Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Sabtu, 25 Januari 2014

APALAH ARTINYA SEBUAH JERAWAT?




           
            Pagi ini aku benar-benar di kagetkan oleh setitik jerawat yang tumbuh di sebelah pipi kiriku. Jelas-jelas hal itu membuat aku jengkel, bawaannya pengen di pites tuh jerawat yang mengganggu pemandanganku. Ya sama seperti kalian, di usiaku yang sedang meretas masa pubertas begini sering di galaukan oleh yang namanya JERAWAT. Bagaimana tidak kesal coba? Dari pas bangun tidur aja sudah di ejek-ejek sama orangtuaku, bilang aku sedang jatuh cintalah, bilang aku sedang rindu pada seseoranglah. Dan ada olok-olok yang lebih menyakitkan lagi, yang datangnya dari adikku yang dasarnya memang nyebelin, dan tengil. Dia bilang kalau jerawatku itu  seperti Chocochip, yang lucu, mungil, manis. Tidaakk. Selucu-lucunya jerawat, buatku sama saja seperti bintang yang buruk rupa, bukannya berwarna putih terang, tapi malah warna tomat masak , yang jelas itu bencana. 

            Sempurna sudah pagi itu aku di buat galau tingkat internasional. Lebih lama lagi diam di kamar mandi dari hari biasanya, hanya di habiskan memandang satu jerawat yang seperti menantangku untuk menyongkel hingga akarnya. Mengusap-usapnya hingga terasa hangat. Kemudian ku basuh air, kali saja jerawat di pipiku bisa hilang seketika terbawa air. Tapi tenyata tidak. Terus saja ku pegang jerawat itu, yang semakin lama semakin terasa membesar dan begitu matang, warnanya merah banget. Dan alhasil, jerawat itulah yang membuatku betah diam di kamar mandi. 

            Tiba-tiba Mama mengetuk pintu kamar mandi, karena merasa ada yang aneh dengan anak gadisnya yang sudah hampir satu jam lebih bersemedi di kamar mandi. 

            “Ka, kamu mandi apa tidur sih? Ko gak keluar-keluar? Papa sudah nungguin kamu di meja makan tuh! Mau berangkat bareng Papa kan.?” Teriak Mama dengan suaranya yang melengking. Membuat telingaku berdenging beberapa detik. 

            “Iya, bentar lagi Ma!” Seruku, menjawab dengan malas. Padahal aku masih terus mematut mukaku, mencucinya dengan sabun muka anti jerawat dengan merek ternama, ahh tetap saja si Chocochip itu tidak hilang. Hiks.  

            “Sebentarnya kamu itu berapa menit, hah? Lima belas menit atau dua puluh menit? Mama tahu tabiatmu itu. Yang bilangnya sebentar itu maksimal 30 menit, pernah juga lebih. Jangan buat Papamu menunggu lama. Kasian Ka.” 

            Tokk... Tookkk... Tooookkkk... Mama kali ini sudah tidak sabar, mengetuk pintu lebih keras dari sebelumnya, terus menunggu aku hingga keluar kamar mandi. Dengan terpaksa aku keluar menemuinya. Sontak Mama kaget melihat aku yang masih memakai piama, rambut acak-acakkan, dan hey lihatlah, mamaku begitu terpesona ketika melihat jerawatku yang sangat menarik perhatiannya. Di balik omelannya, Mama juga sedikit menyembunyikan tawanya. Karena tidak mau menyinggung perasaan anaknya, Mama hanya cekikikan saja. 

            “Zen gak mau sekolah Mah!” ucapku bersumpal kekesalan yang kini memuncak. 

            “Kenapa? Kaka sakit.?” Tanyanya, begitu mengkhawatirkanku yang telihat menyedihkan. Merasa tersiksa dengan jerawat yang kali ini sudah mirip coklat caca warna merah, akibat dari tadi aku mainin tuh jerawat malah makin tumbuh besar. 

            “Gak, kenapa-kenapa mah. Zen, hanya...” Jawabanku tersedat, jari tangan usil mainin jerawat lagi. 

            Tak perlu aku menjelaskan alasan kenapa aku tidak mau sekolah, mama sudah menebak duluan. Malah menertawakan aku lagi. Miris sekali. 

            Dari arah ruang tamu, terdengar derap kaki yang mengarah ke kamar mandi. Dan ternyata itu Papa dan Vee, yang kemudian menatap heran ke arah kami berdua. 

            “Ka Zen belum mandi.?” Tanya Papa, alis matanya mengernyit ke arahku. 

            “Gak tahu nih Pa, anak gadismu mendadak gak mau masuk sekolah.” Jawab Mama, ketus. 

            Vee yang sedari tadi mencuil-cuil roti tawar yang ada di tangannya, tiba-tiba ikut angkat bicara. 

            “Vee tahu kenapa Ka Zen gak mau masuk sekolah!” Terangnya, terlihat amat Sok Tahunya. 

            Seketika, pandangan kami menoleh ke arah Vee untuk mengetahui jawabannya. Aku tahu pasti dia akan mengejekku lagi.  

            Vee tidak langsung menjawab semua rasa penasaran kami. Dia mengangkat alisnya yang tebal dan hitam sambil melirik ke arahku. Mengedip-ngedipkan bulu matanya yang lentik, matanya yang bulat kecil seperti biji lengkeng. Dan kedua pipinya yang tembem itu tak berhenti bergoyang, menguyah sepotong roti tawar itu. Dia menyeringai, yang membuatku memendam curiga.

            “Pasti kamu mau ngejek Kaka lagi kan? Dasar adik nyebelin!” Tungkasku. Membuang pandanganku keluar jendela dapur. 

            “Vee tahu kalau Ka Zen gak mau masuk sekolah karena malu di pipinya ada chocochip, ya kan? Vee bener kan.?” Dia menyeringai semakin lebar, penuh kepuasaan. 

            Papa dan Mama menahan tawa, belahan bibirnya mereka tutup dengan telapak tangan. Ini memang kejadian lucu buat mereka bin menyebalkannya buat aku. 

            “Apa yang dikatakan Vee itu benar Ka.?” Tanya Mama, di sela desakannya menahan tawa. Sementara Papa dan Vee saling melempar cengar-cengiran mereka yang sama-sama seperti ingin ku pites kaya jerawat. 

            Hal yang buruk sudah mengukung pemikiranku. Aduh, di rumah saja udah jadi bahan tertawaan, apalagi di luar? Di sekolahan? Ketemu cowok idaman? Ketemu teman-teman? Aku yakin, nanti tanggapan mereka akan sama seperti tanggapan orang rumah. Bilang aku jatuh cintalah, memendam rindulah, CIDAHA (Cinta Dalam Hati), semaunya merekalah, terserah mau namainnya apa. Tapi aku penasaran, memang apalah arti sebuah jerawat yang sebenarnya? Apa benar, timbul jerawat itu karena orang itu sedang jatuh cinta atau sedang merindukan yang di cintanya? Kalau benar, ada yang tahu siapa yang pertama kali mengartikannya, siapa? Tega sekali, padahal mereka ada yang CIDAHA tapi memiliki wajah yang mulus-mulus saja, atau sebaliknya yang sudah menjalin hubungan dengan orang tercinta yang malah cenderung tumbuh jerawat, malah ada juga yang tidak. Bingungkan? Sama, justru aku juga gak ngerti.  

            Sejurus kemudian, kepalaku mengangguk, menyetujui apa yang di katakan Vee. Ya itu benar sekali.
            “Gak apa-apalah Ka, jerawatnya lucu ko!” Kata Papa, menghibur dan mengejek memang beda tipis. Lengannya menyikut lengan Vee. Mereka sepakat untuk bersekongkol, mengejekku. 

            “Iya, Ka. Wajar juga, gadis jerawatan. Itu sama dengan masa pertumbuhan. Makanya kamu harus mulai bisa menjaga penampilan, kebersihan, dan kesehatan. Nanti Mama ajarkan tips perawatan kulit dengan cara tradisional. Kamu bisa liat kan muka Mama awet muda, gak ada flek atau tanda-tanda bekas jerawat.” Dengan bangganya Mama menjawab, tanpa peduli dampak dari perkataannya itu, yang bisa ku artikan,’Waktu Mama muda gak jerawatan, kenapa kamu jerawatan.?’ Terlalu. 

            “Berarti dulu Mama gak pernah jatuh cinta atau memendam cinta.?” Ucapku, sembari mengeluarkan uap kekesalan. 

            “Kenapa Ka Zen bertanya begitu.?” Kali ini Vee yang balik bertanya. Mataku mendelik ke arahnya, ingin sekali aku menjawil pipinya hingga melar. Kesel banget, kenapa dia yang spontan tertarik dengan pertanyaan yang ku todongkan untuk Mama. 

            Kembali, aku mendengus kesal. Menghela nafas yang panjang. Terasa uap panas yang keluar dari sela-sela lubang hidung yang minus, kedinginan sekaligus mengeluarkan uap jengkel. 

            “Bukankah orang yang jerawatan itu sedang jatuh cinta atau memendam cintanya? Dan bimsalabim tumbuhlah bintik merah itu sebagai pertanda bahwa hatinya sedang berbunga-bunga. Jadi Mama waktu muda, gak ngerasain gimana rasanya jatuh cinta dong.?” 

            “Huuuaaaaahhhahaha.” Mereka semua tertawa begitu renyah. Hey, memang ada yang aneh dengan pertanyaanku itu? Aku rasa tidak. Aah yang bikin jengkel, kenapa Vee juga ikut tertawa, bahkan ia terlihat paling bahagia dan puas, sampai-sampai berlinangan air mata bahagia telah meledekku. 

            “Setahu Papa nih Ka, jerawat itu muncul karena orangnya aja yang kurang merawat muka, atau keturunan dari orang tuanya.” Jelas Papa, masih cekikikan. 

            Vee terlihat bergidik, takut mendengar penjelasan Papa, kalau jerawat di turunkan dari orang tuanya. 

            “Tapi tenang saja Vee, Papa dan Mama Alhamdulillah gak pernah di galaukan sama jerawat seperti Kakamu itu.hehehe.” Papa menyeringai lebar. Terlihat jelas barisan giginya yang rapih dan seputih susu.
            Aku tersenyum masygul melihatnya. 

            “Ayolah Ka, semangat! Berangkat sekolah ya? Masa sama jerawat saja kalah? Memang di sekolahmu yang jerawatan itu cuma kamu? Gak kan? Bersyukurlah, kamu jerawatnya cuma satu, ada loh mereka yang di uji dengan yang lebih banyak dari kamu, tapi mereka masih tetep PD aja tuh. Nanti juga sembuh Ka.” Seru Mama, kali ini kalimatnya sedikit menyuntikan semangat. 

            Akhirnya aku berhasil di bujuk oleh Mama dan Papa untuk tetap berangkat sekolah. Bagaimana dengan Vee? Ah, Dia sepertinya lebih senang melihat aku berlama-lama mengurung diri di kamar mandi, dan gak masuk sekolah. Buktinya pas aku memutuskan untuk berangkat ke sekolah, Dia langsung pergi begitu saja meninggalkan Aku, Mama dan Papa di depan kamar mandi. Dasar Vee, adik yang nyebelin. 

            Beberapa jam kemudian. Aku sampai di sekolah, dengan tampilan baru. Memakai masker medis, berwarna hijau. Untuk menyembunyikan, satu titik merah yang sangat mengusik. Yang kalau tidak ku pakaikan masker bisa-bisa sepanjang hari aku mainin tuh jerawat. Secara otomatis hal itu menjadi sorotan perhatian anak-anak. Jarang banget ada murid yang pake masker, paling kalau ada yang pakai juga itu karena mereka sedang flu. 

            Ida, teman yang sebangku denganku langsung menelisik wajahku yang sebagian tertutup. Seperti mengenakan cadar. 

            “Zen? Kau Zenata kan? Ada apa denganmu, ko pakai masker gitu.?” Ida mulai menerka-nerka, bola matanya yang berwarna coklat berputar-putar di balik kacamatanya yang minus. 

            “Iya Da, ini aku. Zen,!” bisikku padanya. “aku gak apa-apa ko!” sambungku. 

            “Mengapa kamu pakai masker segala? Kamu sedang flu.?” Satu kebiasaan Ida yang memiliki ciri khas, sering mengintrogasi apa saja yang baginya terlihat mencurigakan. Banyak bertanya-tanya, layaknya seorang detektif. 

            “Aku... Eh, anu... Aku...” Saat aku gugup menjawab pertanyaanya. Ternyata ida langsung beraksi seketika saja Dia membuka maskerku. Ah, malu-maluin deh. 

            Kulihat Gema. Cowok yang diam-diam aku taksir di kelas ini melihat kami berdua. Dan tentu saja Dia melihat jerawatku yang seperti chocochip, menjadi pusat perhatiannya. Terfokus pada satu titik merah yang menempel di pipi sebelah kiriku. 

            Gema mendekatiku. Dia menggodaku dengan berkata,’Kau jerawatan Zen? Pasti jerawat itu tumbuh karena kau merindukanku kan? Bukannya bilang langsung.’ Dengan PDnya Dia bilang begitu. Ya Tuhan. Kali ini Gema, si cowok yang ku sukai itu yang bilang seperti itu. Apa benar, apa benar jerawat ini terlahir karena ada rindu atau cinta yang terpendam? Sungguh tidak masuk di akal. 

            Saat Gema pergi meninggakanku dan Ida. Pipiku terasa lebih panas, apalagi jerawatnya itu, setiap detik kulihat di cermin, semakin masaklah ia. Tak terasa airmataku jatuh. Lengkap sudah kegalauanku. Melihat aku yang sedang menangis, Ida menenangkanku dan mencoba menghiburku. 

            “Aku heran sama orang-orang Zen, dari dulu hingga sekarang, kenapa mereka selalu menyangkut pautkan jerawat dengan cinta atau rindu yang di pendam? Lebih anehnya lagi, sampai meributkan, sibuk berasumsi, bahwa jerawat itu adalah karena betapa rindunya kita pada dirinya. Itu jerawat cinta untukku ya? Itu jerawat rindu atau kangen padaku ya? Aduh mereka mau-mau saja cintanya di samakan dengan jerawat yang padahal jerawat itu kotoran. Yang berasal dari debu, kuman-kuman, dan radiasi. Berbeda jauh dengan cinta yang sejatinya bernilai suci.” Jelas Ida yang nampak kebingungan, sama sepertiku. 

            Aku menyibakan airmata di pipiku. Lalu menatap Ida. Aku merasa senang kalau ternyata Ida punya pemikiran yang sama denganku tentang jerawat. 

            “Iya kamu benar Da. Aku tambah merasa aneh lagi ketika tiba-tiba Gema berpendapat kalau jerawat ini adalah rindu yang terpendam untuknya. Hih.”kataku, yang masih memegang chocochip yang memanas di pipiku. 

            “Tapi benar itu bukan jerawat rindu untuk Gema.?” Pertanyaan Ida, seketika meluluh-lantahkan teorinya. 

            “Yey, berarti kamu juga sama saja kaya yang lain.” Gerutuku.

            “Eh, gak ko. Aku Cuma pengen tahu aja? Bener bukan untuk Gema.?” Selidik Ida. 

            “Ih, kepo ya! Ya jelas bukan.” Jawabku, kesal. 

            “Bagus deh. Eh ngomong-ngomong jerawatmu lucu juga Zen. Kaya tahi lalatnya Revalina S. Temat hehehe.” Ida, lamat-lamat memperhatikan jerawatku. 

            “Hahaha. Terimakasih.” 

Apalah arti sebuah jerawat? Yang jelas jerawat bukan sebuah rumus untuk memecah senyawa yang bernama CINTA. Jerawat berasal dari debu, kuman-kuman, dan radiasi. Berbeda jauh dengan cinta yang sejatinya bernilai suci. Jadi masih berani bertanya atau memperebutkan jerawat seseorang sebagai tanda cinta terpendamnya untukmu? Cinta suci. Bukan berasal dari jerawat yang kotor. Tetap sejatinya ia bersemayam di hati.

           
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar