Seperti
lagu Sherina Munaf di film Pertualangan Sherina yang mengatakan,’Setiap Manusia
di dunia pasti punya kesalahan.’ Begitu juga denganku. Tak terhitung berapa
banyak aku melakukan kesalahan yang berujung pada kegagalan dalam hidup.
Penyesalan, kekecewaan, kesedihan, keterpurukan, keputusasaan, hingga kesakitan
telah menjadi cita rasa dalam hidupku tidak hambar. Di sini aku akan berbagi
kisah, yang tak akan pernah aku lupa. Ketika aku harus mati-matian memperjuangkan
mimpiku. Sedikit ada kemiripan dengan kisah yang ada di novel Perjalanan
Mengalahkan Waktu yang di tulis oleh Fatih Zam.
Aku
terlahir sebagai anak bungsu dari 8 bersaudara. Di tahun 2009 yang lalu aku
lulus dari sekolah Mts Nurul Hikmah. Saat itu aku punya keinginan untuk
meneruskan sekolah ke MAN Cijeruk yang lokasi sekolahnya tidak jauh dari
sekolahku yang dulu. Aku tahu hal ini akan menjadi hal yang sangat sulit untuk
aku raih. Bagaimana mungkin aku di perbolehkan meneruskan sekolah MA sedangkan
semua kakak-kakakku tidak ada yang meneruskan sekolahnya ketika lulus dari
SMP/MTS yang sama denganku. Mereka memilih kerja di pabrik-pabrik terdekat,
yang memang bisa memperkerjakan anak yang masih terbilang baru menginjak usia
remaja. Ke-7 kakakku jelas memilih membantu memenuhi ekonomi keluarga, karena
Ibu hanya Ibu Rumah Tangga dan Bapak adalah seorang buruh tani yang
berpenghasilan tidak tetap.
Entah
kenapa. Aku punya keinginan yang berbeda dengan kakak-kakakku. Mereka bilang
karena aku anak bungsu jadi manja, belum bisa memikirkan soal uang dan
kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Inilah yang menjadi tantanganku, sebuah
tembok yang membentang begitu tinggi yang harus aku lewati untuk sampai pada
impian yang di harapkan. Perkataan mereka membuat aku semakin membulatkan
tekad, dan meluruskan niat secara benar-benar. Ada semangat yang begitu kuat,
menggebu-gebu dalam diriku. Tak terhitung sudah berapa kali keinginanku itu di
rendahkan, di cuekkan, bahkan tak di dengar. Tak terhitung jutaan alir yang mengalir
dari mataku, merengek, memaksa, menjelaskan, bahwa mimpiku itu baik. Dengan
sekolah aku bisa belajar mmperbaiki diri, dan ada yang lebih penting lagi yaitu
bisa meningkatkan derajat keluarga. Beberapa kali mereka selalu bercerita
tentang keluarga kita yang tak begitu di hargai, dan kadang selalu di anggap
remeh oleh para tetangga yang memang memiliki finansial yang lebih dari
keluargaku.
Uang
yang menjadi persoalanku, menjadi bayang-bayangan abu yang mengelabuiku. Ketika
aku mulai ingin berjalan menuju mimpiku itu. Entah berapa kali aku mengadu pada
Tuhan, memohon pada-Nya agar meluluhkan hati mereka, menangis tersedu-sedu di
atas sajadah yang di penuhi tetesan airmata pengharapanku pada-Nya. Aku meminta
keajaiban kata’Kun’ darinya. Jika mimpiku itu baik, maka mudahkanlah Ia bagiku.
Aku bersimpuh, dengan tumbuhku yang meringkih, dengan suara yang lirih, dengan
hati yang menanggung beribu perih, memasrahkan semuanya pada yang Maha Pemberi
Keputusan. Aku tidak mengetahui apa-apa yang masih tersembunyi. Biarkan langit
mengumpulkan doa-doaku di sebuah Laci Tuhan. Mimpi mana yang akan Dia pilih
untuk di wujudkan. Di persetiga malam itu aku benar-benar pasrah akan takdir
pagi yang seperti apa yang ku dapat nanti. Takdir pagi yang seperti apa yang
akan aku tampi. Aku sudah terlanjur pasrah.
Tuhan,
Illahi Rabbi. Ternyata memahami apa mauku. Bisa melihat niat baikku. Pagi itu
aku di berikan kekuatan untuk melangkahkan kakiku menuju sekolah baru. Bertekad
untuk daftar sekolah tanpa sepengetahuan keluarga. Dengan membawa Asma-Nya
bersamaku. Aku yakin Allah akan memberikan jalan itu, bagi hambanya yang
sungguh-sungguh. Rezeki adalah rahasia-Nya, tapi untuk mendapatkannya kita
harus berjuang, tidak berdiam diri. Yang ada di fikiranku saat itu adalah yang
penting aku bisa daftar dan bisa masuk sekolah itu, insya Allah jalan rezekinya
akan di atur oleh Allah, lewat siapapun, meskipun aku tidak tahu akan lewat
mana Dia mengalirkannya. Tetapi aku yakin.
Singkat
cerita. Aku berhasil masuk sekolah yang aku inginkan. Entah itu karena
keegoisanku atau kesungguhanku. Tergantung kacamata orang mau memandangnya dari
mana. Aku tidak peduli. Namun hanya setengah semester saja aku mendapatkan
kebahagian bisa duduk di bangku sekolah menengah atas, setelah itu keluargaku
membentuk tembok yang begitu besar dari sebelumnya. Aku seperti di seret kasar
dari mimpiku itu, di tarik, di cabik, hingga kepedihan itu kembali mengukungku.
Kembali
aku di uji. Meskipun saat aku sekolah tak banyak hal yang ku minta dari mereka
tetap saja, mereka begitu takut, ketika nanti aku lulus ujian harus menggunakan
biaya yang besar, yang tidak bisa aku tanggung sendiri. Sudah berapa kali
mereka membentak, tak membuatku gentar. Kali ini justru pasukan yang Allah
kirim begitu banyak, ada teman-teman sekelasku yang membantuku, memberikan
semangat, menemaniku. Tak lupa ada guru-guru juga yang ingin mempertahankanku.
Mereka datang ke rumah, berbondong-bondong membantuku untuk menghancurkan
tembok yang menjulang tinggi itu. Entah ini berupa nilai kesalahan atau perjuangan,
keegoisan atau keteguhan. Berkat keyakinanku pada-Nya, karena Dia sudah
mengeluarkan separuh keajaiban-Nya dari kalimat’Kun,’ maka aku yakin Dia pasti
menolongku. Tak ada yang bisa melawan kehendak-Nya, tak akan ada yang bisa
mengubah apa yang sudah menjadi ketentuan-Nya.
Akhirnya.
Tembok itu bisa aku runtuhkan.
Perjalananku
mengalahkan waktu tak berhenti disini. Aku kembali memperjuangkan mimpi-mimpiku
yang baru. Biaya sekolah aku tukar dengan prestasiku. Aku berusaha keras agar
pihak sekolah memberikan beasiswa padaku. Agar keluargaku tahu, aku begitu
sungguh-sungguh. Beberapa kali aku ikut perlombaan Cerdas Cermat baik tingkat
sekolah maupun tingkat se-JABODETABEK. Lomba yang sangat aku minati dan aku
tekuni semenjak kelas 2 MA. Lebih dari 6 kali mengalami kekalahan sampai ketika
aku akan lulus sekolah dari MAN CIJERUK itu, barulah aku berhasil meraih trofi,
juara 1, 2, dan 3. Trofi itu harga bayaranku atau balas jasaku untuk
teman-teman, guru-guru dan seluruh pihak sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar