Kemana lagi Aku harus mencari sepotong tulang
rusukku yang hilang ? di manakah bidadari yang harus Aku jemput untuk
menemaniku dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti ? di manakah letak makmumku
berada ? siapakah yang akan menjadi pendampingku ? siapa yang akan menjadi
pelengkap setengah dienku ? bukankah setiap orang pasti akan di pertemukan
dengan pasangan sejatinya ? menikah, beranak pinak, menjadi keluarga yang
sakinah mawadah dan warrahmah. Umurku sudah semakin menua, wajahku sudah
berkerut, kusut tak ada cahaya. Tuhan akankah Aku menjadi seorang pangeran di
surga-Mu nanti ? seperti Engkau yang menciptakan bidadari-bidadari yang parasnya
cantik luar biasa berada dalam surga-Mu, yang tak pernah tersentuh oleh manusia
mau pun jin sebelumnya. Akankah Engkau menjadikan Aku seorang pangeran yang
akan menjadi pendamping bidadari-bidadari surga-Mu ?
Di malam yang dingin ku
mencoba merebahkan tubuhku yang lelah di atas ranjang, setelah seharian
mengerjakan pekerjaan yang sehari-seharinya Aku lakukan. Mengurus warung kecil
yang sudah 10 tahun Aku kelola bersama Ibu dan Bapakku guna menunjang biaya
kehidupan kami.
Aku menghela nafas
panjang ke langit-langit kamar. Tak hanya tubuhku yang merasa kelelahan, namun
seluruh hatiku juga merasakan lelah yang teramat. Lelah menanti seseorang yang
akan menjadi pelengkap kehidupanku. Setiap malam adalah waktu yang sering Aku
gunakan untuk merajuk-Nya, terus berdoa pada-Nya, meminta seorang bidadari
dunia untuk menjadi pendamping hidupku. Tak henti-hentinya setiap malam Aku
bermunajat pada-Nya, apalah arti kedudukan di dunia, kekayaan di dunia semua
itu tak akan membahagiakan hatiku sepenuhnya, jika tak ada seorang pendamping
hidup yang menemaniku. Menompang kejayaanku.
Ku
pandangi langit-langit kamar, membayangkan sosok perempuan yang anggun. Selalu
menungguku setiap pulang kerja, melayaniku dan bermanja-manja dalam pelukanku.
Umurku sudah hampir kepala 3. Dari sekian temanku semasa sekolah dan teman yang
seumuran denganku, rata-rata mereka sudah mempunyai 2 sampai 3 anak. Memiliki istri
dan anak-anak yang menjadi pelengkap dalam hidup mereka. Tak seperti diriku
yang menjadi “bujang lapuk” belum juga
menikah, mungkin karena kekurangan fisikal, tidak ada kesempatan, atau tidak
pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan
wajah ? Entahlah. Namun Aku masih berharap Tuhan memberikan salah satu
bidadari-bidadari-Nya untuk menemaniku mengarungi kehidupan di dunia.
Aku
memang tak memiliki paras muka yang tampan, tinggi, kekar dan berbagai kriteria
lainya yang termasuk kategori laki-laki idaman para wanita. Muka yang
pas-pasan, tinggiku hanya 156cm jauh dari normalnya laki-laki yang usianya
sudah matang bisa mencapai 170cm atau minimal 165cm. Jangan tanya tentang badan
kekar, itu tidak akan seimbang dengan tinggi badanku. Ya tubuhku kurus tak
berbody sexy layaknya aktor-aktor film action. Ternyata dunia memang kejam,
semua orang yang tidak di lahirkan tampan lagi mapan akan mudah tereleminasi
dari kehidupan. Tak layak dipilih.
10
tahun yang lalu saat usiaku 27 tahun dan siap untuk menikah.
“ bagaimana
nanti kalau Aku kenalkan kau dengan temanku, si Milah. Dia guru PAUD di
desanya. Umurnya lebih muda dari kau, 25 tahun. “ jelas Dadang padaku.
Dia memang temanku yang
selalu antusias menjodoh-jodohkanku dengan beberapa teman perempuannya. Dadang,
memiliki wajah yang jelas lebih tampan dariku, dan ada yang lebih penting dari
itu. Dadang terlahir di keluarga yang terpandang di kampungku. Kedua orang tuanya
memiliki beberapa bisnis yang mengurita. Kedua Hal tersebut adalah modal utamanya.
Meskipun Dadang seorang pengangguran tapi Dia tertolong oleh kekayaan yang
dimiliki kedua orang tuanya. Di umurnya
yang ke-24 Dia menikah dengan anak rekan bisnis Bapaknya dan sekarang sudah di
karuniai anak yang lucu. Hidupnya jelas lebih dan lebih beruntung dariku.
Dadang menikah, punya anak dan rumah pun di buatkan oleh kedua orang tuanya.
Aahh kalau Aku terus-terus membandingkan kehidupanku dengan Dadang, bisa-bisa
Aku selamanya tak akan merasa bahagia. Tak sepantasnya Aku seperti itu. Mensyukuri dengan apa yang sudah Aku miliki
sekarang itu jauh lebih baik. Merasa Qana’ah.
Kalau kau masih suka
membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain terkait harta, gelar, gaji, dan kedudukan. Maka jangan
pernah bermimpi untuk bahagia. Sebab, kebahagiaan hanya hadir saat kau
mensyukuri karunia Tuhanmu, menikmati hidupmu tanpa mengukurnya dari persepsi
orang lain. Hanya tiga hal yang boleh di bandingkan dengan orang lain yaitu,
tekun ibadah, besarnya manfaat, dan dalamnya ilmu. Jika ada yang lebih tekun
ibadahnya, lebih luas manfaatnya dan lebih dalam ilmunya, berlombalah
dengannya. Selain tiga hal itu, syukuri yang telah kau peroleh. Nikmatilah hidupmu.
Semoga dengan itu Allah membahagiakanmu. Itulah perkataan salah seorang Ustadz
di tempat tinggalku. Kata-kata itu terus menjadi pegangan untukku.
“
hmm. Kalau bisa, tidak hanya sekedar kenalan Dang. “ jawabku, mendesah pelan.
“ ya
iyalah, Aku ndak bakalan mengenalkan seseorang pada kau bukan untuk main-main
saja bung. Haha. “
“
jadi gimana caranya Aku kenal dan ketemuan dengan Milah ? “ tanyaku, yang di
tanya malah sedang asik mengepul-ngepulkan asap rokoknya ke udara.
“
kalau itu biar sekalian Aku yang ngatur Jam. Nanti kau tinggal ketemu dengan si
Milah. “ jawab Dadang santai, kini ia sedang menyeruput secangkir kopi yang Aku
sungguhkan untuknya.
“
Jam, beli minyak seperempat. “ suara Salamah yang hendak membeli menghentikan
obrolan Aku dengan Dadang. “ eh ada Mas Dadang, maen Mas ? “ tegur Salamah yang
kecentilan melihat Dadang nongkrong di warungku.
“ iya
Mba Sal. “ jawab Dadang singkat, tersenyum ramah pada Salamah.
“
minyak seperempat, terus apa lagi Mba ? “ tanyaku sambil memasukan minyak pada
plastik.
“
sudah, minyak saja Jam. “ jawab Salamah, memberikan uang yang sudah ia
keluarkan dari dompetnya. “ mari Mas Dadang, Salamah pamit dulu. Lagi goreng
ikan kehabisan minyak. Jadi lari dulu deh ke warung. Hehe. “ kata Salamah,
mukanya cengengesan.
“
iya, ya. Silahkan. Sudah sana, sana. Nanti goreng ikannya keburu gosong loh Mba
Sal. “ Aku yang menjawab sikap cengengesannya. Aku dan Dadang terbahak melihat
Salamah yang berlalu dengan wajah yang kesal dan bibir yang di manyunkannya.
1
minggu berlalu.
Misi
Dadang mengenalkanku dengan guru PAUD itu berjalan dengan lancar. Milah dan Aku
ketemuan di sebuah taman tempat anak-anak kecil bermain, remaja yang nongkrong
dan pacaran, maupun tempat orang tua yang ingin menikmati pemandangan danau dan
merasakan udara yang segar, bersemilir sejuk di sekitar taman.
Sejak
pertemuan kami berdua, Milah sudah mulai bisa terbuka dengan Aku. Dia menceritakan
banyak hal tentangnya padaku, begitu pun sebaliknya dengan Aku. Kami sering bercengrama
lewat sms atau telepon, karena kami berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan.
Beberapa bulan terus berlalu dengan cepat, hubunganku dengan Milah semakin
dekat. Kami sering menyempatkan waktu dalam satu minggu sekali pertemuan,
mengunjungi tempat-tempat bermain dan tempat kencan layaknya anak-anak muda.
Dan yang pasti ingin lebih mengenalnya lebih jauh. Hal itu mampu menumbuhkan
percikan-percikan cinta di hatiku untuknya. Aku yakin Milah bisa menerima Aku
apa adanya. Aku bisa menyimpulkannya dari sikapnya yang ramah dan tidak ada
perasaan gengsi ketika di ajak jalan denganku. Semoga Milah pun merasakan hal
yang sama dengan yang Aku rasakan.
“
Gimana tadi ngajar anak-anaknya Mba ? seru ? “ tanyaku pada Milah, ketika kami mengobrol
di telepon.
“ haha ya gitu deh Mas, seperti biasa seru
sekaligus repot. “ jawab Milah.
“ bagus
to Mba, buat ngelatih Mba ketika nanti punya anak. “
“ iya
betul Mas, oh iya kabar Mas Dadang gimana to Mas ? sudah lama Milah tidak
ketemu dengannya. “
“
kemarin sih Mas lihat Dia sehat-sehat saja, malahan sedang asik main-main
dengan anaknya. “
“
Jam, Jaamaaal. Ada yang beli tuh, bagaimana kau ini warung ko di
tinggal-tinggal. “ teriak Ibu dari dalam rumah. Aku menutup ujung telepon
dengan telapak tanganku agar teriakan Ibu tidak terdengar oleh Milah.
“ sudah
Mas jaga warung lagi saja, dari pada nanti di teriakin lagi sama ibunya to.
Milah pamit ya Mas. Assalamu’alaikum “
“
Wa’alaikumsalam.”
Dengan
perasaan sedikit kesal Aku langsung berlalu menuju warung. “ ibu tidak ngerti
apa kalau anaknya lagi berjuang mendekati calon menantunya.” Keluhku dalam
hati. Kemudian cengar-cengir sendiri membayangkan kalau Milah benar-benar akan
menjadi menantu Ibu, ya jadi Istriku.
1
bulan telah berlalu lagi.
Aku
sudah merencanakan rencana untuk menyatakan perasaanku pada Milah, dan Aku
ingin langsung melamarnya. Cincin emas seberat 2gram sudah Aku siapkan dari seminggu
yang lalu, yang Aku beli dari pasar ketika Aku belanja beberapa kebutuhan
warung yang sudah habis. Rencana ini Aku bicarakan dengan Ibu dan Bapak.
Setelah Aku menjelaskan tujuanku itu Ibu dan Bapak setuju dengan rencanaku.
Memang sudah beberapa tahun ini Ibu dan Bapak sudah menyuruhku untuk segera
mencari pendamping hidup, mengingat umurku yang memang sudah cukup untuk
menikah. Ibu dan Bapak memberikan banyak petuahnya padaku, dan mereka meminta
kalau Aku dan Milah jika kelak menikah tetaplah tinggal disini. “ nanti ajaklah
istrimu tinggal di sini, kau kan anak Ibu satu-satunya. Cepatlah pinang gadis
itu, ibu ingin cepat-cepat menimang cucu. “ begitulah hal-hal yang diinginkan
setiap orang tua. Ingin melihat anaknya bahagia menikah, memberikan cucu yang
bisa menemani masa tuanya.
Aku menggunakan
jadwal pertemuanku dalam satu minggu sekali, untuk meminangnya. Pertemuan pun
sedang berlangsung. Gaya rambut klimis di poles gel rambut dengan penuh gaya. Penampilan
sudah rapih dan harum minyak wangi di tubuhku sudah menyengat. Milah seperti
biasa memakai pakaian simple namun elegan, dengan memakai pakaian kaos lengan
panjang warna putih dan celana jeans warna biru langit. Rambut panjangnya di
biarkan terurai sampai tengah punggungnya. Membiarkan angin nakal
menghembuskannya, memain-mainkan beberapa helai rambutnya. Bergerak kesana-kemari.
Layaknya
anak-anak remaja yang sedang jatuh cinta. Aku pun gugup saat pertemuan kami
kali ini. Pertemuan yang akan mengungkapkan segala rasa cintaku pada Milah,
namun versinya lebih serius dari anak-anak remaja yang bergombal-gombal, mencari
kata-kata yang paling bagus untuk menyatakan perasaan mereka yang masih ababil.
Namun semua semangat dan keceriaanku dengan rencana yang sudah Aku buat
seketika menghilang menjadi perasaan sakit hati dan kekecewaan. Ketika Aku
menyodorkan sebentuk cincin di hadapannya dan Aku menjelaskan segala maksud dan
tujuanku memberikan cincin itu padanya. Tetapi bukan secerah matahari yang
tampak dari wajah Milah, melainkan awan mendung yang siap menurunkan beberapa titik-titik
hujan.
Saat itu
Dia jujur padaku. Tak bisa menerima lamaranku itu. awalnya Dia memang ingin
berniat serius denganku, menerima segala kekuranganku. Tapi dua bulan yang lalu
Dia bertemu dengan seorang pria yang boleh jadi lebih mapan dan lebih tampan
dariku. Hampir delapan bulan kedekatanku dengan Milah, dengan sekejap
tergantikan oleh pertemuan yang baru berumur dua bulan. Yang mampu mengubah
arah dan tujuan awal Milah dekat denganku. Apakah Aku harus merajuk-Nya ?
memaki-maki atas apa yang di takdirkan-Nya padaku ? apa Tuhan benar-benar Maha
Adil kepada makhluk-makhluk-Nya ?. Namun seketika itu Aku sudah membuang
jauh-jauh fikiran bodohku itu. Ya Tuhan betapa tidak karuannya hati ini
menghadapi kenyataan yang ada. Aku yang tak tampan dan hanya pedagang warung
kecil memang mudah di singkirkan oleh pria yang jelas-jelas dengan
ketampanannya mampu membuat hati wanita luluh dan memiliki pendatapan yang
lebih besar dari penjaga warung sepertiku.
Berminggu-minggu
Aku merenung, masih memikirkan tentang Milah. Aku sedikit bisa menyimpulkan dan
menerimanya dengan lapang dada. Coba, wanita mana yang ndak mau mengambil kesempatan yang lebih baik dari
tujuan sebelumnya. Ya itu adalah kesempatan yang langka bagi sebagian para
wanita, makanya dari itu mungkin wanita akan mudah tergiur. Mereka tidak bodoh
dengan memilih pria yang lebih bisa menjamin kehidupan yang baik di masa yang
akan datang. Saat itu Aku mulai menerima takdirku yang seperti itu, dada yang
sesak penuh dengan kesakit hatian. Apa mau di kata, seperti kupu-kupu yang
sudah kehabisan madu untuk ia hisap, maka ia akan bergegas terbang ke
taman-taman lain, mencari bunga-bunga yang masih banyak madunya. Lepaskanlah,
maka semoga yang lebih baik akan datang. Lepaskanlah, maka semoga suasana hati
akan lebih ringan.
Perputaran
waktu melesat begitu cepat, 2 bulan sudah kejadian itu tertinggal dan telah
menjadi masalalu yang menyakitkan bagiku. Apa yang
paling jauh dari kita? Itu benar, bulan,
bintang, teman di kota seberang, kerabat di benua lain, semua memang jauh. Tapi
yang paling jauh adalah 'masa lalu'. Kita tidak pernah bisa mendatangi masa
lalu. Jauh terbentang jaraknya, meski baru beberapa hari lalu, atau beberapa
jam lalu, atau beberapa menit lalu. Maka bagi
yang paham, masa lalu menjadi pondasi pembelajaran, terus memperbaiki diri,
bukan sebaliknya membebani, membuat langkah kaki terasa berat untuk maju.
Kata-kata ini direkonstruksi dari nasehat guru besar, Imam Al Ghazali. Milah
kini sudah jauh tertinggal dan terbenam di masa laluku.
“
sayur bayam 1 ikat lima ratusan, bumbu-bumbu dua ribu, tempe dan tahu dua ribu,
ikan sepat 1 ons tiga ribu. Semuanya jadi lima ribu lima ratus Jah “ kataku
yang sibuk menghitung harga belanjaan Ijah dan memasukannya ke dalam kantong plastik.
“ ada yang mau di beli lagi Jah ? itu ada lalapan yang masih segar-segar. Bisa menambah
kenikmatan temannya tempe, tahu. “ tawarku pada Ijah.
“
ndak aah Mas, sayur bayam juga sudah cukup sebagai pengganti lalapan. Ini uangnya.
“ jawab Ijah memberikan selembaran uang lima ribu dan uang receh lima ratus
rupiah. Setelah Aku menerimanya Ijah pun berlalu pulang ke rumahnya dengan plastik
hitam yang di tentengnya.
Warungku
kini sepi kembali. Di sela-sela menungguku masih sering memikirkan tentang
Milah. Dan hatiku seperti merasakan sakit seperti di masa lalu. Dua helai daun
cengkeh berbarengan gugur jatuh menyentuh tanah. Suara canda tawa anak-anak
kecil yang sedang bermain di lapangan depan warung membuat suasana menungguku
terisi dengan tawaan, melihat anak-anak kecil yang lucu-lucu.
Tahun
demi tahun telah terlewati lagi. Dadang tak henti-hentinya terus
menjodoh-jodohkanku dengan beberapa temannya. Aku ingat kita ketika umurku 29 tahun,
Dadang mengenalkanku dengan seorang gadis yang umurnya 19 tahun. Aku mencoba
berkenalan, jalan, teleponan dan lain-lain dengan gadis 19 tahun itu. Setelah
hampir dua bulan kami kenal cukup dekat, ketika akan muncul tunas-tunas baru di
hati, yah perasaan itu sudah terpangkas ketika mencoba muncul kepermukaan. Bagaimana
tidak, baru saja akan muncul sudah tersakiti. Saat itu Aku melihat gadis 19
tahun itu sedang berpelukan mesra dengan pacarnya di taman yang biasa Aku
kunjungi setiap minggunya. Hal ini juga yang membuat hatiku sakit lagi
sekaligus jijik melihat gadis 19 tahun itu.
Seperti
pohon yang sudah tua, daunnya akan mudah berguguran di terpa angin liar.
Di atas
ranjang kamarku kini terbaring lemah tubuh yang sudah tidak bisa berbuat
apa-apa. Langit-langit kamar terlihat gelap, remang-remang mataku menatap. Di pinggir
ranjang kiriku ada ibu yang mengucurkan lautan air matanya di sisiku. Tatapanya
begitu lelah, paras wajahnya tak bersemangat. Ada apa dengan ibuku ? Bapak menatap
datar dari arah pintu kamar, sesekali mengusap ujung kedua matanya. Ada apa
bapak ? kenapa kalian menangis ? kenapa tubuhku pun lemas tak ada tenaga untuk
menggerakannya ?. Ya Tuhan, sampai detik ini Aku masih mensyukuri atas takdir
yang Engkau tuliskan untukku. Aku ingin meminta maaf pada ibuku, sebagai anak
satu-satunya Aku tak bisa membahagiakannya, tak bisa memberikan cucu-cucu yang
menggemaskan seperti yang diinginkan. Ibu apalah daya jika Tuhan menakdirkan
Aku seperti ini, sungguh tidak ada yang salah mau pun tidak ada sia-sia. Aku yakin
Dia sangat menyayangiku, mungkin Aku tak bisa bersanding dengan bidadari-bidadari
dunia namun Dia akan mampertemukanku dengan bidadari-bidadari surga-Nya. Dan kabar
baik itu pastilah benar ibu.