Hujan yang turun sore ini pun akhirnya membawa hatiku pada
ketenangan. Saat kejadian itu nyaris saja Aku tak bisa lagi merasakan
ketenangan seutuhnya dalam diriku, hatiku hancur, hampir-hampir Aku tak bisa
menahan emosi yang ada pada diriku. Ingin rasanya menyiksa diri ini, agar ikut
merasakan sakit bersama kesakitan hatiku ini. Tetapi Alhamdulillah Allah begitu
menyayangiku, Dia melindungiku dari kesesatan itu. Diri ini masih mampu
menghandel kemarahan yang ada dihatiku.
Pengkhianatan itu tak bisa membuatku berfikir jernih. Luka
dihatiku seperti membuka luka yang lebar, kekecewaan akan pengkhianatan oleh
orang yang selama ini Aku cintai, mencampakan cintaku begitu saja.
Aku seorang laki-laki tak ingin terlalu berlarut-larut dalam
kepedihan ini. Cukup Aku yang kehilangan orang yang tak pernah mencintaiku dan
Dia kehilangan orang yang sangat mencintainya.
Malam ini Aku lebih mencoba mendekati Tuhanku, merenungkan
apa yang terjadi pada diriku, pengkhianatan cinta pertamaku. Aku salah
mengenalnya dan Aku salah telah mencintainya. Sesak sekali dada ini, ku harap
Tuhan mempercepat proses penyembuhan hatiku. Hidupku seolah hampa, Aku datang
pada Allah saat Aku merasa sakit dan kehampaan dalam diri ini, sungguh Aku
ingin meminta maaf pada-Nya.
“ Engkau yang mampu menenangkan hatiku dalam luka, Engkau
yang Maha cinta. Sesungguhnya hanya Engkau yang mampu menumbuhkan rasa cinta
dihati ini untuknya, maka Aku mohon Ya Rabb Aku ingin Engkau menghilangkan rasa
cinta ini karena ia mampu membunuhku dalam luka “ lirihku dalam munajatku
pada-Nya, sungguh Aku sangat dibutakan oleh rasa cinta itu, sampai-sampai Aku
menjauh dari Rabbku.
Satu tahun yang lalu Aku menjalin hubungan dengan teman
sekelasku namanya Salwa Salsabila. Dia gadis yang cantik, pintar dan supel. Tak
heran jika banyak yang suka dengannya. Dari mulai kakak kelas sampai adik
kelasnya, dan termasuk Aku teman sekelasnya. Sebenarnya di kelas saja sudah ada
5 orang yang suka dengan Salwa dan berharap bisa jadi pacarnya diantaranya ada
Aku, Dimas, Bambang, Yusuf dan Adnan. Kami berlima bersaing dengan cara sehat
untuk mendapatkan Salwa.
Dengan segala usaha yang sudah Aku lakukan dari mulai
sering-sering mengirim surat cinta pada Salwa, ikut masuk kegiatan Exschool
yang sama dengan Salwa dan segudang cara yang telah Aku lakukan untuk
menaklukan hati Salwa akhirnya membuahkan hasil. Ketika kami berdua pulang
menonton di sebuah bioskop, hujan turun sangat deras membasahi jalanan kota.
Suasana seperti itu yang Aku gunakan untuk mengungkapkan segala perasaanku
padanya.
Kami berdua berteduh di sebuah bengkel yang ada di pinggir
jalan. Menunggu mobil yang akan melintas kearah kami pulang. Salwa sedang sibuk
mengetik tombol-tombol handphone. Tanganku melindungi handphonenya, menutupi
sebagian sisi handphone agar tidak terkena percikan-percikan air hujan yang
terbawa angin. Sontak Salwa menatapku, pandangan kami bertemu. Saat itulah
dimana suasana hujan yang deras seketika berubah menjadi musim semi yang indah
diiringi daun-daun yang berguguran dari tangkainya. Diri ini seperti di bawa
terbang ke langit yang tinggi bersama seorang bidadari cantik dan jelita,
anganku melukiskan bidadari itu adalah Salwa.
Setelah kejadian di bengkel pinggir jalan itu, Aku Fajar
Hermawan resmi menjadi pacarnya. Anak-anak yang lain tak pernah menyangka kalau
kami bisa jadian. Salwa yang cantik, pintar dan bla. .bla. .bla. . bisa jadian
dengan Fajar yang jelas-jelas jauh dari kriteria cocok untuk menjadi pendamping
Salwa. Aku tak pernah menghiraukan hal-hal seperti itu yang Aku tahu cinta tak
memandang apa dan siapa. Ini soal hati yang merasakan. Dan tak terasa 6 bulan
sudah Aku menjalin hubungan dengan Salwa yang berjalan baik-baik saja. Lurus
tanpa berkelok.
Suasana kelas. Saat istirahat.
“ sayang kenapa diam terus ? kita ke kantin yuk ? “ kataku
mengajak Salwa yang sedari tadi terlihat diam tak seceria hari-hari sebelumnya.
Jemari tanganku lembut memegang tangan Salwa, mengelus-elusnya.
“ Aku lagi gak laper sayang, kamu juga kenapa gak ke kantin.
Biasanya paling semangat pergi ke kantin pas jam istirahat tiba. “ Jawab Salwa,
ragu-ragu mengembangkan senyumnya padaku.
Saat itu Aku melihat ada yang aneh dengan sikapnya yang
tiba-tiba diam dan tersenyum ragu padaku. Aku enggan bertanya banyak hal
padanya. Takut-takut menyinggung perasaannya. Beberapa menit setelah Aku
membujuknya untuk pergi ke kantin bersama, Salwa akhirnya menerima ajakkanku.
Suasana kantin masih ramai di penuhi anak-anak yang sedang makan, ada juga yang
hanya sekedar asik nongkrong-nongkrong saja. Membuat ibu kantin merasa risih
dengan mereka yang menghalang-halangi murid lain yang akan masuk ke dalam
kantin.
“ eh Sayang kenapa kamu ke kantin sama Cunguk ini “ Bambang teman
sekelasku menghadang kami yang akan masuk ke salah satu kantin. Apa kata
Bambang barusan, Dia memanggil Salwa Sayang ? apa Aku tak salah dengar. Batinku
bertanya.
Salwa panik, mimik mukanya berubah, kelihatan bingung.
Melirik-lirik ke arah sudut kantin, banyak anak-anak murid lainnya menatap kami
yang diam terpaku tiba-tiba di hadang oleh Bambang.
“ apa maksudmu manggil Dia sayang ? “ suaraku meninggi. Aku
yang menjawab pertanyaannya, menujuk Salwa yang masih diam menunduk. Aku tak
peduli dengan Bambang yang memanggilku seorang Cunguk.
“ hahaha kau tak tahu kalau Aku adalah pacarnya hah ? “
suara Bambang tak kalah tinggi. Air ludahnya muncrat hampir mengenai wajahku.
Otakku sudah naik pitam. Hatiku seperti di tusuk-tusuk
seribu pedang yang mengobrak-abrik perasaanku. Tanganku mengepal, nafasku
berdengus kasar. Aku sudah melayangkan satu pukulan mengenai wajah Bambang. Tubuhnya
langsung tersungkur ke sisi tembok kantin, Dia meringis kesakitan. Salwa
mengigit bibir, tubuhnya bergetar ketakutan. Anak-anak langsung berkumpul
mendekati kami bertiga, salah seorang murid membantu Bambang berdiri.
Perkelahian itu terus berlanjut, Bambang sudah menikam lenganku dengan
cengkramannya yang kuat. Lenganku yang satu lagi di cekikannya membelit
leherku. Nafasku tersedak. Bulir-bulir keringat mengucur deras di wajahku.
Bambang membenturkan kepalaku ke tiang penyangga kantin, menimbulkan getaran
yang memantul. Pelipisku berdarah.
Satu tahun berlalu. Perkelahian itu telah menjadi masa lalu
yang menyakitkan. Bukan karena pelipisku yang berdarah melainkan Aku harus
menahan rasa sakit yang amat dalam oleh pengkhianatan kekasihku sendiri. Orang
yang begitu Aku sayang. Entah sejak kapan Salwa menjalin hubungan dengan
Bambang, berani bermain api denganku. Aku memutuskan untuk tidak tahu lebih
dalam penjelasannya. Sudah jelas cinta pertamaku itu telah berkhianat. Kini
kenangan itu sudah Aku kubur bersama masa-masa indah saat merasakan cinta yang
salah.
Setidaknya kejadian itu telah membuka pintu hatiku yang
baru. Aku harus terus menikam perasaanku pada Salwa. Memangkasnya hingga habis
tak tersisa. Rasa sesak itu sudah Aku pupuk dengan cinta dan sepotong hatiku
yang baru. Cinta yang tak pernah keliru. Kata-kata itu benar “Tak Peduli
seberapa membahagiakan atau menyedihkan, hidup harus terus berlanjut. Waktulah
yang selalu menepati janji dan berbaik hati mengobati segalanya.”
Author : Elih Marliah Al-Islamadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar