Hujan tidak hanya mampu menyamarkan airmataku ketika Aku menangis. Namun Hujan juga mampu membuat hatiku merasakan tenang dengan suara rintikan yang jatuh dari atas langit. Hujan selalu meredamkan amarah di hatiku bahkan mampu menghapus kebencian yang meradang di hatiku. Suasana Hujan yang selalu Aku rindukan, seperti katak yang selalu riang menyambut datangnya Hujan dengan menyanyikan nyanyian hujan. Tak peduli dengan gelegar petir yang menyambar, Aku tetap mengagumi Hujan.
Jumat, 07 Juni 2013
ANAK RANTAUAN_CERPENKU ^_^
Hari yang cerah, langit yang biru, hembusan angin yang lembut dan sejuk memasuki pori-pori tubuhku, sangat menenangkan.
Ku pandangi langit diatas sana sambil berbaring diatas bukit yang berumput hijau dan asri. Fikiranku seolah dibuat melayang-layang. Menampakan episode masa lalu yang indah.
Desaku yang sangat indah. Bertahun-tahun sudah Aku hidup disini. Saat masa kanak-kanak yang ku habiskan bersama teman kecilku Udin, Pardi dan Soleh. Mereka yang menemani masa kecilku. Dan mengisi hari-hari yang menakjubkan.
Kami sering bermain bersama. Mencari belut di pesawahan Bapak H Iwan. Keseharian kami lebih banyak menghabiskan waktu di sawah. Dari mulai bermain layang-layang,mencari rumput, lalap-lalapan,mencari ikan, mencari belut, mencari tutut, mencari keong. Mencari apa saja yang bisa kami makan atau kami jual ke ibu-ibu disekitar rumah yang membutuhkan.
Anak-anak di desa kami terbiasa bermain di sawah sambil bekerja. Mencari apa saja yang bisa mereka dijual. Dan uangnya untuk mereka jajankan. Meskipun hanya cukup untuk sekedar beli es mambo atau mie campur saos yang seharga 200 perak, namun itu membuat mereka senang. Jarang sekali mereka meminta uang jajan pada ibu-ibunya. Mereka sedari kecil sudah di didik untuk selalu bekerja keras untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Aku dan kawan-kawanku dulu sering melakukannya. Saat Aku masih sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Pulang dari sawah dengan perut kenyang, bawa uang atau bawa ikan yang kadang sengaja kami tak jual, untuk ibu masak di rumah.
Baju yang dekil, kulit yang bau lumpur, rambut yang bau matahari dan membuat warna rambutnya agak kemerah-merahan, karena keseringan diam dibawah sinar matahari. ah masa-masa itu yang sangat menyenangkankan.
Aku membuka mata. Bayangan tentang masa lalu pun menghilang. Sejenak aku menghela nafas panjang. Ingin rasanya kembali kemasa-masa itu. Aku merindukan kawan-kawanku.
Sekarang Aku dan mereka sudah lama tak bertemu. Semenjak kita sudah lulus sekolah menengah pertama. Aku tak melanjutkan sekolah karena terbentur dengan biaya melanjutkan sekolah kejenjang sekolah menengah atas. Yang kala itu memang membutuhkan biaya yang cukup mahal.
Aku sadar, penghasilan Bapak sebagai buruh tani dan kadang jadi sopir itu tak akan cukup untuk biaya melanjutkan sekolahku. Ibu juga hanya ibu rumah tangga biasa.
Saat itu 1 tahun berlalu setelah kelulusanku. Dalam 1 tahun terakhir itu kegiatanku membantu Bapak di sawah. Menggarap ladang orang lain. Dari pagi sampai menjelang sore.
Teman-temanku Udin, Pardi dan Soleh mereka melanjutkan sekolahnya dengan mondok di pesantren kampung sebelah. Mereka pun tak pernah lagi menemani ku untuk sekedar menghabiskan waktu bermain di sawah. Karena kegiatan pesantren yang padat dan mereka pulang hanya 1 tahun sekali, saat hari raya idul fitri saja. Aku seperti kehilangan kawan-kawanku.
Suasana rumah. .
Siang itu, Bapak kedatangan kerabatnya dari Jakarta.
“Assalamu’alaikum Wawan. Bagaimana kabarmu? sudah lama tak jumpa ya. .” sapanya pada Bapak di teras rumah.
“Wa’alaikumsalam, Bud. .mari masuk. .Alhamdulillah kabarku baik. Bagaimana kabarmu Bud ? Terlihat makin gagah saja” jawab bapak menyambut tamunya dengan ramah sambil mempersilahkannya masuk.
“kabarku Alhamdulillah baik juga Wan. Ah dasar kau Wan, pintar sekali memuji. muka standar begini dibilang gagah. Oh iya Wan, perkenalkan ini istri saya namanya Zikra.” Katanya dengan rendah hati dan kemudian memperkenalkan wanita cantik yang ada disebelah kirinya. Wanita itu berambut panjang berwarna hitam pekat, alis yang tebal, bentuk bibirnya yang tipis dan nampak sempurna dengan warna kulitnya yang putih.
“subhanallah, istri kau cantik sekali Bud. perkenalkan bu nama saya pak Wawan.Teman masa kecilnya Budi. Dulu Budi sering sekali mencuri kelapa mbah Ujang denganku loh mba. .he “ guyon Bapak
“Terima Kasih pak atas pujiannya. Salam kenal, Namaku Zikra. Wah Aku tak tahu Pak kalau Budi dulunya suka nyuri kelapa ” jawab istri pak Budi dengan lembut dan menyunggingkan senyumannya yang manis.
Sontak saja semua yang ada di ruang tamu larut dalam tawa.
Percakapan terus berlanjut. Bapak bertemu dengan kawan lamanya yang sudah sukses di jakarta. Kami pun ikut serta dalam percakapan mereka. Bapak memperkenalkan Ibu, Aku, Nisa dan Yusuf adik bungsuku.
“ini Bud kenalkan Istri aku namanya Lina. Ini anak pertamaku Rio, yang kedua Nisa dan yang terakhir ini namanya Yusuf “ jelas bapak yang terlihat senang memperkenalkan kami satu persatu dari urutan Ibu, Aku dan sampai anak bungsunya Yusuf, yang kebetulan kami semua sedang ada dirumah.
Suasana ruang tamu pun ramai dengan beberapa macam tema pembicaraan. Aku memilih pamit pergi meninggalkan kebersamaan itu. pekerjaanku di sawah masih belum selesai.
“Bu, Rio izin mau pergi ke sawah. Rio belum ambil rumput buat kambing Juragan Haji Ibrohim “ kataku pada Ibuku. Ibu langsung mengerti dan menganggukan kepalanya, tanda memperbolehkan Aku pergi. Aku pun pamitan kepada Ibu, Bapak, Pak Budi dan Bu Zikra.
Aku mulai berjalan melewati jalanan setapak. Merasakan panasnya terik matahari yang membakar kulit. Sejenak Aku meminum seteguk air yang sengaja Aku bawa dari rumah, yang Aku masukan dalam botol minuman.
Beberapa menit kemudian Aku sampai di gubuk sawah yang semacam saung. Tempat Aku dan Bapak istirahat. Disana Aku langsung mengambil parit dan karung yang sudah ada, sengaja disimpan untuk mengambil rumput di pinggiran sawah.
Dengan bersemangat Aku langsung bergegas mencari sawah yang banyak di tumbuhi rumput liar. Satu persatu tepian sawah Aku telusuri. Hal ini membantu petani lain terbebas dari tanaman-tanaman yang tumbuh secara liar dan mengganggu tanaman yang sengaja petani itu tumbuhkan diladang-ladang mereka.
Mereka membebaskan Aku membersihkan rumput-rumput liar itu, selama Aku tak merusak tanaman-tanaman mereka. Rumput liar itu sangat mengganggu para petani lainnya. Hitung-hitung Aku membantu mereka, sengaja Aku ambil untuk makanan kambing juragan Haji Ibrohim.
Tak terasa, ku tengok karung rumputku ternyata sudah penuh dengan rumput-rumput yang Aku kumpulkan dari beberapa petak sawah. Ku minum beberapa teguk Air yang tadi ku sisakan. Tergerokanku seolah lega, setelah beberapa menit merasakan dahaga.
Beberapa menit ku rebahkan tubuhku diatas jerami yang menumpuk di sawah yang sudah panen. Tubuhku kelelahan. Panas terik matahari membuatku gerah dan langsung memutuskan untuk pergi ke sungai yang jaraknya tak jauh dari tempat Aku mengambil rumput.
“Byyuuurrrrr. . . .segarnya “ kataku sambil menyeburkan diri kealiran sungai yang jernih air yang mengalir melewati sela-sela batu sungai yang besar-besar. Tubuhku langsung terasa segar kembali. Angin yang sejuk seperti memanjakan tubuhku yang lelah karena seharian kepanasan.
Dari bawah sungai ku dengar seseorang tengah meneriakiku, memanggil-manggil namaku.
“Bang Rio. .Bang Rio. .Abang lagi mandi ya ? kata Ibu ayo cepat pulang, sore ini Om Budi mau mengajak kita main kerumahnya. Cepat bang, nanti kita ketinggalan.“ katanya dengan suara yang lantang, meneriakiku dari atas tebing sungai.
Aku kenal suaranya, Dia adalah si bungsu Yusuf. Dia sering disuruh Ibu untuk menyusulku yang sering lupa waktu pulang. Pernah suatu hari Aku pulang sampai menjelang magrib, Yusuf saat itu sedang sakit, tak bisa menjemputku untuk segera pulang, Bapak lagi nyopir mobil mang Deni, membawa keluarga mang Deni kerumah sakit, yang saat itu istri mang Deni akan melahirkan anak yang ke-3nya.
Siang itu setelah Aku mengerjakan pekerjaan di ladang tubuhku kelelahan dan secara tidak sengaja langsung ketiduran di saung, tempat Aku biasa beristirahat. Alhasil saat Aku tiba dirumah dimarahin Ibu.
Aku langsung menyembulkan kepalaku dari bawah air. Aku lihat adikku berdiri di atas jembatan penyebrangan sungai.
“ada apa suf ? “ Tanyaku singkat, hanya sekedar menanyakan kepastian apa yang tadi Aku dengar itu benar atau tidak.
“ itu bang, Om Budi mau mengajak kita main ke rumahnya yang daerah komplek perumahan itu. .kalau Abang tak bergegas Yusuf tinggal ya bang “jelasnya dengan nada mengancam.
“ok. .tunggu Abang “ Aku langsung naik ke darat, mengambil karung berisi rumput yang Aku simpan dibawah pohon bambu. Kemudian menyusul Yusuf yang sudah tak sabaran ingin cepat-cepat sampai rumah.
Saat perjalanan pulang berjalan begitu cepat. Sesampainya dirumah Aku dan Yusuf langsung berganti pakainya yang bersih dan rapih. Sederhana saja, tak begitu bagus dan mewah. Bapak, Ibu, Nisa, Om Budi dan istrinya sudah menunggu di depan teras kami. .
Kami berangkat dengan menggunakan mobil Xenia Hitam Om Budi.
Om Budi menyupir mobilnya sendiri dan Bu Zikra berada disamping kiri kemudinya.
Mobilnya melaju dengan cepat, melewati jalanan kampung menuju komplek perumahan Om Budi.. keluarga Om Budi sengaja membeli perumahan disekitar desa dekat tempat tinggalnya dulu. Om Budi sudah yatim piatu.
Sejak ditinggalkan oleh kedua orang tua untuk selama-selamanya. Beliau memutuskan untuk merantau ke kota Jakarta. Disana Beliau bekerja di sebuah toko sepatu. Beliau sangat tanggung jawab dengan pekerjaannya, jujur dan ulet hingga menjadi karyawan yang baik, beruntung majikannya mau membiayainya untuk kuliah. Dan setiap hari sabtu dan minggu Beliau kuliah mengambil jadwal kelas karyawan.
Karena kepintaran dan keuletanya dalam bekerja Beliau mampu sukses di Jakarta. Yang awalnya hanya menjadi karyawan di toko sepatu sampai menjadi Juragan atau Bos dibeberapa toko sepatu yang di sebar di beberapa tempat di jakarta. Begitulah Bapak menjelaskan proses karir dari Om Budi padaku.
Setengah jam perjalanan pun berlalu. Kami sampai di depan rumah yang cukup mewah.Tanaman-tanaman hias yang elok menghiasi taman di depan rumahnya. terlihat juga kolam ikan berukuran kecil, bukan seperti kolam yang di desa berlumpur dan becek tempat ikan mas dan lele. Melihat dari luarnya saja Aku sudah terpana, kelihatan ndesonya. Aku tak sabar untuk melihat kedalam rumahnya.
Kami sekeluarga pun di persilahkan masuk dan duduk dikursi yang empuk. Aku, Nisa dan Yusuf melirik-lirik kearah benda-benda yang aneh yang belum pernah kami lihat. Ibu, Bapak dan Om Budi tertawa melihat gelagat kami bertiga. Sementara Bu Zikra sibuk menyiapkan hidangan untuk kami. Mata kami berbinar dan kagum melihat benda-benda bagus.
Di ruang tamunya dipasang foto pernikahan yang besar dan di samping foto pernikahan mereka memasang foto mereka saat umrah ke tanah suci. Selain itu terpasang beberapa penghargaan yang di tujukan untuk Om Budi dan Bu zikra. Ada juga foto-foto lucu anaknya. Yang katanya tidak bisa ikut ke sini karena sedang study tour ke Bandung bersama guru-guru dan teman sekolahnya.
Kulihat foto-foto dan penghargaan Bu Zikra. Ternyata Bu Zikra adalah seorang Dosen di kampus Sekolah Tinggi Agama Islam.
“ Sungguh keluarga yang bahagia dan memiliki pendidikan yang baik “ Gumamku didalam hati.
Beberapa menit kemudian Bu Zikra datang dengan membawa hidangan. Kemudian menawarkannya kepada kami.
“silahkan dicicipi Bu, Pak. Hanya ada cemilan biasa saja. silahkan“ katanya dengan sopan menawarkan
“iya, tidak apa-apa, terima kasih Bu sudah menjamu keluarga kami dengan baik.” Jawab Ibu
Waktu selama 1 jam setengah pun kami habiskan untuk berbincang. Om Budi menceritakan bisnis toko sepatunya. Aku dan Adik-adikku hanya diam, takjub mendengarkan cerita-cerita Om Budi. Tentang bagaimana kerasnya hidup di kota. Bapak juga menceritakan bagaimana keadaan dan kemajuan para petani di desa kami. Setelah beberapa tahun Om Budi meninggalkan kampung kami.
Cerita pun terhenti saat tiba waktu magrib. Aku, Bapak, Om Budi dan Yusuf pergi ke masjid komplek perumahan untuk sholat berjamaah. Ibu, Nisa sholat di rumah bersama Bu Zikra.
Setelah melaksanakan shalat magrib kami sekeluarga langsung pamit pulang. Dengan diantar Om Budi saja. Bu zikra memohon maaf tidak bisa mengantar kami pulang.
Kami tiba di rumah pukul 19.30.
Saat di rumah kami sekeluarga berkumpul. Aku yang penasaran ingin tahu bagaimana masa kecil Om Budi di desa kami. Sampai bisa sesukses itu. malam itu pun menjadi malam yang menarik. Ternyata tak hanya Aku yang penasaran Nisa dan Yusuf pun sama.
“ Pak, Apakah Om Budi dulunya pernah mencari ikan di sungai atau pernahkah Om Budi seharian mencari belut di sawah ? “Tanya Yusuf dengan mimik muka yang polos dan penasaran.
“ tentu saja Om Budi pernah melakukannya“ jawab Bapak sambil tersenyum pada kami bertiga.
“ Terus bagaimana Om Budi bisa sesukses itu Pak ? apa dulunya kedua orang tuanya kaya ya Pak ? “ Tanyaku penasaran.
“ Om Budi itu orangnya cerdas, pintar dan rajin. Dulunya saat sekolah dengan Bapak Dia anak paling jenius di kelas. Tak hanya itu Dia anak yang rajin, berangkat sekolah selalu paling pagi. Om Budi bukan terlahir dari orang kaya. Ibunya penjual gorengan keliling dan Bapaknya hanya petani serabutan seperti Bapak. Dia juga sering membantu berjualan gorengan Ibunya, dan kadang berjualan Es Mambo tetangganya. Yang membuat Om Budi sukses itu karena Dia rajin dan pekerja keras.” Jelas Bapak.
“ hanya itu saja Pak? Nisa masih merasa tidak percaya kalau Om Budi yang dulunya sering jualan Es dan gorengan bisa sukses dan punya rumah gedong itu Pak he. .” Tanya Nisa dengan mimik muka heran dan cengengesan.
“ hush. .tidak boleh gitu Nisa. Adakah yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak demikian. Mau tukang pemulung saja kalau Allah sudah berkehendak Dia jadi milioner bisa saja terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah bukan ? “ kali ini Ibu yang menjawab dan memberikan pemahaman yang baik bagi kami.
“ Ibu betul, Kun Fayakun. Jika Allah sudah berkehendak dikatakan-Nya Terjadi, Maka Terjadilah. Oh iya, Om Rudi adalah anak yang sholeh taat kepada Allah dan taat kepada orang tua “ sambung Bapak melengkapinya dengan ayat Al-Qur’an.
“ jadi kita harus bekerja keras dan rajin ibadah juga ya Pak ? “ Tanya Yusuf sambil mengaruk-garuk kepalanya.
“ iya. Makanya kalian harus bisa menjadi orang sukses seperti Om Budi. Kalian harus bekerja keras dan jadi anak-anak yang sholeh dan sholehah. Meskipun Bapak hanya Petani tapi kalian harus jadi orang yang lebih hebat tak harus jadi seorang petani seperti Bapak” tutur Bapak sambil mengelus-ngelus kepala kami bertiga. Ibu hanya tersenyum melihatnya.
“ Pak, apakah kalau kita ingin sukses kita harus merantau ke kota dulu ? “ tanyaku pada Bapak.
“ tidak semua orang merantau itu sukses Rio. Ada juga yang malah hidupnya tambah carut marut tidak karuan di kota. Banyak yang hidup di kolong jembatan, di jalanan, dan juga di gerobak sampah. Itu karena sebagian dari mereka tidak mempersiapkan iman yang kokoh dan tidak memiliki kemampuan yang baik untuk hidup dan bersaing di kota.” Jawab Bapak
“ kelak Aku ingin seperti Om Budi Pak “kataku sambil melihat kearah Bapak yang masih mengelus-ngelus kepala Nisa dan Yusuf.
“ bekerja keraslah, tebalkan imanmu dimulai dari sekarang agar nanti saat kau merantau kau tak kehilangan keimananmu itu. akan ada saatnya nanti kau tahu kehidupan di kota sana “ jawab Bapak
Malam itu pun menjadi malam yang penuh dengan harapan dan terkandung pelajaran dan pemahaman yang baik. Jika Aku sudah siap, Aku ingin merantau. .
*16 April 2013*
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar