Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Sabtu, 29 Juni 2013

TUHAN AKANKAH AKU MENJADI SEORANG PANGERAN_Cerpenku



Kemana lagi Aku harus mencari sepotong tulang rusukku yang hilang ? di manakah bidadari yang harus Aku jemput untuk menemaniku dalam kehidupan di dunia dan akhirat nanti ? di manakah letak makmumku berada ? siapakah yang akan menjadi pendampingku ? siapa yang akan menjadi pelengkap setengah dienku ? bukankah setiap orang pasti akan di pertemukan dengan pasangan sejatinya ? menikah, beranak pinak, menjadi keluarga yang sakinah mawadah dan warrahmah. Umurku sudah semakin menua, wajahku sudah berkerut, kusut tak ada cahaya. Tuhan akankah Aku menjadi seorang pangeran di surga-Mu nanti ? seperti Engkau yang menciptakan bidadari-bidadari yang parasnya cantik luar biasa berada dalam surga-Mu, yang tak pernah tersentuh oleh manusia mau pun jin sebelumnya. Akankah Engkau menjadikan Aku seorang pangeran yang akan menjadi pendamping bidadari-bidadari surga-Mu ? 

Di malam yang dingin ku mencoba merebahkan tubuhku yang lelah di atas ranjang, setelah seharian mengerjakan pekerjaan yang sehari-seharinya Aku lakukan. Mengurus warung kecil yang sudah 10 tahun Aku kelola bersama Ibu dan Bapakku guna menunjang biaya kehidupan kami. 

Aku menghela nafas panjang ke langit-langit kamar. Tak hanya tubuhku yang merasa kelelahan, namun seluruh hatiku juga merasakan lelah yang teramat. Lelah menanti seseorang yang akan menjadi pelengkap kehidupanku. Setiap malam adalah waktu yang sering Aku gunakan untuk merajuk-Nya, terus berdoa pada-Nya, meminta seorang bidadari dunia untuk menjadi pendamping hidupku. Tak henti-hentinya setiap malam Aku bermunajat pada-Nya, apalah arti kedudukan di dunia, kekayaan di dunia semua itu tak akan membahagiakan hatiku sepenuhnya, jika tak ada seorang pendamping hidup yang menemaniku. Menompang kejayaanku. 

          Ku pandangi langit-langit kamar, membayangkan sosok perempuan yang anggun. Selalu menungguku setiap pulang kerja, melayaniku dan bermanja-manja dalam pelukanku. Umurku sudah hampir kepala 3. Dari sekian temanku semasa sekolah dan teman yang seumuran denganku, rata-rata mereka sudah mempunyai 2 sampai 3 anak. Memiliki istri dan anak-anak yang menjadi pelengkap dalam hidup mereka. Tak seperti diriku yang  menjadi “bujang lapuk” belum juga menikah, mungkin karena kekurangan fisikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah ? Entahlah. Namun Aku masih berharap Tuhan memberikan salah satu bidadari-bidadari-Nya untuk menemaniku mengarungi kehidupan di dunia. 

          Aku memang tak memiliki paras muka yang tampan, tinggi, kekar dan berbagai kriteria lainya yang termasuk kategori laki-laki idaman para wanita. Muka yang pas-pasan, tinggiku hanya 156cm jauh dari normalnya laki-laki yang usianya sudah matang bisa mencapai 170cm atau minimal 165cm. Jangan tanya tentang badan kekar, itu tidak akan seimbang dengan tinggi badanku. Ya tubuhku kurus tak berbody sexy layaknya aktor-aktor film action. Ternyata dunia memang kejam, semua orang yang tidak di lahirkan tampan lagi mapan akan mudah tereleminasi dari kehidupan. Tak layak dipilih.

          10 tahun yang lalu saat usiaku 27 tahun dan siap untuk menikah. 

          “ bagaimana nanti kalau Aku kenalkan kau dengan temanku, si Milah. Dia guru PAUD di desanya. Umurnya lebih muda dari kau, 25 tahun. “ jelas Dadang padaku. 

Dia memang temanku yang selalu antusias menjodoh-jodohkanku dengan beberapa teman perempuannya. Dadang, memiliki wajah yang jelas lebih tampan dariku, dan ada yang lebih penting dari itu. Dadang terlahir di keluarga yang terpandang di kampungku. Kedua orang tuanya memiliki beberapa bisnis yang mengurita. Kedua Hal tersebut adalah modal utamanya. Meskipun Dadang seorang pengangguran tapi Dia tertolong oleh kekayaan yang dimiliki kedua orang tuanya.  Di umurnya yang ke-24 Dia menikah dengan anak rekan bisnis Bapaknya dan sekarang sudah di karuniai anak yang lucu. Hidupnya jelas lebih dan lebih beruntung dariku. Dadang menikah, punya anak dan rumah pun di buatkan oleh kedua orang tuanya. Aahh kalau Aku terus-terus membandingkan kehidupanku dengan Dadang, bisa-bisa Aku selamanya tak akan merasa bahagia. Tak sepantasnya Aku seperti itu.  Mensyukuri dengan apa yang sudah Aku miliki sekarang itu jauh lebih baik. Merasa Qana’ah. 

Kalau kau masih suka membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain terkait  harta, gelar, gaji, dan kedudukan. Maka jangan pernah bermimpi untuk bahagia. Sebab, kebahagiaan hanya hadir saat kau mensyukuri karunia Tuhanmu, menikmati hidupmu tanpa mengukurnya dari persepsi orang lain. Hanya tiga hal yang boleh di bandingkan dengan orang lain yaitu, tekun ibadah, besarnya manfaat, dan dalamnya ilmu. Jika ada yang lebih tekun ibadahnya, lebih luas manfaatnya dan lebih dalam ilmunya, berlombalah dengannya. Selain tiga hal itu, syukuri yang telah kau peroleh. Nikmatilah hidupmu. Semoga dengan itu Allah membahagiakanmu. Itulah perkataan salah seorang Ustadz di tempat tinggalku. Kata-kata itu terus menjadi pegangan untukku.

          “ hmm. Kalau bisa, tidak hanya sekedar kenalan Dang. “ jawabku, mendesah pelan. 

          “ ya iyalah, Aku ndak bakalan mengenalkan seseorang pada kau bukan untuk main-main saja bung. Haha. “ 

          “ jadi gimana caranya Aku kenal dan ketemuan dengan Milah ? “ tanyaku, yang di tanya malah sedang asik mengepul-ngepulkan asap rokoknya ke udara.

          “ kalau itu biar sekalian Aku yang ngatur Jam. Nanti kau tinggal ketemu dengan si Milah. “ jawab Dadang santai, kini ia sedang menyeruput secangkir kopi yang Aku sungguhkan untuknya. 

          “ Jam, beli minyak seperempat. “ suara Salamah yang hendak membeli menghentikan obrolan Aku dengan Dadang. “ eh ada Mas Dadang, maen Mas ? “ tegur Salamah yang kecentilan melihat Dadang nongkrong di warungku.

          “ iya Mba Sal. “ jawab Dadang singkat, tersenyum ramah pada Salamah. 

          “ minyak seperempat, terus apa lagi Mba ? “ tanyaku sambil memasukan minyak pada plastik. 

          “ sudah, minyak saja Jam. “ jawab Salamah, memberikan uang yang sudah ia keluarkan dari dompetnya. “ mari Mas Dadang, Salamah pamit dulu. Lagi goreng ikan kehabisan minyak. Jadi lari dulu deh ke warung. Hehe. “ kata Salamah, mukanya cengengesan.

          “ iya, ya. Silahkan. Sudah sana, sana. Nanti goreng ikannya keburu gosong loh Mba Sal. “ Aku yang menjawab sikap cengengesannya. Aku dan Dadang terbahak melihat Salamah yang berlalu dengan wajah yang kesal dan bibir yang di manyunkannya. 

          1 minggu berlalu. 

          Misi Dadang mengenalkanku dengan guru PAUD itu berjalan dengan lancar. Milah dan Aku ketemuan di sebuah taman tempat anak-anak kecil bermain, remaja yang nongkrong dan pacaran, maupun tempat orang tua yang ingin menikmati pemandangan danau dan merasakan udara yang segar, bersemilir sejuk di sekitar taman.  

          Sejak pertemuan kami berdua, Milah sudah mulai bisa terbuka dengan Aku. Dia menceritakan banyak hal tentangnya padaku, begitu pun sebaliknya dengan Aku. Kami sering bercengrama lewat sms atau telepon, karena kami berdua sama-sama sibuk dengan pekerjaan. Beberapa bulan terus berlalu dengan cepat, hubunganku dengan Milah semakin dekat. Kami sering menyempatkan waktu dalam satu minggu sekali pertemuan, mengunjungi tempat-tempat bermain dan tempat kencan layaknya anak-anak muda. Dan yang pasti ingin lebih mengenalnya lebih jauh. Hal itu mampu menumbuhkan percikan-percikan cinta di hatiku untuknya. Aku yakin Milah bisa menerima Aku apa adanya. Aku bisa menyimpulkannya dari sikapnya yang ramah dan tidak ada perasaan gengsi ketika di ajak jalan denganku. Semoga Milah pun merasakan hal yang sama dengan yang Aku rasakan. 

          “ Gimana tadi ngajar anak-anaknya Mba ? seru ? “ tanyaku pada Milah, ketika kami mengobrol di telepon.

           “ haha ya gitu deh Mas, seperti biasa seru sekaligus repot. “ jawab Milah. 

          “ bagus to Mba, buat ngelatih Mba ketika nanti punya anak. “ 

          “ iya betul Mas, oh iya kabar Mas Dadang gimana to Mas ? sudah lama Milah tidak ketemu dengannya. “

          “ kemarin sih Mas lihat Dia sehat-sehat saja, malahan sedang asik main-main dengan anaknya. “ 

          “ Jam, Jaamaaal. Ada yang beli tuh, bagaimana kau ini warung ko di tinggal-tinggal. “ teriak Ibu dari dalam rumah. Aku menutup ujung telepon dengan telapak tanganku agar teriakan Ibu tidak terdengar oleh Milah. 

          “ sudah Mas jaga warung lagi saja, dari pada nanti di teriakin lagi sama ibunya to. Milah pamit ya Mas. Assalamu’alaikum “ 

          “ Wa’alaikumsalam.”

          Dengan perasaan sedikit kesal Aku langsung berlalu menuju warung. “ ibu tidak ngerti apa kalau anaknya lagi berjuang mendekati calon menantunya.” Keluhku dalam hati. Kemudian cengar-cengir sendiri membayangkan kalau Milah benar-benar akan menjadi menantu Ibu, ya jadi Istriku.  

          1 bulan telah berlalu lagi. 

          Aku sudah merencanakan rencana untuk menyatakan perasaanku pada Milah, dan Aku ingin langsung melamarnya. Cincin emas seberat 2gram sudah Aku siapkan dari seminggu yang lalu, yang Aku beli dari pasar ketika Aku belanja beberapa kebutuhan warung yang sudah habis. Rencana ini Aku bicarakan dengan Ibu dan Bapak. Setelah Aku menjelaskan tujuanku itu Ibu dan Bapak setuju dengan rencanaku. Memang sudah beberapa tahun ini Ibu dan Bapak sudah menyuruhku untuk segera mencari pendamping hidup, mengingat umurku yang memang sudah cukup untuk menikah. Ibu dan Bapak memberikan banyak petuahnya padaku, dan mereka meminta kalau Aku dan Milah jika kelak menikah tetaplah tinggal disini. “ nanti ajaklah istrimu tinggal di sini, kau kan anak Ibu satu-satunya. Cepatlah pinang gadis itu, ibu ingin cepat-cepat menimang cucu. “ begitulah hal-hal yang diinginkan setiap orang tua. Ingin melihat anaknya bahagia menikah, memberikan cucu yang bisa menemani masa tuanya. 

          Aku menggunakan jadwal pertemuanku dalam satu minggu sekali, untuk meminangnya. Pertemuan pun sedang berlangsung. Gaya rambut klimis di poles gel rambut dengan penuh gaya. Penampilan sudah rapih dan harum minyak wangi di tubuhku sudah menyengat. Milah seperti biasa memakai pakaian simple namun elegan, dengan memakai pakaian kaos lengan panjang warna putih dan celana jeans warna biru langit. Rambut panjangnya di biarkan terurai sampai tengah punggungnya. Membiarkan angin nakal menghembuskannya, memain-mainkan beberapa helai rambutnya. Bergerak kesana-kemari.

          Layaknya anak-anak remaja yang sedang jatuh cinta. Aku pun gugup saat pertemuan kami kali ini. Pertemuan yang akan mengungkapkan segala rasa cintaku pada Milah, namun versinya lebih serius dari anak-anak remaja yang bergombal-gombal, mencari kata-kata yang paling bagus untuk menyatakan perasaan mereka yang masih ababil. Namun semua semangat dan keceriaanku dengan rencana yang sudah Aku buat seketika menghilang menjadi perasaan sakit hati dan kekecewaan. Ketika Aku menyodorkan sebentuk cincin di hadapannya dan Aku menjelaskan segala maksud dan tujuanku memberikan cincin itu padanya. Tetapi bukan secerah matahari yang tampak dari wajah Milah, melainkan awan mendung yang siap menurunkan beberapa titik-titik hujan. 

          Saat itu Dia jujur padaku. Tak bisa menerima lamaranku itu. awalnya Dia memang ingin berniat serius denganku, menerima segala kekuranganku. Tapi dua bulan yang lalu Dia bertemu dengan seorang pria yang boleh jadi lebih mapan dan lebih tampan dariku. Hampir delapan bulan kedekatanku dengan Milah, dengan sekejap tergantikan oleh pertemuan yang baru berumur dua bulan. Yang mampu mengubah arah dan tujuan awal Milah dekat denganku. Apakah Aku harus merajuk-Nya ? memaki-maki atas apa yang di takdirkan-Nya padaku ? apa Tuhan benar-benar Maha Adil kepada makhluk-makhluk-Nya ?. Namun seketika itu Aku sudah membuang jauh-jauh fikiran bodohku itu. Ya Tuhan betapa tidak karuannya hati ini menghadapi kenyataan yang ada. Aku yang tak tampan dan hanya pedagang warung kecil memang mudah di singkirkan oleh pria yang jelas-jelas dengan ketampanannya mampu membuat hati wanita luluh dan memiliki pendatapan yang lebih besar dari penjaga warung sepertiku.  

          Berminggu-minggu Aku merenung, masih memikirkan tentang Milah. Aku sedikit bisa menyimpulkan dan menerimanya dengan lapang dada. Coba, wanita mana yang ndak mau  mengambil kesempatan yang lebih baik dari tujuan sebelumnya. Ya itu adalah kesempatan yang langka bagi sebagian para wanita, makanya dari itu mungkin wanita akan mudah tergiur. Mereka tidak bodoh dengan memilih pria yang lebih bisa menjamin kehidupan yang baik di masa yang akan datang. Saat itu Aku mulai menerima takdirku yang seperti itu, dada yang sesak penuh dengan kesakit hatian. Apa mau di kata, seperti kupu-kupu yang sudah kehabisan madu untuk ia hisap, maka ia akan bergegas terbang ke taman-taman lain, mencari bunga-bunga yang masih banyak madunya. Lepaskanlah, maka semoga yang lebih baik akan datang. Lepaskanlah, maka semoga suasana hati akan lebih ringan.

          Perputaran waktu melesat begitu cepat, 2 bulan sudah kejadian itu tertinggal dan telah menjadi masalalu yang menyakitkan bagiku. Apa yang paling jauh dari kita? Itu benar, bulan, bintang, teman di kota seberang, kerabat di benua lain, semua memang jauh. Tapi yang paling jauh adalah 'masa lalu'. Kita tidak pernah bisa mendatangi masa lalu. Jauh terbentang jaraknya, meski baru beberapa hari lalu, atau beberapa jam lalu, atau beberapa menit lalu. Maka bagi yang paham, masa lalu menjadi pondasi pembelajaran, terus memperbaiki diri, bukan sebaliknya membebani, membuat langkah kaki terasa berat untuk maju. Kata-kata ini direkonstruksi dari nasehat guru besar, Imam Al Ghazali. Milah kini sudah jauh tertinggal dan terbenam di masa laluku. 

          “ sayur bayam 1 ikat lima ratusan, bumbu-bumbu dua ribu, tempe dan tahu dua ribu, ikan sepat 1 ons tiga ribu. Semuanya jadi lima ribu lima ratus Jah “ kataku yang sibuk menghitung harga belanjaan Ijah dan memasukannya ke dalam kantong plastik. “ ada yang mau di beli lagi Jah ? itu ada lalapan yang masih segar-segar. Bisa menambah kenikmatan temannya tempe, tahu. “ tawarku pada Ijah.  

          “ ndak aah Mas, sayur bayam juga sudah cukup sebagai pengganti lalapan. Ini uangnya. “ jawab Ijah memberikan selembaran uang lima ribu dan uang receh lima ratus rupiah. Setelah Aku menerimanya Ijah pun berlalu pulang ke rumahnya dengan plastik hitam yang di tentengnya.

          Warungku kini sepi kembali. Di sela-sela menungguku masih sering memikirkan tentang Milah. Dan hatiku seperti merasakan sakit seperti di masa lalu. Dua helai daun cengkeh berbarengan gugur jatuh menyentuh tanah. Suara canda tawa anak-anak kecil yang sedang bermain di lapangan depan warung membuat suasana menungguku terisi dengan tawaan, melihat anak-anak kecil yang lucu-lucu.

          Tahun demi tahun telah terlewati lagi. Dadang tak henti-hentinya terus menjodoh-jodohkanku dengan beberapa temannya. Aku ingat kita ketika umurku 29 tahun, Dadang mengenalkanku dengan seorang gadis yang umurnya 19 tahun. Aku mencoba berkenalan, jalan, teleponan dan lain-lain dengan gadis 19 tahun itu. Setelah hampir dua bulan kami kenal cukup dekat, ketika akan muncul tunas-tunas baru di hati, yah perasaan itu sudah terpangkas ketika mencoba muncul kepermukaan. Bagaimana tidak, baru saja akan muncul sudah tersakiti. Saat itu Aku melihat gadis 19 tahun itu sedang berpelukan mesra dengan pacarnya di taman yang biasa Aku kunjungi setiap minggunya. Hal ini juga yang membuat hatiku sakit lagi sekaligus jijik melihat gadis 19 tahun itu. 

          Seperti pohon yang sudah tua, daunnya akan mudah berguguran di terpa angin liar. 

          Di atas ranjang kamarku kini terbaring lemah tubuh yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Langit-langit kamar terlihat gelap, remang-remang mataku menatap. Di pinggir ranjang kiriku ada ibu yang mengucurkan lautan air matanya di sisiku. Tatapanya begitu lelah, paras wajahnya tak bersemangat. Ada apa dengan ibuku ? Bapak menatap datar dari arah pintu kamar, sesekali mengusap ujung kedua matanya. Ada apa bapak ? kenapa kalian menangis ? kenapa tubuhku pun lemas tak ada tenaga untuk menggerakannya ?. Ya Tuhan, sampai detik ini Aku masih mensyukuri atas takdir yang Engkau tuliskan untukku. Aku ingin meminta maaf pada ibuku, sebagai anak satu-satunya Aku tak bisa membahagiakannya, tak bisa memberikan cucu-cucu yang menggemaskan seperti yang diinginkan. Ibu apalah daya jika Tuhan menakdirkan Aku seperti ini, sungguh tidak ada yang salah mau pun tidak ada sia-sia. Aku yakin Dia sangat menyayangiku, mungkin Aku tak bisa bersanding dengan bidadari-bidadari dunia namun Dia akan mampertemukanku dengan bidadari-bidadari surga-Nya. Dan kabar baik itu pastilah benar ibu.
         
           
         
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar