gitu.?” Ida mulai menerka-nerka,
bola matanya yang berwarna coklat berputar-putar di balik kacamatanya yang
minus.
“Iya
Da, ini aku. Zen,!” bisikku padanya. “aku gak apa-apa ko!” sambungku.
“Mengapa
kamu pakai masker segala? Kamu sedang flu.?” Satu kebiasaan Ida yang memiliki
ciri khas, sering mengintrogasi apa saja yang baginya terlihat mencurigakan.
Banyak bertanya-tanya, layaknya seorang detektif.
“Aku...
Eh, anu... Aku...” Saat aku gugup menjawab pertanyaanya. Ternyata ida langsung
beraksi seketika saja Dia membuka maskerku. Ah, malu-maluin deh.
Kulihat
Gema. Cowok yang diam-diam aku taksir di kelas ini melihat kami berdua. Dan
tentu saja Dia melihat jerawatku yang seperti chocochip, menjadi pusat
perhatiannya. Terfokus pada satu titik merah yang menempel di pipi sebelah
kiriku.
Gema
mendekatiku. Dia menggodaku dengan berkata,’Kau
jerawatan Zen? Pasti jerawat itu tumbuh karena kau merindukanku kan? Bukannya
bilang langsung.’ Dengan PDnya Dia bilang begitu. Ya Tuhan. Kali ini Gema,
si cowok yang ku sukai itu yang bilang seperti itu. Apa benar, apa benar
jerawat ini terlahir karena ada rindu atau cinta yang terpendam? Sungguh tidak
masuk di akal.
Saat
Gema pergi meninggakanku dan Ida. Pipiku terasa lebih panas, apalagi jerawatnya
itu, setiap detik kulihat di cermin, semakin masaklah ia. Tak terasa airmataku
jatuh. Lengkap sudah kegalauanku. Melihat aku yang sedang menangis, Ida
menenangkanku dan mencoba menghiburku.
“Aku
heran sama orang-orang Zen, dari dulu hingga sekarang, kenapa mereka selalu
menyangkut pautkan jerawat dengan cinta atau rindu yang di pendam? Lebih
anehnya lagi, sampai meributkan, sibuk berasumsi, bahwa jerawat itu adalah
karena betapa rindunya kita pada dirinya. Itu jerawat cinta untukku ya? Itu
jerawat rindu atau kangen padaku ya? Aduh mereka mau-mau saja cintanya di
samakan dengan jerawat yang padahal jerawat itu kotoran. Yang berasal dari
debu, kuman-kuman, dan radiasi. Berbeda jauh dengan cinta yang sejatinya
bernilai suci.” Jelas Ida yang nampak kebingungan, sama sepertiku.
Aku
menyibakan airmata di pipiku. Lalu menatap Ida. Aku merasa senang kalau
ternyata Ida punya pemikiran yang sama denganku tentang jerawat.
“Iya
kamu benar Da. Aku tambah merasa aneh lagi ketika tiba-tiba Gema berpendapat
kalau jerawat ini adalah rindu yang terpendam untuknya. Hih.”kataku, yang masih
memegang chocochip yang memanas di pipiku.
“Tapi
benar itu bukan jerawat rindu untuk Gema.?” Pertanyaan Ida, seketika
meluluh-lantahkan teorinya.
“Yey,
berarti kamu juga sama saja kaya yang lain.” Gerutuku.
“Eh,
gak ko. Aku Cuma pengen tahu aja? Bener bukan untuk Gema.?” Selidik Ida.
“Ih,
kepo ya! Ya jelas bukan.” Jawabku, kesal.
“Bagus
deh. Eh ngomong-ngomong jerawatmu lucu juga Zen. Kaya tahi lalatnya Revalina S.
Temat hehehe.” Ida, lamat-lamat memperhatikan jerawatku.
“Hahaha.
Terimakasih.”
Apalah arti sebuah jerawat? Yang jelas jerawat bukan
sebuah rumus untuk memecah senyawa yang bernama CINTA. Jerawat berasal dari
debu, kuman-kuman, dan radiasi. Berbeda jauh dengan cinta yang sejatinya
bernilai suci. Jadi masih berani bertanya atau memperebutkan jerawat seseorang
sebagai tanda cinta terpendamnya untukmu? Cinta suci. Bukan berasal dari jerawat
yang kotor. Tetap sejatinya ia bersemayam di hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar