Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Minggu, 29 September 2013

LUKA ABADI DALAM AKSARA

Aku menyimpan luka dalam coretan aksara yang tak pernah kau tahu aku tersiksa dalam luka.
Aku buat sebagai pengingat dosa, jika aku pernah terluka dan membuat luka.

TITIPAN MALAM SYAHDU

Ku titipkan desah nafasku padamu.
Agar esok ku buru jika wajah tak membiru, membeku.

Ku titipkan mata yang sendu padamu.
Agar esok ku jemput jika kelopaknya masih terbuka.

Ku titipkan bibir penuh kata yang kadang busuk dan membuat celaka.
Agar esok ku cumbu dalam mesra jika masih merah muda.

Ku titipkan jasadku padamu.
Jika ia tak bisa lagi memangku, menerbangkan arwah yang layu.

-Senja Hujan, 290913.

I LOVE FILOSOFI

Aku menyukai filosofi. Namun aku tak pandai berfilosofi.

Aku hanya elang kecil. Mencoba berdiri dan mengepakkan sayapnya yang berbeda dengan orang lain. Memiliki bulu dan warna yang berbeda, yang sering kau sebut itu dengan keanehan. Melihatnya seperti cacat bukan kelebihan.

Aku elang kecil yang berbeda. Semoga akan ada angin yang membawa kabar baik untuk menjelaskan padamu, kenapa aku berbeda. Karena aku sendiri pun hanya bisa menari di atas angin yang tenang, tanpa penjelasan kenapa aku belum bisa menaklukan badai atau menikmati tarian di atasnya.

Atau Tuhan mempunyai cara lain untuk membuat aku nampak istimewa ? menghapuskan ke cacatan yang selalu kau khawatirkan ?

Entahlah.

Aku elang kecil yang berbeda. Aku elang kecil yang belum bertahta. Dan akan kesal jika sudah dibandingkan dengan mereka yang meraja.

#Aneh XD

Sabtu, 28 September 2013

TANGISAN PERTAMAKU UNTUK AYAH


Kenangan sepuluh tahun yang lalu terus tergambar jelas dalam ingatan, seperti film layar lebar yang kembali di putar untuk aku lihat. Sayang kenangan itu membuat aku semakin benci padanya. Sejak saat itu aku memutuskan untuk membencinya. Sosok ayah yang tidak dekat dengan anak-anaknya, bagiku dia sosok ayah yang hanya sedikit peduli pada anak-anaknya. Dia lebih suka diam atau membentak kami dan ibu. Dia ayah yang buruk, dia sendiri yang membuat kami menjauh darinya, sekedar menyapa atau berbicara pun anaknya enggan, takut dan malas. Aku tidak tahu penderitaan apa yang telah kakak-kakakku rasakan karena ulahnya yang pasti mereka pun sama bencinya denganku. 

            Kenangan sepuluh tahun yang lalu yang tidak bisa aku lupakan hingga sekarang. Saat itu aku masih berumur 9 tahun. Di bulan yang penuh berkah, bulan yang suci yaitu bulan ramadhan kami sekeluarga hendak berbuka puasa. Begitu banyak hidangan berbuka yang di sediakan ibu, ada kolak pisang, es cingcau, gorengan-gorengan, bubur sum-sum, dan tidak lupa ibu juga menyiapkan hidangan berbuka puasa yang di anjurkan oleh Rasul Allah, beberapa butir kurma yang ranum dan segar. Saat itu aku sedang sibuk menata jajanan yang aku kumpulkan dari siang untuk aku makan setelah hidangan berbuka puasa. Aku memang selalu memiliki kebiasaan seperti itu, mengumpulkan jajanan di sekolah untuk aku berbuka. Di ruang makan ibu sudah sibuk mondar-mandir ke dapur ke ruang makan mengangkut makanan yang akan di hidangkan, tinggal beberapa menit lagi bedug magrib akan di pukul oleh santri-santri yang mondok di dekat masjid paling besar di kampung kami. 

Duugg. Duuuruugg. Duuuggg. Duuuuggg. Duugggg. Allahuakbar. Allahuakbar. Adzan magrib telah di kumandangkan. Tanganku sudah mennyomot dua butir kurma sebelum aku menyantap hidangan lainnya. 

“Jangan lupa baca doa dulu Suf.” Ibu mengingatkanku, takut-takut aku lupa karena tak sabar mencicipi hidangan di atas meja makan.

“Allahuma Lakasumtu Wabik’amantu Wa’ala Rizkika Abtortu Birrohmatika Ya Arhama Rohimin.” Dengan di sengaja aku lantang membaca doanya dengan kedua tangan yang ditengadahkan, setelah itu mengucap ‘Amin’ sambil mengusap wajahku. 

Ibu tersenyum melihat kelakuanku. Dia menyerahkan segelas es cingcau segar padaku. Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi sudah menyinduk nasi yang masih mengepul di dalam sangku, memenuhi piring mereka dengan lauk pauk, sayur asam, sambal dan lalapan daun singkong yang begitu menggoda. Aku yang tidak mau kehabisan, langsung meneguk es cingcau hingga tetes terakhir menyisakan gelas yang kosong melompong. Ruang makan ramai oleh dentingan gelas, sendok dan garpu. Setiap bulan ramadhan adalah momen yang paling menyenangkan di keluarga kami, kapan lagi kami semua memiliki jadwal makan yang bersamaan di meja makan ? baik saat makan sahur dan berbuka puasa. Hal ini cukup baik untuk saling mendekatkan kami satu sama lain, yang setiap harinya mana ada kami makan bareng-bareng. Paling ya hanya sesekali saja. 

Lauk yang ada di piringku sudah tinggal tulang-tulangnya saja. Perutku sudah merasa penuh, dua kali aku menyinduk nasi di sangku, menyeruput sayur asam yang segar dan nikmat dipisah di mangkuk kecil. 

“Yusuf, sudah makannya. Nanti kau tidak bisa bangun dari bangku loh. Haha.” Ka Andi yang sudah dari tadi mengambil air wudhu, mengenakan sarung dan koko hendak ke masjid, iseng menyikut lenganku yang masih betah duduk di ruang meja makan. “Mau ke masjid bareng kakak tidak.?”  Tanya Kak Andi.

“Kak Andi duluan saja, nanti Yusuf nyusul deh.” Jawabku yang masih sibuk menyeruput kuah sayur asam buatan ibu memang tidak ada duanya. Kak Andi langsung berlalu meninggalkanku.

“Yusuf, kamu jangan lama-lama makannya nanti waktu magribnya keburu habis. Sebentar lagi ayahmu pulang dari masjid pasti mengomel melihat kamu masih duduk di ruang makan.” Kata ibu mengingatkan. 

Demi mendengar ibu yang mengingatkan aku dengan ayah, aku langsung bergegas membujuk ibu untuk mengantarku ke kamar mandi. Ayah memang tidak pernah ikut makan bersama dengan kami, baik itu di bulan ramadhan atau pun di bulan-bulan biasa. Saat berbuka puasa, dia hanya menyantap kurma dan satu gelas kolak saja dan langsung pergi ke masjid, Setelah sholat magrib lalu balik lagi ke rumah dan baru makan nasi. Maka dari itu, sehari-harinya kami jarang bercakap, saling cuek dengan anak-anaknya. 

“Ibu, ayolah antar Yusuf ke kamar mandi. Yusuf takut bu.” Aku merengek, menarik-narik baju gamis ibu yang sedang membereskan piring-piring dan gelas kotor. 

“Aduh Yusuf tidak lihat ibu sedang apa ? tidak ada hantu-hantu di bulan ramadhan Nak. Hantu-hantunya sudah diikat oleh Allah.” Jelas ibu terlihat kerepotan.

“Makanya de, kamu jangan lihat film-film hantu norak itu kalau kamu takut. Sok jago sih.” Kak Irma keluar dari balik pintu kamarnya, meledekku. Aku memoyongkan bibirku, sebal menatap Kak Irma.

Kemarin aku dan teman-temanku, Adnan, Fatih dan Zidan menonton film hantu yang sedang jadi trending topic di rumahnya Fatih. Aku kira tidak akan menimbulkan efek parno yang berlebihan setelah melihatnya. Ternyata setelah melihat filmnya aku jadi parno, takut kemana-mana sendirian, aku juga takut pergi ke kamar mandi sendirian karena di dalam film yang ku tonton hantunya sering ada di kamar mandi.

Pintu rumah terdengar dibuka oleh seseorang, aku tahu itu pasti ayah. Aku langsung berlari ke arah ibu. Menguntit di belakangnya. Kak Irma dan Kak Ismi sudah siap-siap mau sholat terawih ke madrasah khusus perempuan. Di kampung kami sholat laki-laki dan perempuan berbeda tempat, laki-laki sholat di mesjid besar dan perempuan di madrasah tempat pengajian. Sholat secara terpisah dan imam yang berbeda. Laki-laki dengan imam laki-laki dan perempuan dengan imam perempuan. 

Ayah menatap tajam ke arahku yang terus menguntit ibu. Sedangkan aku terus merengek ke ibu, enggan pergi ke kamar mandi sendiri.

“Biar, jangan diantar. Dasar anak manja. Ibunya juga sama saja terus manjain anaknya.” Kata ayah yang sepertinya tahu apa yang sedang aku pinta ke ibu. 

Ayolah, mendengar suaranya saja aku sudah malas. Ibu tetap melayaninya dengan sabar, padahal dia selalu disalah-salahkan terus oleh ayah. Aku tidak suka dengan kata-katanya yang kasar. Aku tidak suka ayah. Hatiku terus berseteru. Andaikan aku bisa meminta untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, aku akan meminta untuk dilahirkan oleh ibu yang tidak memiliki suami yang seperti ayahku saat ini. Sayangnya pilihan seperti tidak pernah ada. 

Akhirnya aku memaksakan pergi ke kamar mandi sendirian dengan terisak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut seorang ayah yang selalu saja berkata kasar. Aku menangis, sesegukan di dalam kamar mandi. ibu hendak mengetuk pintu kamar mandi yang aku kunci. Namun dari pintu dapur terdengar suara sesuatu terjatuh, berdebum di atas lantai. Tangisanku sejenak terhenti. Aku diam mendengarkan apa yang terjadi. Saat itu Kak Irma dan Kak Ismi menjerit memanggil ibu. 

“Ibu…Ya Allah Ibu.” Suara Kak Irma bergetar memanggil ibu dan terdengar suara derap kakinya ke arah suara benda yang terjatuh itu. 

“Ibuuuu!” Suara Kak Ismi sudah bercampur dengan isak tangis. Aku masih diam di kamar mandi, menatap diri sendiri di kaca yang menempel di dinding, bertanya dalam hati, ‘Apa yang terjadi?’ aku langsung memutuskan untuk keluar masih keadaan belum berwudhu. 

Aku lihat tubuh ibu sudah terbaring di atas lantai. Dari kedua matanya sudah menjatuhkan beberapa tetes airmata yang lembut mengalir di pipinya yang masih nampak terlihat muda dan cantik. Kak Irma dan Kak Ismi sudah mendekap tubuh ibu, tetapi aku melihat lelaki yang sedari kecil aku memanggil dia ayah, hanya melihat kejadian itu di bawah pintu. Entahlah dia sepeti tidak merasa bersalah telah mendorong tubuh ibu yang boleh jadi sangat lelah telah menyiapkan hidangan buka puasa untuk kami. Aku tahu dia mendorong ibu dari Kak Irma yang terus berteriak menyalahkan ayah.

“Ayah kenapa tega sekali mendorong ibu, KENAPA.?” Wajah Kak Irma sudah memerah karena emosi. Dia berani membentak ayah demi membela ibu. Airmatanya mengalir deras di pipinya yang mulai panas, memerah.

Aku yang tidak tahu kejadian pastinya seperti apa, sudah menjerit ketakutan, berteriak memanggil ibu, memegang lengannya. Aku takut. Aku takut ibu meninggalkan kami. Tubuhnya melemah. Aku tahu ini gara-gara ulahku yang ingin di antar ke kamar mandi oleh ibu. Tapi yang tidak aku mengerti kenapa ayah melakukan semua ini ? padahal ibu hanya ingin menenangkan aku yang sedang terisak di kamar mandi. 

Dari balik kaca rumah kami. Ibu Risma dan tetangga lainnya tengah mengintip ingin tahu apa yang sedang terjadi, karena mereka mendengar kami berteriak dan menangis. Namun mereka tidak berani masuk.

Ayah hanya diam melihat kami yang merangkul tubuh lemah ibu. Ia juga tidak membantu ibu berdiri dari lantai, hanya kami bertiga yang memapah tubuh lemah ibu ke kamar. Setelah itu Kak Irma menyuruh aku mengambil air wudhu, aku menurut sambil berlalu pura-pura tidak melihat ayah yang sedang meneruskan menghabiskan makanannya. Aku berlari-lari kecil ke kamar ibu dan sholat di dalam. Kami berempat membiarkan ayah sendirian di ruang makan.

Kak Irma, Kak Ismi dan aku memutuskan untuk tidak pergi sholat terawih. Memilih menemani ibu yang terbaring di atas kasur. Aku memijit-mijit lengan ibu. 

“Harusnya kejadian ini tidak terulang lagi, memalukan. Bu, kenapa ayah masih bersikap seperti itu.?” Tanya Kak Ismi. Tangannya memijit lembut kaki ibu.

“Apa kita laporkan ke polisi saja bu ? ini kekerasan dalam rumah tangga.” Kata Kak Irma menambahkan.

“Dia itu ayah kalian…” Lirih ibu, “kalian tidak malu kalau punya ayah yang di penjara ? maafkanlah ayah kalian Nak. Suatu hari nanti dia pasti berubah.” Airmata ibu mengalir, membasahi bantal yang dia kenakan. 

“Tapi bu, aku ingat saat dia menyiramkan air panas ke tubuhku ketika aku berusia 6 tahun yang merengek minta uang jajan pada ibu. Ibu juga memaafkannya. Tidakkah ibu terluka melihat anak ibu di perlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.?” Tanya Kak Ismi, terisak amat tertahan. 

Aku baru tahu kalau Kak Ismi pernah mengalami hal seperti itu. Pantas saja di bagian lengannya terlihat kulit yang memerah, belang berbeda dengan kulit aslinya yang putih. Malam itu dia bercerita kalau itu adalah bekas siraman air panas ayah padanya ketika usia 6 tahun. Aku tidak habis fikir kenapa ayah melakukan hal seperti itu. Ayah ? masih pantaskan kau di panggil ayah oleh kami ?

“Hanya kau yang lebih beruntung Yusuf. Menjadi anak bungsu, selalu ada yang menjagamu dari kekerasaannya. Ada kakak-kakak dan ibumu yang selalu melindungimu.” Kata Kak Irma. Dia mengusap kedua ujung matanya. Terharu mengingat kejadian masalalunya. “Ismi, ibu tentunya sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi kau tahu sendiri kalau ibu terlalu baik, ya sangat terlalu baik untuk menjadi istri ayah. Harusnya yang baik untuk yang baik bukan bu.?” Tanya Kak Irma meneruskan kalimatnya. Aku hanya diam memerhatikan percakapan mereka sambil terus memijit-mijit lengan ibu. 

“Iya Irma, yang baik memang untuk yang baik. Mungkin ayahmu baik untuk ibu di mata Allah Nak. Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Karena ayah, kalian bisa mengenal dunia bukan.?” Jawab ibu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.

“Ibu memang ibu yang paling baik di seluruh dunia.” Kataku, memuji ibu. “Maafkan Yusuf ya bu.?” Mataku lamat-lamat menatap wajah ibu.

Seketika ibu tersenyum, mengangguk padaku. 

*** 

Tidak ada yang begitu spesial dari kehidupan masa kecilku. Tidak ada sosok ayah yang selalu mengantar jemput sekolah, tidak ada ayah yang menemaniku bermain, tidak ada ayah yang selalu perhatian terhadap anak-anaknya. Dan aku baru menyadarinya saat umurku 9 tahun. Saat itu aku mulai membenci ayahku sendiri. 

Hampir 10 tahun lamanya hingga usiaku 19 tahun aku masih mengingat-ingat kejadian itu. Tubuh ibu dia dorong tanpa peduli ibu sakit. Ibu memang tidak sakit parah bagian luar, tapi aku tahu yang paling merasakan sakit yang teramat manyakitkan adalah hatinya. Namun ibu adalah wanita yang paling cantik dan paling baik yang pernah aku kenal. Dia tetap tegar menjalani semua ini, tetap melayani suami yang keras kepala, terus menyakitinya. Tetapi entahlah ibu tetap yakin dengan kasih sayang dan doa yang dia panjatkan kepada Allah akan mengubah watak ayah yang buruk. 

Berbeda dengan diriku, yang semakin tumbuh dewasa semakin mengerti kondisi setiap permasalah keluarga. Kebencian itu terus tumbuh bersamaan dengan terus bertambahnya usiaku. “Ayah, jangan salahkan aku kalau aku tidak pernah bangga memiliki seorang ayah.” Kata-kata ini selalu berputar-putar dalam kepalaku, mengaduknya bersama racun kebencianku pada ayah. 

Aku selalu iri dengan Adnan, Fatih dan Zidan yang memiliki ayah yang baik. Adnan yang selalu diantar jemput oleh ayahnya sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas meskipun di jemput dengan sepeda tua milik ayahnya namun itu terlihat menyenangkan. Fatih, yang selalu kompak dengan ayahnya mencari belut di sawah, memancing di sungai dan berbagai kegiatan lainnya. Ayahnya Fatih selalu melibatkan hal-hal yang menyenangkan bersama anak-anaknya. Dan ayahnya Adnan selalu bercerita tentang dongeng-dongeng dan cerita kehidupannya yang menarik dan memberikan pemahaman baik. Dan jujur saja aku banyak belajar dari ayah ketiga sahabatku itu. 

Kebencianku pada ayah sedikit menghilangkan ingatan tentang masa kecilku. Aku benar-benar tidak ingat kalau dulu ayahku pernah memelukku atau tidak, pernah menggendongku atau tidak, sekalian pun memang pernah entahlah aku tak mengingatnya. Tetapi 2 tahun yang lalu ibu memberi ku sebuah foto yang sudah berjamur, menguning, di dalam foto itu ada seorang anak kecil yang sedang tertawa riang di pangkuan ayah. Ibu bercerita kalau itu aku, ya ibu sengaja memperlihatkan foto itu berusaha untuk menghapus kebencianku pada ayah. Namun aku memutuskan untuk terus membencinya, karena 10 tahun terakhir ini setelah kejadian itu ayah tetap belum bisa berubah, tetap berbicara dengan nada yang selalu berteriak tetapi dia tetap mengeles kalau cara bicaranya memang seperti itu, membentak, kasar dan menakutkan. Tidak bisakah dia berbicara sopan dan lembut ? memuji atau merayu ibu dengan kata-kata sayang ? aku tidak pernah melihat kemesraan itu di keluargaku. Tidak pernah, dan ayah kenyataannya masih bersikap seperti itu sampai aku tumbuh dewasa. Dan selama itu aku jarang sekali berbicara dengannya, berbicara jika memang kalau ada keperluan, selebihnya aku mencuekkannya begitu juga dengannya. Aku sangat jauh dengannya, aku lebih dekat dengan ibu. Tidak aneh kalau setiap doa-doaku selalu aku panjatkan untuk ibu, semua kebaikan untuk ibu, aku hanya sesekali saja mendoakannya jika kebencianku sedikit mereda. 

Beberapa bulan yang lalu. Bulan suci ramadhan untuk ke 10 kalinya kebencian itu terus berkembang. Kini aku sudah tidak terlalu memikirkan kebencianku pada ayah. Biarlah jika aku memiliki masalalu yang buruk. Biarlah. Aku akan membayar masalalu yang buruk itu dengan segala prestasi dan kerja kerasku sekarang. Toh selama ini aku masih bisa berkembang menjadi anak yang baik. Mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas di negeriku ini. Semua itu aku persembahkan untuk ibu. Dengan segala kesibukan kuliahku, sedikit melupakankan kebencianku pada ayah. 

Sore harinya di bulan suci ramadhan.

Di dalam kamarku aku sedang mengetik naskah untuk aku jadikan novel keduaku setelah tahun lalu novelku berhasil di bukukan dan terus beberapa kali di cetak ulang. Sambil kuliah aku juga menekuni hobiku yang sudah menjadi cita-citaku sejak kelas 2 sekolah menengah pertama untuk menjadi seorang penulis. Suara dering telepon menguapkan semua ideku di langit-langit kamar. Aku mendengus kesal, dengan malas mengangkat telepon yang ada di atas tumpukan buku-bukuku yang berserakkan di kamar. 

“Assalamu’alaikum. Maaf ini siapa ya.?” Aku bertanya karena nomor yang tertera tidak aku kenal.

“Wa’alaikumsalam Kak Yusuf, ini aku Indri.” Jawab seseorang dari sebrang sana.

“Oh ya, ada apa malam-malam begini telepon.?” 

“Maaf Kak kalau Indri ganggu kakak. Indri cuma mau bilang, besok tim dakwah kampus kita mengadakan acara pesantren kilat dengan tema Amazing Ramadhan, dan akan melaksanakan acara kemanusian juga bercerita tentang Palestina dengan menghadirkan syekh-syekh langsung dari Palestinanya. Nah karena Kak Yusuf fasih berbicara dalam bahasa mereka, semua panitia meminta Kak Yusuf untuk menjadi moderatornya. Bagaimana ?.”

“Loh, tidak coba meminta bantuan para dosen untuk menjadi moderatornya ?.” tanyaku heran.

“Justru mereka menyarankan kami untuk meminta bantuan Kak Yusuf.”

“Oh begitu, acaranya di mulai dari jam berapa sampai jam berapa.?” 

“Dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore Kak. Susunan acara dan segala persiapannya sudah kami siapkan. Kak Yusuf tinggal langsung datang ke masjid kampus besok pagi.”

Akhirnya aku menutup pembicaraan kami di telepon dengan menyetujui permintaan Indri untuk menjadi moderator acara dakwah kampus.

*** 

Keesokan harinya. 

“Kuliahmu tidak libur Suf.?” Tanya ibu saat aku meminta izin pamit padanya yang sedang membersihkan teras rumah. 

“Libur bu, tapi sekarang ada undangan dari anak-anak untuk ikut serta dalam acara mereka. Yusuf pamit ya bu. Asslamu’alaikum.” Jawabku sambil mencium tempurung tangan kanan ibu. Ibu mengusap ubun-ubunku dengan lembut kemudian seperti biasa saat melepas kepergian anak-anaknya dengan sebuah pesan, ‘Hati-hati ya Nak’. 

Aku melihat ayah sedang memberi makan ayam-ayamnya di kebun. Aku memutuskan untuk langsung pamit tanpa meminta izin padanya. Hal ini sudah biasa, setiap aku berangkat aku memang suka mencium tangan ibu tapi aku tidak mencium tangan ayah, dia juga tidak bilang apa-apa dengan sikapku yang jelas membedakan rasa hormat pada ibu dan padanya.  Saat aku mencium tangannya bisa di hitung hanya beberapa kali dalam setahun, terutama saat hari idul fitri dan perayaan-perayaan lainnya. 

Pagi itu aku jalan dari rumah menuju ujung gang lalu menunggu angkutan umum yang setiap hari melintas jalan raya menuju kampus. Di jalan-jalan sudah sibuk dengan orang-orang yang berlalu lalang, hari libur yang cerah di manfaatkan untuk jalan-jalan bersama keluarga, kekasih dan teman-teman. Tak banyak juga karyawan yang lembur bekerja di hari libur. Beberapa angkot masih mengetem di pinggir jalan, tak segera melintas di depanku yang sudah menunggu 3 menit lamanya. Aku lihat anak-anak yang sedang berlarian di atas trotoar saling kejar-kejaran dengan temannya, ada juga yang iseng mengejar anak burung pipit yang sedang berjemur, hinggap di bangku taman yang di tanam di atas trotoar jalan. Anak burung itu hanya bisa meloncat-loncat kecil mencoba menghindar dari kejaran anak-anak yang iseng. Anak-anak itu tertawa riang, fikiran yang bebas tak ada beban dan yang mereka fikirkan hanya kesenangan dan main-main.
5 menit berlalu, ada angkot yang melintas di depanku. Aku mencoba menyetopnya.

“Ke kampus ya Bang.” Kataku yang melongo di jendela mobil sebelum masuk ke dalam.

“Ok Mas, masuk-masuk.” Jawab supir angkot mengangguk, mempersilahkan.

Saat aku akan melangkah masuk, ada seseorang yang berteriak memanggil namaku, seketika menghentikan langkahku. 

“Kak Yusuf mau ke kampus kan ? bareng Indri saja Kak.” Kata Indri manawarkan. Ternyata Indri yang memanggil namaku dan menghentikan motor maticnya tepat di belakang angkot yang akan ku naiki. 

“Eh.?” Aku ragu menerima tawaran Indri, aku melihat supir angkot memasang muka masam padaku. Indri yang tahu gelagatku langsung menarik lenganku menjauh dari pintu angkot.

“Tidak apa-apa ya Bang, satu penumpangnya aku curi hehehe.” Indri tersenyum ramah. Supir angkot itu sudah menancap gas melajukan mobil angkotnya, jauh meninggalkan kami yang masih diam di pinggir jalan. 

“Kak Yusuf saja yang bawa motornya ya Dri, boleh.?” Tanyaku pada Indri.

Indri menolehkan pandangannya padaku. 

“Iya, boleh Kak. Pasti Kakak malu ya kalau di boncengin cewek.?” Senyuman yang manis menyungging di bibirnya, meledekku.

Aku hanya tersenyum, mengangguk.

10 menit kami sampai di kampus. Sudah banyak peserta pesantren kilat yang memenuhi masjid kampus. Aku dan Indri langsung pergi ke ruang panitia dan di sambut ramah oleh tim dakwah kampus. Mereka terlihat senang Indri berhasil membujukku untuk ikut serta dalam acara mereka. Sebenarnya aku bukan anggota tim dakwah kampus tetapi karena mereka disarankan oleh dosen untuk mengajakku dan aku pun tidak bisa menolak. Aku mengenal Indri saat pertama kali masuk kuliah, namun hanya sekedar kenal dan tak begitu dekat. 

Sebelum acara di mulai, semua panitia sibuk mengecek segala peralatan, hadiah, konsumsi dan mengecek peserta yang ikut dalam acara pesantren kilat. Ternyata semua peserta tak hanya mahasiswa dan mahasiswi kampus saja, mereka juga mengajak ibu-ibu pengajian yang tinggal di sekitar kampus, anak-anak TK, SD, SMP hingga SMA. 

Penanggung jawab acara tersebut sudah memberikan beberapa susunan acara dan pidato pembuka acara tersebut yang di hadiri oleh penanggung jawab tim dakwah kampus sekaligus dosen kami Pak Ahmad Sanusi dan Bu Jannah sebagai perwakilan para dosen kampus. Aku sudah mondar-mandir di masjid kampus, ikut merapikan barisan anak-anak SD yang sedari tadi berlarian di dalam masjid. Panitia lainnya sibuk mengecek mickropon, menata makanan di atas meja, mengangkut aqua botol yang akan di bagikan, ada juga yang jadi dokumentasi sibuk jeprrett sana, jepreett sini mengambil gambar yang bagus. 

Dan acara akhirnya di mulai. Perasaanku sedikit gugup melihat para peserta pesantren kilat yang banyak hampir memenuhi masjid kampus, bagian anak-anak sengaja di pisahkan dari anak remaja dan ibu-ibu, mereka di tempatkan di lantai atas. Seperti biasa acara di mulai dengan sambutan-sambutan dari dosen, ketua pelaksana dan perwakilan dari ibu-ibu pengajian. Ternyata acara yang diadakan begitu padat, sambil menunggu tamu istimewa dari Palestina datang, panitia sudah menyiapkan beberapa permainan, dan beberapa narasumber lainnya. Seperti seorang motivator dan seorang aktivis. 

Dalam mengisi kekosongan waktu, para panitia mengadakan lomba sambung ayat dan lomba hapalan-hapalan surat. Dan siapa yang memenangkan lomba itu tentu saja mendapatkan bingkisan special dari panitia. Yang di ikut sertakan dalam lomba hanya anak-anak SD dan SMP sedangkan SMA dan ibu-ibu pengajian hanya menonton, duduk manis di atas karpet hijau, bersorak dan gregetan melihat anak-anak SD dan SMP ketika lupa dengan ayat dari surat yang sedang mereka bacakan. Ada juga yang terharu mendengar ayat-ayat yang dibacakan anak-anak dengan suara yang melengking namun sangat menyentuh. 

Suara takbir menggemakan seluruh ruangan masjid ketika aku dan segenap panitia berseru. Takbir!. Maka semua orang yang ada di masjid meneriakkan takbir yang membahana, menggetarkan langit-langit masjid. 

“ALLAHUAKBAR!”          
 
Sudah hampir satu jam berlalu. Panitia lainnya sudah memberikan kode kedipan padaku untuk menghentikan permainan, mengingat waktunya sudah habis dan akan di isi oleh seorang aktivis setelah shalat dzuhur.

Saat itu kami semua di berikan tontonan yang lucu dan memotivasi kami semua, tak heran kalau kami semua tertawa bersamaan ketika melihat video-video lucu yang di pertontonkan. Kami semua diberikan ilmu, beberapa tips untuk menjadi remaja yang kreatif dan inovatif. 

  Setelah acara kami di selingi dengan acara sholat dzuhur bersama dan tadarusan. Para peserta pesanren kilat di bimbing oleh satu panitia untuk membaca ayat Al-Qur’an. Beberapa anak-anak SD lantang membacakan surat-surat pendek dengan serempak, lantang dan penuh semangat meramaikan suasana masjid. Dari halaman masjid, hujan deras mengguyur membasahi rumput-rumput masjid dan sekelilingnya. Acara kami mulai kembali. 

“Baik, untuk seluruh peserta pesantren kilat Amazing Ramadhan acaranya kita mulai kembali. Untuk peserta yang masih memandang hujan di luar dipersilahkan untuk masuk kembali ke dalam masjid.” Suaraku memecah keramaian baik di dalam masjid maupun di luar masjid. Anak-anak yang sedang berlarian langsung mencari posisi duduk yang nyaman, bersandar pada tiang-tiang masjid. Mengisi pojokan dan tempat yang dekat dengan jendela. Berhimpit-himpitan. 

“Ayo yang depan dulu di isi.” Kataku. Mengatur barisan yang masih acak-acakan, numpuk di belakang dan yang depan dibiarkan kosong.

“Ayo anak-anak SD sekarang bergabung, kalian isi barisan paling depan. Ayo.!” Seru panitia yang sibuk mengiring anak-anak ke barisan depan.

Lima belas menit kami mengatur barisan supaya terlihat rapi.

“Kalian masih semangat.?” Tanyaku saat memulai acaranya kembali.

“MASIH KAK.!” Jawaban serempak dari semua peserta. 

“Ah kurang semangat, masih ada yang tidur-tiduran, menyender ke tiang-tiang dan dinding. Ayo kita takbir biar tambah semangat ya.” Kata Indri yang tiba-tiba membantuku untuk memandu acaranya. Dia tersenyum melihatku. Aku hanya mengangguk, membalas senyumannya.

“Takbir.!” Seruku.

“ALLAHUAKBAR.!”

“sekali lagi, jawab yang lebih keras dan lebih bersemangat. TAKBIR.!” 

“ALLAHUAKBAR.!” 

Seruan takbir semua peserta begitu bersemangat, menyamarkan suara air hujan yang deras di luar masjid. Seorang narasumber yang seorang aktivis sudah siap untuk memberikan cerita dari pengalamannya menjadi seorang aktivis atau memberikan kami benih-benih motivasi lagi. Entahlah. Ini acara ketiga untuk menyambut kedatangan syekh dari Palestina yang belum juga terlihat di lokasi.

Satu jam berlalu. Aktivis itu hanya membahas semua prestasinya sedari kecil hingga sekarang. Dengan bangganya menjelaskan satu persatu prestasi yang telah dia raih meskipun tahunnya sudah terlewat lampau. Sampai-sampai saat dia mendapat juara tujuh belas agustusan saja dia bahas. Satu jam yang membosankan. Jujur saja aku kurang suka dengan orang yang membangga-banggakan prestasi di masalalunya, terlihat sekali seperti orang yang tidak percaya diri dengan memanfaatkan prestasi-prestasinya untuk menarik perhatian. Dari peserta saja sudah banyak yang menguap, selonjoran dan bahkan anak-anak SD yang di depan saja tiduran karena bosan, kehilangan semangat. Waktu yang diberikan untuk seorang aktivis itu sampai dua jam. Kalau suasananya begini terus lama kelamaan peserta diam-diam pada pulang atau bahkan ketiduran. 

Hujan semakin deras mengguyur, sesekali suara petir menyambar, sinarnya menyala berkelebat memantul hingga ke dalam masjid. Suasana agak sedikit menyenangkan karena seorang aktivis itu mulai berinteraksi dengan pesertanya, memandu kita untuk bermain game ala aktivis lebih tepatnya melatih kita untuk konsentrasi sebelum dia benar-benar memulai materi. Anak-anak SD menyambut begitu antusias. Anak-anak SMP dan SMA malas-malasan menuruti perintahnya. Setelah itu materi ia berikan, dia membahas kegiatan seorang aktivis yang sudah dia kerjakan. Tak hanya itu dia juga membuat sebuah grup untuk penggalangan dana bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mendirikan sanggar-sanggar untuk anak jalanan dan berbagai program kerja lainnya. Dia berhasil menarik perhatian peserta dan membuat peserta ber-‘Wah’, kagum dengan kegiatan-kegiatan yang di lakukan seorang aktivis.

Di akhir acara, aku tidak menyangka kalau akan ada acara renungan setelah mendengarkan materi yang cukup membosankan. Kami semua yang ada di seluruh masjid berdiri dari tempat duduk, menundukan kepala, memejamkan mata dan siap mendengarkan sebuah renungan yang akan di komandoi oleh seorang aktivis itu. Hal seperti ini biasanya akan menguras air mata, memanggil jiwa kita dan membuka hati yang telah lama tertutup. Ini sebuah pencerahan, aku juga ikut menundukan kepala.

Sebuah gambar kematian menjadi pembuka sebuah renungan. Menggambarkan tentang kita yang sedang sakaratul maut. Lagu yang menjadi pengiring renungan pun lembut terdengar menyatu dengan keadaan, mengombang-ambingkan perasaan. Melukiskan imajinasi yang menyedihkan dan menyeramkan. Beberapa menit berlalu sudah terdengar isak tangis peserta yang begitu menghayati renungan, tangan-tangan mereka sudah merogok kantung baju dan tas mereka hendak mengambil sebuah tissue. Tak terasa renungan itu sedikit demi sedikit telah membuka mata hatiku, tetesan air mata membahasi pipi ketika seorang aktivis itu menggambarkan sebuah kematian seorang ibu. Aku langsung teringat ibu di rumah. Membayangkan saat aku pulang dari acara ini melihat ibu yang sudah di bungkus dengan kain kafan membungkus tubuhnya yang mungil. Tak terlihat lagi senyum di wajahnya yang kini telah pucat. Ketika aku tak bisa lagi mencium kedua tangannya. Renungan tentang ibu sering aku dengar, aku juga sering larut di dalamnya. Membayangkan tubuh ibu yang terkujur kaku, membeku. Dalam tangisku, aku mencoba menepis perkataan aktivis itu yang terus membawa imajinasi kami ke dalam kesedihan. Ada peserta yang langsung terduduk, tidak tahan menangis tersedu-sedu memanggil ibunya. Aku yang masih menangis dan memejamkan mata, menggeleng-gelengkan kepala. Aku membentak imajinasi, berseru tidak mau gambaran yang ada di kepalaku itu terjadi. Kematian ibu. 

Aktivis itu tak henti-hentinya terus menguras airmata kami. Menjerumuskan kami dalam kesedihan. Kini dia menggambarkan sosok ayah. Ayah ? aku rasa aku tidak akan menangis untuknya, aku bisa menghentikan tangisanku. Aku rasa selama hidupku aku belum pernah menangis untuknya, yang ada hanya menangis karenanya. Karena bentakannya dan karena hal menyakitkan yang disebabkan olehnya. Mungkin hal itu karena kebencianku padanya, aku tidak pernah menangis di dalam doa untuknya, aku lebih mendominasikan doaku untuk ibu dan selalu menangis untuknya di banding harus menangis untuk ayah yang aku benci selama 10 tahun ini. Tidak. Aku tidak akan menangis untuknya.

Kapan terakhir kali aku memeluk ayah ? kapan terakhir kali aku mencium tangannya ? bermain, bercanda bersamanya, saling bertegur sapa. Dan kapan, kapan terakhir ayah bilang kalau dia menyayangi aku, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.? Sialnya aku tidak bisa mengelak, batinku sudah menangisi sosok ayah untuk pertama kalinya yang entah kenapa aku begitu saja mudah terpancing untuk meneteskan airmata. Aku mengigit bibir yang bergetar, masih tidak menyangka kalau aku bisa menangis untuknya. Untuk seorang ayah yang selama ini aku benci. Entah kenapa hatiku seketika memberikan maaf untuk kesalahan-kesalahannya di masalalu. Aku membayangkan aku ingin berada dalam pelukannya yang hangat, mencium tangannya seperti aku menghormati ibu. Aku ingin banyak berbicara dengannya yang selama ini aku hanya bisa ungkapkan hanya lewat barisan kata yang tak pernah aku ucap, hanya aku abadikan kepedihan hatiku itu dalam sebuah diary yang sudah penuh dengan kata-kata kebencianku padanya. 

Ayah, aku tahu. Mungkin kami, anak-anakmu yang bebal saja sering mempertanyakan keadilan Tuhan tentang mengapa kami di lahirkan sebagai anak yang memiliki ayah sepertimu. Kami sibuk mengutuk dan mempersalahkan keadaan. Bertanya apakah Tuhan benar-benar adil ? 

Renungan itu berakhir saat syekh dari Palestina tiba. Indri yang melihatku menangis memberikan selembar tissue padaku. Aku membayangkan wajahku yang sembab seusai menangis. Malu-malu menerima selembar tissue dari Indri. Dengan gesit aku langsung menyibakkan airmata yang masih tersisa membendungi pelupuk mata. 

2 jam berlalu bersama para syekh Palestina menjadi pengalaman yang tidak akan aku lupakan bisa bercakap dengan mereka dan diberikan kesempatan untuk berfoto bersama. Selesai acara aku langsung pamit pulang, izin tidak bisa ikut beres-beres semuanya. Aku ingin cepat pulang, mengingat renungan tadi aku ingin segera bertemu dengan ayah, mencium lengannya seraya meminta maaf padanya karena sikapku selama ini membenci dirinya. Dari kampus aku langsung naik kendaraan umum. Rasanya resah sekali saat angkutan umum yang ku naiki lamban sekali tiba di gang rumah, terjebak macet. Aku memutuskan untuk turun dari angkot, lalu memilih untuk naik ojeg sampai rumah. Bibirku bergetar menahan tangisan yang aku tahan, aku menyuruh abang tukang ojeg ngebut dan nyalip sisi mobil yang tidak maju-maju. 

“Ayo Bang ngebut saja. Aku tidak apa-apa ko. Biar cepat sampai rumah nih.” Seruku pada abang tukang ojeg.

“Bener nih Mas tidak apa-apa aku ajak ngebut.?” Tanyanya sedikit ragu.

Aku hanya menganguk yakin.

Seketika motornya langsung melesat cepat, meliuk-liuk di jalanan mencari celah yang kosong. Air di kubangan muncrat mengotori roda motor. Jalanan sedikit licin karena guyuran air hujan. Dan entah kenapa motor yang kunaiki limbung saat mencoba menghindar dari batu besar yang tertancap di pinggir jalan. Abang tukang ojeg tidak bisa menyeimbangkan keadaannya. Dan kecelakaan itu tidak bisa terelakkan lagi. Aku bersama tukang ojeg menubruk trotoar jalan, tumbuhku terbanting hingga 2 meter dan langsung tidak sadarkan diri. Entahlah aku tidak tahu nasib tukang ojeg yang aku ajak menantang maut itu seperti apa keadaannya.

*** 

1 minggu berlalu.

Kini aku menjalani hari-hariku dengan amat berbeda. Aku melihat dunia amatlah gelap, tidak ada cahaya dan keindahan alam yang bisa aku lihat. Bahkan aku tidak bisa menarikan jari-jariku di atas keyboard. Kecelakaan itu telah mengambil panca indraku yang amat penting. Aku mengalami kebutaan total. Entah benda apa yang masuk ke mataku saat terjadi kecelakaan itu. Dokter tidak bisa banyak membantu. Aku nyaris kehilangan semangat hidup. Aku hanya menatap dunia yang gelap, lenggang tak ada cahaya yang bisa menuntun. Aku tidak tahu apakah ini sebuah azab karena aku telah membenci ayah atau karena keimananku sedang di uji dengan di hilangkannya panca indraku. 

Tetapi Tuhan tidak pernah lupa untuk selalu memberi hikmah dari suatu peristiwa menyakitkan yang di alami oleh hambanya. Kebutaanku mampu membuka mata hati ayah. Saat aku menangis untuk pertama kalinya. Ayah mendekapku, aku hanya bisa mendengar isak tangisnya. Aku sentuh pipinya yang basah. ‘Ayah engkau menangis untukku ?’, tanya hatiku. Perasaanku seperti tertikam beribu belati, amat perih. Begitu menyesal atas semua rasa kebencianku selama ini pada ayah. 

Saat di rumah sakit, aku berbincang dengan ayah setelah sekian lama kami tidak berbicara.

“Ayah, maafkan kelakuan Yusuf selama ini sudah membenci Ayah. Maafkan aku…” Kataku, meraba-raba wajah ayah dengan kedua tanganku. “ayah janji sama Yusuf, jangan kasar-kasar lagi sama ibu, jangan membentak ibu, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.” Airmata yang hangat mengalir di pipiku.

“Harusnya ayah yang minta maaf padamu Suf, pada ibu dan pada kakak-kakakmu. Ayah yang keras kepala dan tidak peduli dengan anak-anaknya. Ayah yang buru…”

“Sudah Ayah. Kami sudah memaafkan kesalahan Ayah. Sedari kecil Yusuf ingin merasakan pelukan Ayah.” Kata Kak Andi memotong pengakuan ayah. 

Dan saat itulah. Di usiaku yang ke-19 tahun aku merasakan pelukan ayah yang begitu hangat, badannya bergetar karena terisak. Aku merasa bersyukur, tidak apa-apa Allah mengambil salah satu panca indraku dan menggantikannya dengan nikmat kebahagiaan yang lebih dari sekedar nikmat melihat. 

1 bulan berlalu. Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tahu kalau ayah meninggal karena sakit TBC stadium 4. Ayah begitu rapih menyembunyikan penyakitnya. Hanya saat itu ayah ketahuan sejak memasak bubur untuk dirinya sendiri tanpa meminta bantuan ibu atau Kak Irma dan Kak Ismi. Ayah menanggung semuanya sendirian, tanpa ingin merepotkan kami. Saat itu ayah mendonorkan kedua matanya untukku. Dia rela kedua matanya di ambil, untuk menebus kesalahan yang dia perbuat di masalalu. Akhirnya aku bisa melihat dunia dengan kedua mata ayah. Semua itu sudah menghapus rasa kebencianku padanya. Dan kini meskipun ini amatlah terlambat, aku ingin mengatakan kalau aku bangga memiliki seorang ayah. Dengan matanya aku akan lebih banyak menangis lagi untuknya. Dan kalian yang masih memiliki seorang ayah, bergegaslah, lari padanya dan katakan. KALIAN BANGGA MEMILIKI SEORANG AYAH.

TAMAT

*Rencanany cerita ini akan aku buat novel dan akan memakai ending yang berbeda dengan ini. Doakan ya :)









LABIRIN RINDU

Sekian lama melukis rindu
Diantara jarak yang membeku
Memupuk rindu dengan wajah tersipu malu
Selalu bertumpuk tak pernah layu

Aku dan Kamu membentuk ruang rindu
Diantara jarak yang kadang membuat kita ragu
Saat aku ingin berlagu rindu
Engkau bilang tunggu di batas waktu

Jika rindu berpendapat
Ingin cepat sekali ia merapat
Dengan membawa bongkahan rindu bak emas yang mengkilat
Bak pujangga gagah membawa sejuta puisi hebat

Namun engkau memilih membangun ruang rindu yang berbeda
Membangun sebuah labirin istana
Labirin yang ditumpuk dengan beribu rindu kita
Ruang untuk kita bersua

Sampai jumpa di labirin rindu
Menatap wajah yang tersipu malu
Tempat yang tepat untuk bertemu
Sejenak bibir pun akan merasa kelu

-Senja Hujan

APA YANG HARUS AKU TUNGGU ?



Saat semuanya sudah teramat melelahkan
Saat angin sudah melayangkan angan
Saat hujan tak lagi memberikan kenangan
Saat mentari tak lagi berteman

Apa yang harus aku tunggu ?

Bintang seakan sudah meredup
Dan ia berkata sudah cukup
Membuat hatiku kuyup
Dan hanya kekecewaan yang mengecup

- Senja Hujan, 27092013.

SABAR -_-

Menikmati tarian di atas badai.

KACAMATA

Tanpamu, aku melihat huruf-huruf itu miring seperti kekurangan ion.

#@.@ Night

MENTARI DI ATAS AIR

Pagi ini terlihat cerah dari hari kemarin
Tak ada kabut hitam yang menyelimuti mentari pagi
Cahaya mentari masuk melewati celah jendela yang terbuka
Menerpa wajahku yang membeku terhempas kabut pagi

Aku siap menjemput mimpi
Aku siap jika arah yang ku lalui akan banyak melukai
Aku melihat mimpi itu amat dekat
Seperti aku melihat mentari di atas air

Mentari itu amatlah dekat
Terlukis di atas air yang hangat
Seperti mimpi yang tiada pernah tamat
Aku melihat semua yang aku impikan amatlah dekat

Melihat impianku seperti melihat mentari di atas air
Yang begitu dekat dan begitu hangat



*20 September

Awan Hitam Perusak

Pergilah, kau hanya menggelapkan hidupku
Pergilah, kau hanya mengusik hatiku
Hilangkan keyakinan di dalam diriku
Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?

Hilangkan rasa sakit dan kelamnya masalalu
Hilangkan kegundahan dalam hatiku
Hilangkah awan hitam yang mengukung kehidupanku
Hilangkan ketakutan saat kau mendekapku

Awan hitam yang sangat pekat
Menciutkan semangat yang hebat
Mengusik luka lama yang berkarat
Menenggelamkan imajinasi yang berkelebat

Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?


 19 September sekitar Kota Bogor

Sabtu, 14 September 2013

HERO KINGDOM KURIYO

Ide cerita ini dibuat oleh seseorang yang terinspirasi oleh Al-chan ( Aku :D ), Naruto, Komik Hero dan The Movie Eragon.

Maaf kalau cerita yang aku tulis jelek atau tidak sesuai dengan idenya. :') mari kita baca. Here We Go. ! :)

Ide Cerita : Koza-Kun
Editor & Penulis Naskah : Al-Islamadina


Suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Koza Koma. Dia mengalami hal yang aneh dimana ruhnya kembali ke masa lalu saat kerajaan Kuriyo yang di pimpin oleh ratu yang cantik bernama Al-Islamadina.

            “Aaawww di-dimana aku.?” Seseorang sedang berlari ke arah Koza. Bruuuggggg. Mereka pun bertabrakan.

            “Heiii kau tidak punya mata ya.?” Kata Putri Islamadina.

            “Justru kau yang tidak punya mata.” Koza terkaget melihat wanita yang cantik yang ada di depannya.

            “Kau tidak tahu siapa aku hah.?” Bentak Putri.

            “Memang kau siapa ? seorang Putri kah ?.” Koza bertanya bego. 

            “Memang aku seorang Putri!” jawabnya ketus.

            “Heii kau sedang mimpi ya ? di zaman ini tidak ada yang namanya Putri.” Koza menutup mulutnya, menahan tawa.

            Tiba-tiba ada seorang laki-laki yang berpakaian seorang pengawal menghampiri, melihat mereka berdua duduk diatas tanah.

            “Hei apa yang kau lakukan bodoh.” Katanya tegas, menatap tajam ke arah Koza. “kau pencuri.?” Matanya menyelidik. Dengan penuh kecurigaan, pengawal itu langsung menghantamkan pukulannya pada perut Koza, hingga Koza jatuh pingsan.

“Pengawaaaal.” Teriak Putri.

            “Ada apa putri.?” Tanya salah seorang pengawal yang bernama Jiraya. Seorang pengawal yang sudah uzur yang setia melayani Putri dan mengabdikan dirinya pada kerajaan Kuriyo.

            “Cepat bawa dia pergi.” Serunya galak. Matanya menyorotkan tatapan yang tajam dan tidak suka dengan laki-laki yang tak berdaya, tergeletak diatas tanah.

            “Siap.” Jiraya menurut. Sebelum Jiraya membawanya pergi, dia membangukan Koza terlebih dahulu.
            “Hei bangun kau.” Gertak Jiraya. Akhinya Koza terbangun dari pingsannya. Kedua tangannya mengucek-ngucek mata, seraya memegang perutnya dan berseru.

            “Aduh perutku.!” Keluhnya sambil memegang bagian perutnya yang terasa berdenyut-denyut.
            “Sebenarnya kau berasal dari mana.?” Tanya putri Islamadina.

Koza baru tersadar, putri yang tadi dia tabrak sudah berdiri tegak dihadapannya. Dia berdiri lalu mengepuk-ngepuk bajunya yang kotor terkena tanah. Tak lama Koza pun menjawab pertanyaan putri.
“Aku berasal dari Jepang!” Kata Koza.

“Jepang mana.?” Tanya putri yang keheranan. ‘Jepang, ah itu nama kerajaan.?‘ Batin putri bertanya-tanya.

“Jepang itu sebuah Negara yang memiliki teknologi yang sudah maju.” Jelas Koza. Putri hanya diam menahan tawa. 

“Kenapa kau tertawa.? Ada yang aneh dengan jawabanku, hah.? Tanya Koza. Jelas dia bertanya seperti itu, apanya yang lucu dari jawabannya.?

 “Buuuugggghhhhh.” Sebelum putri menjawab pertanyaannya, Dia dipukul pada bagian perutnya oleh pengawal.

“Jangan berkata tidak sopan di depan putri.” Bentak Pengawal.

Beberapa menit Koza meringis menahan rasa sakit pada perutnya. Sedangkan Jiraya dan Putri terus mengamati setiap gerak-geriknya.

“Sepertinya dia adalah orang yang diramalkan.” Kata Jiraya yang tiba-tiba menyimpulkan sesuatu yang sejak tadi dia mencurigai pemuda aneh yang tiba-tiba datang ke kerajaan Kuriyo.

“Apa maksud kau Jiraya.?” Tanya putri, seketika terkaget dengan apa yang baru saja Jiraya katakan.

“Dia mungkin orang yang akan menjadi tombak dalam perang kerajaan Putri melawan kerajaan Taring Merah yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir ini.” Kata Jiraya. Penjelasannya didengar oleh semua orang, sedangkan Koza hanya terdiam, bingung, tidak mengerti apa yang dikatakan pengawal yang bernama Jiraya itu. 

“Hah. Dia.? Pasti bukan,” Jawab Putri tidak terima dengan apa yang dikatakan Jiraya. “kita belum tahu kalau dia adalah yang diramalkan. Jadi maumu apa Jiraya.?” Tanya Putri yang memang sepertinya ingin menentang pernyataan dari Jiraya.

Jiraya berfikir sejenak sampai dia menemukan sebuah ide untuk memastikan apa yang dikatakannya itu boleh jadi benar.

“Begini saja, kita keluarkan benda itu. Bagaimana Putri.?” Tanya Jiraya meminta persetujuan Putri.
Putri tercengang mendengar permintaan pengawalnya itu. 

“Kau gila.! Bagaimana kalau bukan dia.?” Telunjuk Putri tepat menunjuk didepan kening Koza. Koza masih terheran-heran dengan pembicaraan Putri dan Jiraya. ‘Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan.?’ Setumpuk pertanyaan hinggap di kepala Koza. Namun dia tetap memilih diam, kepalanya terus mengikut kearah seseorang yang sedang berbicara. Dipalingkan kearah Putri, balik lagi ke Jiraya. Bolak-balik, kekiri dan kekanan layaknya sedang menyaksikan pertandingan bulu tangkis yang setiap pukulannya akan dilihat penonton dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan.

“Paling…” Jiraya menggantungkan kata-katanya .

“Paling kenapa.?” Koza yang sedari tadi terdiam, memilih angkat bicara. 

“Kau akan mati.” Jawab Jiraya. 

Koza pun sweetdrop. Tubuhnya melemah, sedikit bergetar menopang tubuh tipisnya.

“Keluarkan pedang Sagenya, cepat.!” Seru Putri pada Jiraya. Pedang Sage adalah pedang sakti dari neraka, yang bisa membuktikan kalau Koza adalah orang yang diramalkan untuk menjadi kesatria kerajaan Kuriyo.

“Baik Putri.” 

Jiraya pun langsung mengeluarkan pedang Sagenya. “Ini peganglah!” serunya, sambil memberikan pegang itu pada Koza. Tak menunggu seruan untuk kedua kalinya, Koza pun menurut untuk memegang pedang itu.

“Kyaaaaaaaaa.” Teriak Koza.

“Bagaimana.?” Tanya Jiraya amat antusias.

“Tidak terasa apa-apa.” Jawab Koza santai, memasangkan raut muka yang polos. Tangannya terus membalik-balikan sisi pedang itu, matanya lamat-lamat memperhatikan pedang yang sedang dia pegang.

“Buuuuuggggggghhhh. Jangan membuat kami kaget atas tingkah bodohmu itu.” Pukulan ketiga pun dilayangkan Jiraya kepada Koza.

Sriiiiiiiiiinngggggg. Tiba-tiba pedang yang masih berada di tangan Koza itu memancarkan cahaya ke atas langit. Cahayanya membelah langit-langit malam. Kemudian pedang itu berbicara. “WAHAI KOZA. KAU ADALAH KESATRIA YANG TELAH KU TUNGGU-TUNGGU.” Kata pedang itu. Lalu bersamaan dengan itu mutiara merah turun dari langit seperti petir yang menyambar menimbulkan suara yang menggelegar. Sreeessss. Suara mutiara itu ketika terjatuh.

“Waaaahhhhh.” Serentak, semua yang ada disana matanya terbelalak melihat kejadian itu.

“Hebat.” Seru Jiraya yang nampak senang.

Putri terlihat bengong tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.

“Bagaimana Putri.?” Tanya Koza, memutus Putri yang beberapa menit masih terdiam.

Hening, tak ada jawaban.

“Bagaimana Putri.?” Koza bertanya untuk kedua kalinya, matanya berkedip nakal kearah Putri.

“Ka-kau adalah kesatria yang diramalkan itu, pahlawan legenda. Benar-benar tidak bisa dipercaya.” Jawab Putri dengan tergagap. Raut mukanya saja terlihat syok, terus bergumam tidak mempercayai kejadian tersebut. Tapi apa boleh buat, pedang sage yang sakti itu telah menunjukan kebenarannya, bahwa Koza adalah seorang kesatria yang telah diramalkan sejak dua tahun silam. Dia benar-benar datang dari dunia yang berbeda, ya Koza datang dari masa depan.

Putri langsung berlari meninggalkan Koza dan Jiraya.

“Jiraya, kenapa Putri pergi.?” Tanya Koza, heran.

“Putri tidak apa-apa, hanya…” lagi-lagi si kakek tua bernama Jiraya itu menggantungkan kata-katanya.

“Hanya apa kakek.?” Koza berseru kesal sekaligus penasaran. 

“Dia akan menikah denganmu.” Jawab Jiraya.

“A-a-apa.?” Koza sontak terkaget, tidak percaya. “kau boho-“

Buuuuuggghhhh. Jiraya sudah mengepalkan tanganya dan memukul Koza. Koza meringis, menahan rasa sakit karena pukulannya. 

“Kau pasti bilang itu.” Keluh Jiraya.

Sementara di kamar putri Islamadina tengah diselimuti awan kegalauan. Putri terus berseru, ‘Aku tidak percaya akan menikah dengan si bodoh itu.’ Dirinya benar-benar belum bisa menerima kenyataan.

Kini Koza sudah mulai menjalani pelatihan-pelatihan untuk ikut tempur dalam peperangan.

Di ruang latihan.

“Aduh…, dasar kakek tua. Seenaknya saja membuatku pingsan untuk kedua kalinya sejak aku menginjakan kaki di kerajaan ini.” Gerutu Koza.

“Kau pasti tidak mau menikah dengan Putri ya.?” Tanya Jiraya.

Sontak Koza terkaget. ‘Bagaimana dia bisa tahu.?’ Batin Koza berbicara.

“Yah aku memang tahu kalau kau tidak mau menikahi Putri.” Jelas Jiraya, seperti tahu betul isi hati Koza.

“Kalau kakek tahu, kenapa Putri harus menikah dengan orang sepertiku. Sedangkan kalian tahu kalau aku datang dari dunia yang berbeda.” Protes Koza.

“DIAM KAU KOZA.!” Bentak Jiraya, “dengarkan aku Koza,..” intonasi bicaranya seketika berubah, lembut dengan memasangkan muka yang amat serius, “mau tidak mau kau harus menikahi Putri.” 

“KENAPA.?” Teriak Koza. Anak muda ini memang tidak tahu sopan santun sama orang tua. Untung Jiraya tidak melayangkan pukulan lagi ke perutnya.

“Karena Putri adalah kekuatan dari pedang ini dan dirimu.”

Koza pun terdiam dan berfikir. 

“Kenapa harus menikah ? apakah aku harus jadi seorang pelayan yang taat dan patuh pada kerajaan ini.?” 

“Kalau kau tidak menikahi Putri atau Putri tidak mau menikah denganmu…” Jiraya diam, ragu-ragu mengatakannya.

“Jangan menggantungkan kata-katamu Kakek.!” Seru Koza.

“Kau dan Putri akan mati.”

Degg. Jantung Koza seperti akan terjatuh, berdebum keras hingga hancur saat mendarat diatas lantai. Koza pun sweetdrop karena itu.

“Jadi kau harus mau menikah dengan Putri Islamadina.” Kata Jiraya, menarik sebuah kesimpulan.

“I-i-itu bohong kan Jiraya.?.” Seseorang keluar dari balik pintu, tiba-tiba melayangkan pertanyaan. Dia adalah Putri yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan Jiraya dengan Koza, mengintip dari balik pintu.
 
“Pu-Pup-Putri Islamadina.! Kenapa Putri ada disini.?” Dengan gagap Jiraya bertanya.

“A-aku hanya lewat. Dan tidak sengaja mendengar percakapan kalian.” Wajah Putri memerah, merendam malu karena saat itu melihat Koza hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju atasan. Jiraya kemudian melihat ekspresi Putri yang seperti itu dan dia menyimpulkan sesuatu didalam hatinya, ‘Kurasa Putri sudah mulai suka dengan Koza.’ Kata hati Jiraya berbicara.

“Hei Koza.!” Seru Jiraya.

Koza pun memalingkan wajahnya kearah seruan Jiraya.

“Cepat kau antar Putri jalan-jalan.” Perintah Jiraya. Putri kaget mendengar seruan Jiraya.

“Tidak mau.” Koza mendengus, kesal. Memasangkan muka malas.

“Ini perintah. Kalau kau tidak mau, akan ku penggal kelapamu itu.” Gertak Jiraya. 

Dari situ Koza melihat senyum Putri yang malu-malu melihatnya dibentak oleh Jiraya. Saat Koza menatap Putri, Putri langsung menenggelamkan senyumnya. Mungkin dia malu.

Koza pun pasrah dengan keadaan dengan menghela nafas yang panjang.

“Baiklah.” Akhirnya Koza menyetujui dan mau mengajak Putri Islamadina jalan-jalan keluar istana kerajaan. 

“Hei Koza.!” Jiraya kembali memanggil Koza. Yang dipanggil langsung membalikkan badannya. 

“Ada apa lagi Kakek.?” Koza bertanya kesal.

“Apakah kau mau mengajak Putri jalan-jalan hanya menggunakan celana pendek dan tidak menggunakan baju.?” Jiraya melihat geli pada Koza.

Sontak Koza pun melihat ke bawah, memeriksa tubuhnya dan ternyata kakek Jiraya benar, Koza baru sadar akan hal itu dan dia segera menggunakan baju kesatrianya yang telah disiapkan kakek Jiraya selama dia tinggal di kerajaan Kuriyo. Baju jirah yang berwarna hitam telah menutupi tubuh tipisnya, Koza nampak gagah dengan baju itu dan terlihat seperti kesatria-kesatria yang kuat.  

“Jangan lupa bawa pedang Sage itu. Lalu besok kau ikut latihan selama dua minggu di hutan kematian.” Jelas Jiraya mengingatkan Koza. 

Putri hanya diam dan sepertinya dia mulai menyukai  Koza. Dan nampak terlukis awan kesedihan pada raut wajahnya ketika calon suaminya akan dibawa oleh kakek Jiraya ke hutan kematian.

***  

Saat diperjalan Koza dan Putri hanya diam dan sesekali mereka mencuri-curi pandangan dan ketika pandangan mereka bertemu kedua pipi mereka bersemu merah. Malu-malu merekahkan senyuman. Sampai akhirnya Koza yang memulai pembicaraan, memecahkan keheningan. 

“Nama lengkapmu siapa ? apa aku harus memanggilmu Putri saja, tanpa tahu nama aslimu.?” Tanya Koza berbasa-basi.

Sebelum menjawab, sejenak Putri hanya terdiam. Malu menjawab pertanyaan Koza.

“Namaku lengkapku Al-Islamadina, terserah Koza-kun saja mau memanggilku apa.” Jawab Putri yang pipinya masih bersemu merah.

Koza pun tersipu malu karena dipanggil dengan iming-iming kun. Baru kali ini Putri memanggil Koza dengan panggilan jepang berbuntut kun. Beberapa hari yang lalu, Putri memang sempat bertanya banyak hal tentang tempat asal Koza. Koza bercerita banyak tentang tempat asalnya bagai seorang pendongeng handal dia menceritakan tempat muasalnya dan segala kecanggihan yang membuat Negaranya terkenal dengan Negara yang berteknologi canggih. Dan  salah satunya dia bercerita tentang panggilan Kun itu. 

“Kalau aku panggil Al-chan, bagaimana.?” Tanya Koza. 

Sang Putri hanya mengangguk kecil, tanda setuju. 

“Hmm kita cari makan yuk.?” Tanya Koza yang sudah dari tadi perutnya berteriak minta dikasih makan.

“A-a-ayo.” Jawab Putri. 

Mereka pun mencari kedai makanan yang ada di pinggir-pinggir jalan. Koza yang belum tahu kedai mana yang enak masakannya bertanya pada Putri Al-chan.

“Al-chan.!” Seru Koza.

Putri pun menolehkan wajahnya pada Koza yang memanggil namanya.

“Iya, Koza-kun. Ada apa.?”

“Aku belum tahu daerah ini. Jadi menurut Al-chan dimana tempat kedai yang enak di daerah ini.?” Tanya Koza.

Lalu Putri berfikir sejenak dan sekitar satu menit tiga puluh detik otaknya seperti mendapatkan penerangan dan menemukan jawabannya.

“Aku tahu, kita makan di kedai Ichikaru saja. Di sana tersedia makanan lengkap khas daerah ini.” Jawab Putri sumringah memperlihatkan gigi putihnya. 

*** 

Suasana malam hari di kerajaan Kuriyo.

Malam yang lenggang penuh taburan bintang di atas langit. Koza memutuskan berjalan-jalan mengelilingi kerajaan Kuriyo. Istana yang sunyi menyisakan pengawal-pengawal yang masih terjaga. Tiba-tiba langkah kaki Koza terhenti saat mendengar isakkan tangis seorang wanita yang ternyata Putri Al-chan di balik jendela singgasananya yang mungkin sengaja ia buka. Koza pun pelan-pelan menghampiri Putri yang sedang menangis.

“Kau sedang apa Al-chan.?” Tanya Koza yang sudah mengambil posisi duduk di sebelah Putri dengan memandang bintang yang menghiasi langit malam kerajaan Kuriyo.

“Tidak apa-apa.” Jawab Putri. Tangannya gesit menghapus sisa-sisa airmata yang menempel di pipinya.

“Kau tidak bisa berbohong karena setegar apapun Putri jika ada beban fikiran atau ada perasaan tidak enak mengusik dalam hatinya pastilah ia menangis.” Koza mencoba memancing Putri agar bisa menjelaskan apa yang kini sedang ia rasakan sampai seorang Putri meneteskan airmatanya.?

“Aku tidak mau kehilanganmu, karena banyak orang yang mati setelah masuk hutan itu.” Tetesan airmatanya tak terbendung, mengalir tak hanya membasahi pipinya, bahkan basah hingga menyentuh bibirnya yang manis.

Koza pun langsung memeluk Putri hingga bersandar di dada bidang Koza.

“Kau harus percaya padaku kalau aku akan kembali.” Jawab Koza menenangkan. Tangannya sedikit menyibakkan airmata yang ada di pipi Putri. 

Putri terkaget mendengar jawaban Koza, pipinya kembali bersemu merah dan tangannya memeluk erat tubuh tipis Koza. Tidak mau melepaskan pelukan Koza. 

“Berjanjilah padaku Koza-kun.” Kata Putri dengan suara yang bergetar.

“Ya, itu janjiku padamu.” 

Dan malam itu menjadi saksi bisu cinta mereka berdua.

***  

Waktu sudah pagi. Cahaya matahari mengintip melalui celah-celah dedaunan, menyapu lembut kabut dingin di pagi hari. Setelah kejadian malam itu, tak disangka Koza dan Putri akan secepat itu saling menjatuhkan hatinya. 

“Hei apa kau sudah siap.?” Tanya Jiraya, memastikan. Pagi ini Koza dan Jiraya akan berangkat ke hutan kematian.

“Tunggu Kakek Jiraya.” Koza mencoba menahan keberangkatan. Dia menunggu seseorang, hanya ingin dilihatnya sebentar saja, wajahnya yang cantik menawan, bermata sendu, bibirnya yang manis, aaaah dia tetap ingin melihatnya terlebih dahulu sebelum dia pergi.

Jiraya yang seperti tahu apa yang sedang dirasakan Koza, hendak meledeknya.

“Apakah kau sudah bisa mencintai Putri.?” Senyum jahil tersungging dibibir lelaki tua yang sudah mulai keriput itu.

Dari arah kejauhan, terlihat Putri sedang berlari ke arah pintu gerbang kerajaan. Dia hendak memberikan sesuatu pada Koza. 

“Koza, ini.” Tangan Putri menyodorkan sesuatu kehadapan Koza. Kemudian Dia tersenyum manis, terlihat amat tulus tidak seperti sebelumnya saat pertemuan pertama mereka.

“Apa ini Putri.?” Tanya Koza. Heran menatap benda yang diberikan Putri padanya.

“Ini adalah jimat pelindung untuk Koza-Kun.” Putri mengembangkan senyuman manisnya.

Jiraya yang melihat mereka hanya menghela nafas bahagia. 

“Hei Koza, cepatlah kita pergi.” Teriak Jiraya, mengganggu pertemuan romantis mereka.

“Hmmm. Sepertinya memang sudah waktunya kita berpisah.” Kata Koza sedikit tertahan. 

Putri hanya diam, menahan tangis yang seketika saja bisa buncah membanjiri pipinya lagi. Entah kenapa dia bisa memiliki rasa takut kehilangan Koza. Padahal siapalah Koza ? dia hanya lelaki yang baru saja hadir di kehidupannya. Beruntung airmata itu masih bisa ditahan dikantung airmata. Putri mencoba tersenyum menutupi rasa sedihnya. 

“Hati-hati ya Koza-Kun.” Dengan malu-malu Putri mengatakannya. Tatapannya tetap terpaku pada Koza.

“Ya. Tunggu aku ya. Aku pergi.” Koza pamit. Melambaikan tangannya. 

Putri menatap Koza, melepas kepergiannya. Terpaku di tempat dia berdiri sampai punggung Koza hilang di ujung jalan.

“Koza, kau mencintai Putri Islamadina ya.?” Jiraya kembali jahil menanyakan pertanyaan yang tadi Koza biarkan melambung-lambung di angkasa tanpa sebuah jawaban darinya. 

Mendengar hal itu rona pipi Koza bersemu merah, bagaikan kepiting rebus.

“Memang aku suka Putri.” Jawab Koza mau mengakui apa yang sedang dirasakan hatinya. Dia jawab dengan tidak malu-malu.

***
Tak terasa mereka sudah menjejakkan kaki di tempat tujuan. Pepohonan yang menjulang tinggi berdaun amat kering, semak belukar yang rimba, menghitamkan pandangan, lolongan binatang buas membahanakan seluruh penjuru hutan.

“Kita sudah sampai.” Kata Jiraya. Matanya menyelusuri sekeliling hutan seperti elang yang sedang mencari tempat peraduan.

“Wah hebat.” Seru Koza. Dia menyeringai, asik memandangi apa yang ada di hutan kematian. Tak seseram dengan yang pernah ia bayangkan sebelumnya.

“Ingat ya, kau harus berjalan menemui binatang buas untuk menjadi tungganganmu.” 

“Maksudmu dengan binatang buas yang seperti apa.?” Koza bergiding, sedikit ada perasaan takut kalau dia harus menunggangi binatang buas.

“Aku juga tidak tahu. Aku belum pernah masuk ke sini, tetapi menurut ramalan itu. Di hutan ini kau akan menunggangi hewan buas, kau sendiri yang akan menjinakkannya, tunggangan itu dikenal dengan tunggangan legenda, jadi kau akan mengetahuinya sendiri.” Terang Jiraya. 

Koza hanya mengangguk-anggukan kepalanya, mendengarkan dengan takzim penjelasan dari Jiraya.

“Koza aku peringatkan kau…” penjelasan Jiraya tertahan. Dia memperlihatkan wajah yang serius.

“Ada apa Kakek.?” Tanya Koza tak kalah serius.

“Kau tidak boleh takut dengan binatang yang ada dalam hutan ini dan jangan kau bunuh satu ekor semut pun.” Kata Jiraya menerangkan.

“Kenapa begitu.?” 

“Karena  jika kau membunuh binatang yang ada di sisni kau tidak akan mendapatkan tunggangan legenda itu. Ah iya, kau juga jangan berlari kebelakang ke gerbang hutan ini sebelum kau menemukan tungganganmu itu, kau tidak boleh kembali sekali pun kau takut teruslah berjalan ke depan.”

“Baik Kek.” Jawab Koza dengan penuh kesungguhan dan tekad yang menggebu untuk segera bertemu dengan tunggangan yang diramalkan. Jika dia merasa takut, dia akan mengingat wajah Putri Al-chan yang bisa membuat rasa takutnya hilang.

Tak beberapa lama mereka pun sampai di tempat binatang buas yang akan di tunggangi Koza. Binatang itu ternyata naga. Naga yang sangat besar, memiliki ekor yang runcing. Tiba-tiba seekor naga itu terbang, menukik tajam ke arah Koza. Naga itu tidak buas seperti rupanya, ia langsung jinak dengan memegang baju kesatria Koza yang berwarna hitam.

“Wahai Koza tunggangilah aku, aku sudah lama menunggumu.” Naga itu berbicara. 

“Eh, baik. Namamu siapa.” Tanya Koza ragu, ‘Naga yang bisa berbicara, dia pasti punya nama.’ Fikir Koza.

“Namaku Eragon. Kau siap Koza ? kau akan berlatih menungganiku untuk persiapan perang melawan kerajaan Taring Merah.” 

Koza hanya menganguk, mengiyakan. Wuuuusssssshhhhhhh. Eragon dan Koza melesat ke angkasa, angin yang kencang berada dibawahnya menyeimbangkan sayap-sayap Eragon. Di langit luas, mereka berputar-putar. Sesekali Koza berseru,’woooooooooo’ sedikit ketakutan. Namun dia terus mencengram erat tanduk-tanduk Eragon yang amat kokoh menancap di atas kepalanya. Jiraya yang melihat dari bawah sangat senang melihat kejadian itu. ‘Memang dia kesatria yang kuat’ seru Jiraya pada Koza.

Saat Eragon mendarat di atas tanah, tak terhitung banyaknya dedaunan yang tersapu bersih oleh kedua sayapnya.

“Ini keren Eragon.” Seru Koza. 

“Eragon ditunggangi bukan untuk main-main Koza. Kau dilatih untuk menjaga keseimbangan saat berada di punggungnya.” Jiraya mengingatkan.

“Iya Kek.” Jawab Koza.
 
*** 

Akhirnya sudah dua minggu Koza berada di hutan kematian menjinakkan seekor naga yang bernama Eragon. Naga berwarna merah api yang gagah, tanduk-tanduknya yang kokoh dan giginya yang tajam mampu sekali mencabik tubuh beruang menjadi hancur. 

Suasana di Istana kerajaan Kuriyo. 

Betapa bahagianya Putri melihat kepulangan Koza dengan selamat. Dia melihat Koza dan Jiraya menunggangi seekor naga yang melintas di langit kerajaan Kuriyo. ‘Aku percaya padamu Koza-kun.’

“Hai Putri Al-chan.” Sapa Koza setelah mendarat dihalaman istana. Putri kagum meliihatnya.

“Ko-Koza-kun.” Gagap Putri menyapa Koza. Bagaimana mungkin ia tidak bahagia, dua minggu dia memendam rindu dan kekhawatiran pada Koza yang hanya bisa ia sampaikan rindunya pada langit malam. Betapa ia ingin memeluk Koza dan melepas rindunya, namun karena malunya Putri, ia tidak melakukannya.

“Siapakah wanita cantik itu Koza.?” Tanya Eragon, ia diam bersebelahan dengan Koza.

“Dia adalah calon istriku Eragon. Dia Putri Al-Islamadina.” Jawab Koza dengan tegas dan menyeringai senang memanggil nama lengkap Putri. Putri yang mendengar itu hanya menyimpulkan senyuman malu.

“Tuan Putri, maukah engkau menunggangi saya.?” Eragon menawarkan.

“Ayo Putri.” Tangan Koza sudah memegang tangan Putri, membujuknya agar Putri mau menerima ajakan Eragon. Koza menatap Putri penuh harap sampai Putri mengangukan kepalanya.

Dengan sangat senang Putri menaiki Eragon untuk pertama kalinya bersama Koza, ia terus memeluk punggung Koza dengan erat. Koza menikmati pelukkan dari Putri, saat berada di angkasa, Koza memikirkan sesuatu.

“Al-chan.” Panggil Koza pada Putri. 

Putri yang senang mendengar Koza memanggilnya dengan Al-chan. Ia mendekatkan wajahnya sambil tetap memeluk punggung Koza.

“Ada apa Koza-kun.?” Tanya Putri.

Koza menghela nafas panjang. Nampak sekali ada hal yang serius yang ingin dia katakan.

“ Putri, aku sudah menepati janjiku yang pertama.” Putri langsung tersenyum bahagia, rona bahagia di wajahnya tengah mengembang. Ia menjawab Koza hanya dengan anggukan. “lalu aku ingin membuat janji kedua. Aku mau membuat janji seumur hidupku.” Kata Koza, sangat serius. Eragon yang mendengarkan Tuannya tahu situasi dan hanya memilih diam dan terus terbang di angkasa.

“Janji apa Koza-kun.?” 

Koza menghela nafas lagi dan mulai menerangkan.

“Maukah kau menikah denganku.?” Tanya Koza. Lalu dia mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya yang berisi berlian jamrud. Putri sontak kaget dan rona di pipinya memerah bagaikan kepiting rebus.

“A-a-aku ma-mau.” Jawab Putri, malu-malu. Dari kedua sisi matanya sedikit mengeluarkan airmata bahagia. Lalu Koza memakaikan cincin itu di jari manis Putri Islamadina dan ketika Eragon mendarat di atas tanah, Koza langsung memeluk Putri. Eragon hanya diam, tidak mau mengganggu kemesraan tuannya. 

“Besok kita akan melaksanakan pesta pernikahan kita.” kata Koza sangat antusias. Putri menyetujuinya.

*** 

Hari yang dinanti pun akhirnya datang. Koza Koma dan Putri Islamadina pun menikah. Ini adalah awal dari semuanya. Pernikahan ini akan menjadi kekuatan yang sangat kuat untuk melawan kerajaan Taring Merah.

“Whheeeiiiiiiii.” Semua bersorak sangat senang karena Putri dari Kuriyo menikah. Koza sangat tampan dengan jubah kerajaan berwarna biru. Putri juga cantik dengan segala hiasan kerajaan, gaun dan mahkota yang ia kenakan. Suasana pernikahan berlangsung dengan hikmat dan di isi dengan acara-acara tradisi kerajaan, tarian-tarian hingga aksi pertandingan pengawal-pengawal beradu kekuatan dan menujukan keahlian mereka dalam berpedang.

Saat Koza dan Putri berpegangan tangan tiba-tiba ada sebuah pedang muncul di tengah-tengah mereka, pedang itu berwarna putih, menyala terang. “Sreeeeettt.” Suara pedang yang ada di tengah-tengah keduanya. Dan seketika pedang sage milik Koza pun keluar bercahaya merah darah dan menyala terang. Kedua pedang itu melambung di udara. Jiraya langsung mengambil kedua pedang itu dan keadaannya normal kembali.

“Pedang itu keluar juga.” Kata Jiraya sambil membolak-balikkan sisi pedang berwarna putih itu. Koza dan Putri terheran-heran, lalu Koza memutuskan untuk mencari penjelasan pada Jiraya dengan bertanya padanya.

“Pedang apa itu Jiraya.?” Tanya Koza.

“Apakah itu pedangnya.?” Putri juga ikut bertanya pada Jiraya. Jawaban Putri dijawab dengan sekali anggukan oleh Jiraya.

“Maksud kamu apa Al-chan.?” Tanya Koza kembali yang tadi pertanyaan dia diabaikan. Ia ingin mencari penjelasan.

“Itu adalah pedang dari Surga.” Jelas Putri.

“Apa hubungannya dengan pedang Sage ini.?” Tanya Koza lagi.

“Jika pedang ini di pakai secara bersamaan kita akan memenangkan perang.” Jawab Jiraya.

“Oh begitu.” Koza mengangguk-anggukan kepalanya. 

“Lalu siapa yang akan memegang pedang itu.?” Tanya Putri.

Jiraya kemudian menatap Putri dan menghela nafas panjang.

“Sepertinya kau Putri.” Kata Jiraya sambil memberikan pedang itu pada Putri. Putri langsung mengambil pedang itu dari tangan Jiraya.

“Srrrrrriiiiiiiiiinnnggg.” Pedang Surga itu berkilat memancarkan cahayanya lagi. 

“BANGKITLAH WAHAI PEDANG SURGA.” Teriak Putri sangat tegas.

Suasana kerajaan Taring Merah.

“Mereka sedang mengadakan pesta pernikahan Tuan. Apa kita akan menyerang sekarang ? tidak ada waktu lagi Tuan, sebelum kedua pedang itu benar-benar menguatkan kerajaan Kuriyo dan… dan kita akan kalah.” Kata seorang anak buah Taring Merah. Dia Nampak cemas dengan berita Putri Islamadina dan Koza menikah. 

“Aku juga sudah tidak sabar ingin memenggal kepala pemuda dari masa depan itu. Dia datang hanya untuk mengacau. Akan aku tebas tubuhnya hingga aku keluarkan isi perutnya dan jantungnya akan aku jadikan makanan special untuk Orochimaru hahahahaha.” Jawab Taring Merah yang sedang mengelus-elus mesra ular kesayangannya bernama Orochimaru. “Kita kacaukan hari bahagia mereka.” Kata Taring merah melanjutkan kalimatnya dengan mantap.

Berangkatlah pasukan kerajaan Taring merah menuju kerajaan Kuriyo. Seketika langit kerajaan Kuriyo menjadi gelap. Daun-daun berguguran berubah menjadi warna hitam, pepohonan mati begitu saja, angin yang menerpa lebih kencang dari biasanya. Suara gemuruh, derap kaki pasukan Taring Merah menggema, menggetarkan langit-langit kerajaan Kuriyo. Dari arah gerbang kerajaan Kuriyo sudah terdengar suara pedang beradu. Jiraya yang sudah tahu dengan apa yang terjadi langsung menarik tangan Koza. 

“Ayo Koza, saatnya kau tunjukan bahwa kau adalah kesatria legenda itu. Cepat panggil Eragon. Dan Putri, sebaiknya kau bersembunyi dulu di tempat yang aman. Cepat!” Seru Jiraya.

“Ta-tapi Koza-kun…” Putri ragu mendengar perintah Jiraya, dia tetap memegang tangan Koza, seperti tidak mau dipisahkan.

“Dia harus bertarung Putri, menyelamatkan kerajaan kita.” Jelas Jiraya.

“Aku ikut. Aku akan mendampingi Koza-kun.” Jawab Putri, memaksa.

“Putri.?” Koza tercengang mendengar jawaban Putri.

Jiraya menghela nafas panjang, pasrah. Dia juga tidak bisa menolak permintaan Putri, mengingat dia hanya seorang pengawal.

Wuuuuuusssshhhhhh. Eragon datang mengepakan sayapnya yang besar. Taring Merah datang menyerang dengan menunggangi Orochimaru. Ukuran Orochimaru sama besarnya dengan Eragon, panah-panah kecil yang melesat tak mampu menembus ke tubuh dua binatang legenda itu. Pedang Sage sudah di genggam erat oleh Koza. 

“Serang Eragon!” Seru Koza. 

Eragon langsung terbang menukik ke arah Taring Merah berada. 

“Muntahkan bisa mematikanmu Orochimaru.” Perintah Taring Merah, senyumnya menyungging menganggap hal ini sangat mudah hanya melawan pemuda biasa. Tatapannya sangat merendahkan Koza.

Byyyuuuurr. Bisa dari taring Orochimaru menyembur pada Eragon. Seketika Eragon limbung, gerakan sayapnya melemah sepertinya akan ada pendaratan kasar. Namun Eragon tetap mempertahankan keseimbangannya.

“Kau baik-baik saja Eragon ? Kau baik-baik saja kan.?” Tanya Koza mencemaskan keadaan Eragon.

“Aku baik-baik saja Koza.” Jawab Eragon. Bisa Orochimaru masih tersisa menetes di permukaan wajahnya. “Kau pegangan yang erat Koza. Kau siap menancapkan pedangmu di ubun-ubun Taring Merah dan Orochimaru.?” Tanya Eragon. Sepertinya bisa itu tidak terlalu menimbulkan efek yang buruk untuk Eragon, permukaan kulitnya yang tebal boleh jadi tidak akan bisa menyerap bisa Orochimaru.
“Aku siap Eragon.” Jawab Koza bersemangat.

Peperangan itu semakin memanas. Koza dan Taring Merah terus beradu pedang. Ribuan anak panah di luncurkan. Beberapa pasukan sudah tergeletak tak berdaya menjadi mayat-mayat yang berlumuran darah yang masih hangat dan segar. Tubuh mereka sudah tidak berbentuk di cingcang oleh pedang-pedang. Halaman kerajaan Kuriyo menjadi lautan darah. Pertahanan pasukan Kuriyo mulai melemah, beberapa pasukan Taring Merah sudah mulai merangsek ke dalam istana kerajaan. Terlihat Jiraya yang sedang kewalahan, dia di kepung oleh lima orang sekaligus, menodongkan pedang yang runcing ke arahnya. 

“Kalian cari mati denganku. Hyaaaaatt.” Kata Jiraya sambil menebaskan pedangnya dengan gaya sekali putaran, menebas perut kelima pasukan lawan. Usus-usus mereka menyembul keluar, memuntahkan segala isi perutnya. 

“Putri kita terpanah. PUTRI TERPANAH.” Salah satu prajurit berteriak sangat kencang. Semua wajah tertoleh ke arahnya. Terlihat Putri sudah disangga di atas lengannya. Anak panah itu menancap tepat di jantung Putri. 

Koza terkaget dan amat terpukul mendengarnya. Ia langsung menyuruh Eragon untuk mendekat ke arah Putri. Kesempatan seperti ini langsung di manfaatkan oleh Taring Merah dan pasukanya yang terus kejam menikam. 

“Pu-putri Al-chan.?” Bibir Koza bergetar, bertanya. Dia mengusap kedua ujung matanya.

“Koza-kun.” Airmata Putri sudah mengalir di pipinya. Suaranya serak menjawab, nafasnya sedikit tersengal. 

Koza mengusap lembut airmata Putri.

“Bertahanlah istriku.” Airmatanya sudah tak terbendung lagi. “Aku akan mencabut panahnya, kau harus kuat.” Kata Koza. Airmata Putri hangat menetes di salah satu lengan Koza. 

Putri meringis menahan rasa sakit. Setelah anak panahnya tercabut Koza langsung menggerang marah, sorotan matanya tajam. Seketika itu Koza berubah, tubuhnya menyatu dengan Eragon menjadi monster legenda. Kemarahannya tak bisa dikendalikan, monster legenda mengobrak-abrikan peperangan menghantam apa saja yang ada di hadapanya. Taring Merah tercengang melihatnya, beberapa pasukannya bergidig dan lari terbirit-birit.

“Hadapi monster itu pengecut.” Teriak Taring Merah pada pasukannya. Pasukannya tak menuruti perintahnya. Tubuh mereka bergetar melihat monster legenda yang menakutkan. Sekali hembusan api dari mulut monster itu bisa memasakkan puluhan daging manusia.

Akhirnya Taring Merah yang menghadapi monster legenda dengan didampingi ular raksasanya bernama Orochimaru itu.

Sorotan mata monster legenda sangat memburu tajam kearah Taring Merah. Dari lubang hidungnya terdengar suara dengusan nafas yang sangat panas dan kasar.

“Grrrrroooooooooooaaaaaaaaaa.” Monster legenda berteriak. Tubuhnya yang besar langsung lari memburu Taring Merah. Dengan satu kali gigitan mengunakan gigi-giginya yang tajam menikam Orochimaru yang seketika tubuhnya jatuh berdebum keras di atas tanah, tak berdaya. Hanya menyisakakan Taring Merah yang memegang erat-erat pedangnya. Dan tak lama setelah itu, monster legenda langsung menyerang, mencabik-cabik tubuh Taring Merah hingga hancur. Darah segar Taring Merah muncrat, sebagiannya sudah mengalir membentuk kelokan di atas tanah.

Perang pun berakhir. Ribuan tumpukkan mayat tergeletak tak beraturan. Langit kerajaan Kuriyo kembali terang, matahari sudah mengintip di atas langit. Awan-awan hitam menipis dan menghilang oleh hembusan angin.

*** 

Satu minggu berlalu setelah peperangan antara kerajaan Kuriyo melawan kerajaan Taring Merah.

“Aku harus kembali ke tempat asalku. Jepang.” Keluh Koza.

“Kau akan meninggalkanku.?” Putri bertanya ketus.

“E-e-bukan begitu…” jawab Koza, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung mencari jawaban dari pertanyaan Putri.

“Kau bisa mengajak Putri ke tempat asalmu Koza.” Kata Jiraya yang tiba-tiba datang menengahi pembicaraan mereka.

“Kakek tidak sedang bergurau bukan ? bagaimana mungkin Putri bisa…”

Bruuuuuggg. Jiraya memukul telak perut Koza. “Kau jangan membuat istri kau sedih Koza. Kau tega sekali meninggalkan istri yang sedang hamil muda.” 

“Apa? Putri hamil.?” Mata bulat Koza terbelalak. “apa itu benar Putri.?” Tanya Koza.

Yang di tanya hanya diam kemudian mengangguk kecil.

“Lantas bagaimana caranya aku bisa kembali ke Jepang dan mengajak Putri ke sana Kek.?”

“Kalian bisa menggunakan pedang Sage dan pedang dari surga itu untuk menembus waktu.” Jawab Jiraya.

“Benarkah.?” Tanya Koza dan Putri hampir bersamaan. Jiraya mengangguk yakin.

Akhirnya Putri ikut bersama Koza ke masa depan tempat dimana Koza tinggal. Mereka bisa pergi ke masa depan dan masa lalu dengan menggunakan pedang Sage dan pedang surganya, melewati batas waktu. Panah yang menancap ke jantung putri waktu itu tidak terlalu dalam dan bisa disembuhkan oleh pedang surga. Dan Jiraya kemudian diangkat menjadi seorang panglima kerajaan Kuriyo.



THE END