Pernahkah kalian mendengar istilah "Ubasuteyama"? Mungkin tidak. Kita
lebih mengenal doraemon atau naruto. Tapi tidak apa, catatan pendek ini
akan membahas tentang ubasuteyama ini. Dalam bahasa Jepang, artinya
"gunung pembuangan nenek". Ini cerita legenda di Jepang, ada beberapa
versi, tapi yang manapun itu, mengharukan sekali. Akan saya ceritakan
ulang, sy tulis dengan pendekatan sedikit berbeda, dengan versi Indonesia, tanpa mengurangi maknanya, here we go.
Tersebutlah seorang anak, kita sebut saja namanya Bambang. Dia anak
semata wayang, dibesarkan penuh kasih sayang oleh Ibunya. Ayahnya
meninggal saat Bambang masih kecil, maka repot betullah Ibunya mengasuh
si Bambang ini. Apalagi pekerjaannya hanya pengumpul kayu bakar di tepi
hutan lebat, sambil menanam kentang di lahan terbatas. Setiap musim
salju datang, alamat tambah sulit hidup mereka (eh, anggap saja di
Indonesia ada salju).
Tapi Ibu si Bambang sungguh wanita yang
tangguh. Dia bertahan dari segala kesusahan hidup. Hari demi hari. Bulan
demi bulan. Tahun demi tahun. Si Bambang kecil beranjak menjadi remaja.
Kabar baiknya, si Bambang kecil ini jenius. Maka satu demi satu
kesuksesan hadir di rumah sederhana itu. Si Bambang berhasil masuk
sekolah terbaik, memperoleh beasiswa. Hingga akhirnya bisa kuliah
tinggi. Bukan main. Dia kuliah di ibukota, di kampus paling top, dan
juara pula.
Nah, persis saat Bambang mulai merengkuh sukses
kisah hidupnya, kisah indah Ibunya ini mulai menikung tajam, meluncur
turun ke bagian menyedihkan. Saat wisuda, saat Ibunya datang dari
kampung, si Bambang malu sekali dengan teman2nya. Lihatlah, Ibunya
berpakaian kumal, wajahnya keriput, tidak ada cantik2nya. Apalagi saat
dia mengenalkan Ibunya ke teman wanita yang ditaksirnya, lebih malu
lagi, sebenarnya kalau bisa memilih, ingin rasanya si Bambang menyuruh
Ibunya tinggal di penginapan saja, tdk usah hadir di acara wisudanya.
Belum lagi tingkah kikuk ibunya yang salah jalan, melintas di panggung,
menganggu perayaan wisuda itu. Membuat orang berbisik-bisik, siapa orang
tua kumuh itu?
Bertahun2 berlalu lagi, si Bambang mendapatkan
pekerjaan bagus. Gajinya tinggi, bisa beli rumah, bisa beli mobil. Dan
menurut pikiran si Bambang, dia semakin repot harus mengurus Ibunya.
Bukankah dia sudah membangunkan rumah bagus di kampung buat ibunya?
Sudah memberikan uang bulanan? Apalagi yang kurang? Hingga si Bambang
menikah, berat hati si Bambang mengundang Ibunya ke kota, untuk
menghadiri pesta pernikahan tersebut. Memperkenalkan Ibunya ke kolega,
rekan kerja, ke atasan, dsbgnya. Bagaimana mungkin anak muda yang
karirnya cemerlang punya Ibu merepotkan seperti ini? Siapa ibu tua yang
barusaja kikuk menumpahkan air di tengah ruangan pesta.
Bertahun2 lagi berlalu, Ibunya mulai jatuh sakit2an. Maka semakin repot
saja si Bambang bolak-balik pulang ke kampung. Lihatlah, Ibunya
terbaring lemah tidak berdaya. Tidak produktif, tidak bisa bekerja.
Hanya menjadi beban bagi banyak orang. Mengganggu kebahagian dia dan
istrinya malah, juga pekerjaan, kesibukan--karena harus menghabiskan
waktu untuk Ibunya. Kenapa ibunya nggak mengurus diri sendiri, sih?
Merepotkan saja.
Si Bambang pendek pikiran, maka dia memutuskan
untuk membuang Ibu-nya ke dalam hutan. Kita anggap saja, jaman itu,
sudah menjadi tradisi, membuang orang tua yang tidak berguna lagi ke
dalam hutan. Bahkan semua orang menganggapnya lumrah, daripada menambah
beban ekonomi, memperlambat kemajuan, buang saja orang tua ke
'Ubasuteyama', gunung pembuangan nenek. Tidak ada yang salah dengan cara
itu, toh? Di jaman modern besok lusa, orang2 juga mudah saja 'membuang'
orang tua ke panti jompo, meninggalkannya sendirian di rumah, dsbgnya.
Di pagi hari yang sudah diputuskan Bambang, dia menggendong Ibunya,
membawanya masuk ke dalam gerbang hutan. Melangkah pasti. Sudah bulat
tekadnya. Kondisi Ibunya sudah lemah sekali, Ibunya masih bisa bicara,
tapi sudah pelan suaranya. Matanya menatap lamat-lamat wajah anaknya,
dan tangannya menggapai2 pelan setiap ranting, daun yang mereka lewati.
Enam jam perjalanan, persis jam dua belas siang, tibalah Bambang di
bagian hutan paling dalam, paling jauh. Dia meletakkan Ibunya ke dasar
hutan yang lembab. Penuh lumut dan rumput. Pekerjaannya sudah selesai,
saatnya Bambang pulang. Tidak perlu ada kata-kata perpisahan. Toh,
ibunya tahu sekali tradisi ini. Itu resikonya menjadi tua tidak berguna.
Tapi hei, si Bambang terdiam, menelan ludah. Tidak, tentu saja bukan
karena perasaan cemas atas nasib Ibunya yang membuat dia menelan ludah,
melainkan dia baru menyadari: bagaimana dia bisa pulang, keluar dari
hutan tersebut? Aduh, dia persis ada di tengah hutan lebat. Jarak ke
gerbang hutan 20 kilometer lebih. Dia boleh jadi malah semakin tersesat
ke puncak gunung?
"Tidak usah cemas, Nak." Terdengar suara pelan Ibunya.
Si Bambang menoleh Ibunya.
"Ibu sudah mematahkan ranting dan dedaunan sepanjang jalan kau kemari.
Pulanglah anakku, kau bisa mengikuti jejak itu hingga gerbang hutan.
Tinggalkan Ibu di sini. Tidak apa." Ibunya tersenyum, berlinang air mata
di pipi, menatap anak semata wayangnya yang begitu gagah dan
membanggakan.
Maka terdiamlah si Bambang.
Sungguh.
Kasih sayang Ibu tidak pernah pudar. Sungguh, bahkan saat kita, anak2nya
menyakiti, tidak peduli, bahkan tega 'membuangnya'. Lihatlah apa yang
dilakukan Ibu Bambang, sepanjang perjalanan, itulah gunanya tangan lemah
Ibunya menggapai2 sekitar. Bukan karena berontak, menolak dibuang,
Ibunya justeru sedang menunaikan kasih sayang terakhir bagi anaknya,
mematahkan ranting, merontookan dedaunan, membuat jejak. Memberikan si
Bambang jalan pulang.
*Tere Lije, repost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar