Hujan tidak hanya mampu menyamarkan airmataku ketika Aku menangis. Namun Hujan juga mampu membuat hatiku merasakan tenang dengan suara rintikan yang jatuh dari atas langit. Hujan selalu meredamkan amarah di hatiku bahkan mampu menghapus kebencian yang meradang di hatiku. Suasana Hujan yang selalu Aku rindukan, seperti katak yang selalu riang menyambut datangnya Hujan dengan menyanyikan nyanyian hujan. Tak peduli dengan gelegar petir yang menyambar, Aku tetap mengagumi Hujan.
Minggu, 29 September 2013
TITIPAN MALAM SYAHDU
Ku titipkan desah nafasku padamu.
Agar esok ku buru jika wajah tak membiru, membeku.
Ku titipkan mata yang sendu padamu.
Agar esok ku jemput jika kelopaknya masih terbuka.
Ku titipkan bibir penuh kata yang kadang busuk dan membuat celaka.
Agar esok ku cumbu dalam mesra jika masih merah muda.
Ku titipkan jasadku padamu.
Jika ia tak bisa lagi memangku, menerbangkan arwah yang layu.
-Senja Hujan, 290913.
I LOVE FILOSOFI
Aku menyukai filosofi. Namun aku tak pandai berfilosofi.
Aku hanya elang kecil. Mencoba berdiri dan mengepakkan sayapnya yang berbeda dengan orang lain. Memiliki bulu dan warna yang berbeda, yang sering kau sebut itu dengan keanehan. Melihatnya seperti cacat bukan kelebihan.
Aku elang kecil yang berbeda. Semoga akan ada angin yang membawa kabar baik untuk menjelaskan padamu, kenapa aku berbeda. Karena aku sendiri pun hanya bisa menari di atas angin yang tenang, tanpa penjelasan kenapa aku belum bisa menaklukan badai atau menikmati tarian di atasnya.
Atau Tuhan mempunyai cara lain untuk membuat aku nampak istimewa ? menghapuskan ke cacatan yang selalu kau khawatirkan ?
Entahlah.
Aku elang kecil yang berbeda. Aku elang kecil yang belum bertahta. Dan akan kesal jika sudah dibandingkan dengan mereka yang meraja.
#Aneh XD
Aku hanya elang kecil. Mencoba berdiri dan mengepakkan sayapnya yang berbeda dengan orang lain. Memiliki bulu dan warna yang berbeda, yang sering kau sebut itu dengan keanehan. Melihatnya seperti cacat bukan kelebihan.
Aku elang kecil yang berbeda. Semoga akan ada angin yang membawa kabar baik untuk menjelaskan padamu, kenapa aku berbeda. Karena aku sendiri pun hanya bisa menari di atas angin yang tenang, tanpa penjelasan kenapa aku belum bisa menaklukan badai atau menikmati tarian di atasnya.
Atau Tuhan mempunyai cara lain untuk membuat aku nampak istimewa ? menghapuskan ke cacatan yang selalu kau khawatirkan ?
Entahlah.
Aku elang kecil yang berbeda. Aku elang kecil yang belum bertahta. Dan akan kesal jika sudah dibandingkan dengan mereka yang meraja.
#Aneh XD
Sabtu, 28 September 2013
TANGISAN PERTAMAKU UNTUK AYAH
Kenangan sepuluh tahun
yang lalu terus tergambar jelas dalam ingatan, seperti film layar lebar yang
kembali di putar untuk aku lihat. Sayang kenangan itu membuat aku semakin benci
padanya. Sejak saat itu aku memutuskan untuk membencinya. Sosok ayah yang tidak
dekat dengan anak-anaknya, bagiku dia sosok ayah yang hanya sedikit peduli pada
anak-anaknya. Dia lebih suka diam atau membentak kami dan ibu. Dia ayah yang
buruk, dia sendiri yang membuat kami menjauh darinya, sekedar menyapa atau
berbicara pun anaknya enggan, takut dan malas. Aku tidak tahu penderitaan apa
yang telah kakak-kakakku rasakan karena ulahnya yang pasti mereka pun sama
bencinya denganku.
Kenangan
sepuluh tahun yang lalu yang tidak bisa aku lupakan hingga sekarang. Saat itu
aku masih berumur 9 tahun. Di bulan yang penuh berkah, bulan yang suci yaitu
bulan ramadhan kami sekeluarga hendak berbuka puasa. Begitu banyak hidangan
berbuka yang di sediakan ibu, ada kolak pisang, es cingcau, gorengan-gorengan,
bubur sum-sum, dan tidak lupa ibu juga menyiapkan hidangan berbuka puasa yang
di anjurkan oleh Rasul Allah, beberapa butir kurma yang ranum dan segar. Saat
itu aku sedang sibuk menata jajanan yang aku kumpulkan dari siang untuk aku
makan setelah hidangan berbuka puasa. Aku memang selalu memiliki kebiasaan
seperti itu, mengumpulkan jajanan di sekolah untuk aku berbuka. Di ruang makan
ibu sudah sibuk mondar-mandir ke dapur ke ruang makan mengangkut makanan yang
akan di hidangkan, tinggal beberapa menit lagi bedug magrib akan di pukul oleh
santri-santri yang mondok di dekat masjid paling besar di kampung kami.
Duugg. Duuuruugg.
Duuuggg. Duuuuggg. Duugggg. Allahuakbar. Allahuakbar. Adzan magrib telah di
kumandangkan. Tanganku sudah mennyomot dua butir kurma sebelum aku menyantap
hidangan lainnya.
“Jangan lupa baca doa
dulu Suf.” Ibu mengingatkanku, takut-takut aku lupa karena tak sabar mencicipi
hidangan di atas meja makan.
“Allahuma Lakasumtu
Wabik’amantu Wa’ala Rizkika Abtortu Birrohmatika Ya Arhama Rohimin.” Dengan di
sengaja aku lantang membaca doanya dengan kedua tangan yang ditengadahkan,
setelah itu mengucap ‘Amin’ sambil mengusap wajahku.
Ibu tersenyum melihat
kelakuanku. Dia menyerahkan segelas es cingcau segar padaku. Kak Irma, Kak Ismi
dan Kak Andi sudah menyinduk nasi yang masih mengepul di dalam sangku, memenuhi
piring mereka dengan lauk pauk, sayur asam, sambal dan lalapan daun singkong
yang begitu menggoda. Aku yang tidak mau kehabisan, langsung meneguk es cingcau
hingga tetes terakhir menyisakan gelas yang kosong melompong. Ruang makan ramai
oleh dentingan gelas, sendok dan garpu. Setiap bulan ramadhan adalah momen yang
paling menyenangkan di keluarga kami, kapan lagi kami semua memiliki jadwal
makan yang bersamaan di meja makan ? baik saat makan sahur dan berbuka puasa.
Hal ini cukup baik untuk saling mendekatkan kami satu sama lain, yang setiap
harinya mana ada kami makan bareng-bareng. Paling ya hanya sesekali saja.
Lauk yang ada di
piringku sudah tinggal tulang-tulangnya saja. Perutku sudah merasa penuh, dua
kali aku menyinduk nasi di sangku, menyeruput sayur asam yang segar dan nikmat
dipisah di mangkuk kecil.
“Yusuf, sudah makannya.
Nanti kau tidak bisa bangun dari bangku loh. Haha.” Ka Andi yang sudah dari
tadi mengambil air wudhu, mengenakan sarung dan koko hendak ke masjid, iseng menyikut
lenganku yang masih betah duduk di ruang meja makan. “Mau ke masjid bareng
kakak tidak.?” Tanya Kak Andi.
“Kak Andi duluan saja,
nanti Yusuf nyusul deh.” Jawabku yang masih sibuk menyeruput kuah sayur asam
buatan ibu memang tidak ada duanya. Kak Andi langsung berlalu meninggalkanku.
“Yusuf, kamu jangan
lama-lama makannya nanti waktu magribnya keburu habis. Sebentar lagi ayahmu
pulang dari masjid pasti mengomel melihat kamu masih duduk di ruang makan.”
Kata ibu mengingatkan.
Demi mendengar ibu yang
mengingatkan aku dengan ayah, aku langsung bergegas membujuk ibu untuk
mengantarku ke kamar mandi. Ayah memang tidak pernah ikut makan bersama dengan
kami, baik itu di bulan ramadhan atau pun di bulan-bulan biasa. Saat berbuka
puasa, dia hanya menyantap kurma dan satu gelas kolak saja dan langsung pergi
ke masjid, Setelah sholat magrib lalu balik lagi ke rumah dan baru makan nasi.
Maka dari itu, sehari-harinya kami jarang bercakap, saling cuek dengan
anak-anaknya.
“Ibu, ayolah antar
Yusuf ke kamar mandi. Yusuf takut bu.” Aku merengek, menarik-narik baju gamis
ibu yang sedang membereskan piring-piring dan gelas kotor.
“Aduh Yusuf tidak lihat
ibu sedang apa ? tidak ada hantu-hantu di bulan ramadhan Nak. Hantu-hantunya
sudah diikat oleh Allah.” Jelas ibu terlihat kerepotan.
“Makanya de, kamu
jangan lihat film-film hantu norak itu kalau kamu takut. Sok jago sih.” Kak
Irma keluar dari balik pintu kamarnya, meledekku. Aku memoyongkan bibirku,
sebal menatap Kak Irma.
Kemarin aku dan
teman-temanku, Adnan, Fatih dan Zidan menonton film hantu yang sedang jadi
trending topic di rumahnya Fatih. Aku kira tidak akan menimbulkan efek parno
yang berlebihan setelah melihatnya. Ternyata setelah melihat filmnya aku jadi
parno, takut kemana-mana sendirian, aku juga takut pergi ke kamar mandi
sendirian karena di dalam film yang ku tonton hantunya sering ada di kamar
mandi.
Pintu rumah terdengar
dibuka oleh seseorang, aku tahu itu pasti ayah. Aku langsung berlari ke arah
ibu. Menguntit di belakangnya. Kak Irma dan Kak Ismi sudah siap-siap mau sholat
terawih ke madrasah khusus perempuan. Di kampung kami sholat laki-laki dan
perempuan berbeda tempat, laki-laki sholat di mesjid besar dan perempuan di
madrasah tempat pengajian. Sholat secara terpisah dan imam yang berbeda.
Laki-laki dengan imam laki-laki dan perempuan dengan imam perempuan.
Ayah menatap tajam ke
arahku yang terus menguntit ibu. Sedangkan aku terus merengek ke ibu, enggan
pergi ke kamar mandi sendiri.
“Biar, jangan diantar.
Dasar anak manja. Ibunya juga sama saja terus manjain anaknya.” Kata ayah yang
sepertinya tahu apa yang sedang aku pinta ke ibu.
Ayolah, mendengar
suaranya saja aku sudah malas. Ibu tetap melayaninya dengan sabar, padahal dia
selalu disalah-salahkan terus oleh ayah. Aku tidak suka dengan kata-katanya
yang kasar. Aku tidak suka ayah. Hatiku terus berseteru. Andaikan aku bisa
meminta untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, aku akan meminta
untuk dilahirkan oleh ibu yang tidak memiliki suami yang seperti ayahku saat
ini. Sayangnya pilihan seperti tidak pernah ada.
Akhirnya aku memaksakan
pergi ke kamar mandi sendirian dengan terisak mendengar kata-kata yang keluar
dari mulut seorang ayah yang selalu saja berkata kasar. Aku menangis, sesegukan
di dalam kamar mandi. ibu hendak mengetuk pintu kamar mandi yang aku kunci.
Namun dari pintu dapur terdengar suara sesuatu terjatuh, berdebum di atas
lantai. Tangisanku sejenak terhenti. Aku diam mendengarkan apa yang terjadi.
Saat itu Kak Irma dan Kak Ismi menjerit memanggil ibu.
“Ibu…Ya Allah Ibu.”
Suara Kak Irma bergetar memanggil ibu dan terdengar suara derap kakinya ke arah
suara benda yang terjatuh itu.
“Ibuuuu!” Suara Kak
Ismi sudah bercampur dengan isak tangis. Aku masih diam di kamar mandi, menatap
diri sendiri di kaca yang menempel di dinding, bertanya dalam hati, ‘Apa yang
terjadi?’ aku langsung memutuskan untuk keluar masih keadaan belum berwudhu.
Aku lihat tubuh ibu
sudah terbaring di atas lantai. Dari kedua matanya sudah menjatuhkan beberapa
tetes airmata yang lembut mengalir di pipinya yang masih nampak terlihat muda
dan cantik. Kak Irma dan Kak Ismi sudah mendekap tubuh ibu, tetapi aku melihat
lelaki yang sedari kecil aku memanggil dia ayah, hanya melihat kejadian itu di
bawah pintu. Entahlah dia sepeti tidak merasa bersalah telah mendorong tubuh
ibu yang boleh jadi sangat lelah telah menyiapkan hidangan buka puasa untuk
kami. Aku tahu dia mendorong ibu dari Kak Irma yang terus berteriak menyalahkan
ayah.
“Ayah kenapa tega sekali
mendorong ibu, KENAPA.?” Wajah Kak Irma sudah memerah karena emosi. Dia berani
membentak ayah demi membela ibu. Airmatanya mengalir deras di pipinya yang
mulai panas, memerah.
Aku yang tidak tahu
kejadian pastinya seperti apa, sudah menjerit ketakutan, berteriak memanggil
ibu, memegang lengannya. Aku takut. Aku takut ibu meninggalkan kami. Tubuhnya
melemah. Aku tahu ini gara-gara ulahku yang ingin di antar ke kamar mandi oleh
ibu. Tapi yang tidak aku mengerti kenapa ayah melakukan semua ini ? padahal ibu
hanya ingin menenangkan aku yang sedang terisak di kamar mandi.
Dari balik kaca rumah
kami. Ibu Risma dan tetangga lainnya tengah mengintip ingin tahu apa yang
sedang terjadi, karena mereka mendengar kami berteriak dan menangis. Namun
mereka tidak berani masuk.
Ayah hanya diam melihat
kami yang merangkul tubuh lemah ibu. Ia juga tidak membantu ibu berdiri dari
lantai, hanya kami bertiga yang memapah tubuh lemah ibu ke kamar. Setelah itu
Kak Irma menyuruh aku mengambil air wudhu, aku menurut sambil berlalu pura-pura
tidak melihat ayah yang sedang meneruskan menghabiskan makanannya. Aku
berlari-lari kecil ke kamar ibu dan sholat di dalam. Kami berempat membiarkan
ayah sendirian di ruang makan.
Kak Irma, Kak Ismi dan
aku memutuskan untuk tidak pergi sholat terawih. Memilih menemani ibu yang
terbaring di atas kasur. Aku memijit-mijit lengan ibu.
“Harusnya kejadian ini
tidak terulang lagi, memalukan. Bu, kenapa ayah masih bersikap seperti itu.?”
Tanya Kak Ismi. Tangannya memijit lembut kaki ibu.
“Apa kita laporkan ke
polisi saja bu ? ini kekerasan dalam rumah tangga.” Kata Kak Irma menambahkan.
“Dia itu ayah kalian…”
Lirih ibu, “kalian tidak malu kalau punya ayah yang di penjara ? maafkanlah
ayah kalian Nak. Suatu hari nanti dia pasti berubah.” Airmata ibu mengalir,
membasahi bantal yang dia kenakan.
“Tapi bu, aku ingat
saat dia menyiramkan air panas ke tubuhku ketika aku berusia 6 tahun yang
merengek minta uang jajan pada ibu. Ibu juga memaafkannya. Tidakkah ibu terluka
melihat anak ibu di perlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.?” Tanya Kak
Ismi, terisak amat tertahan.
Aku baru tahu kalau Kak
Ismi pernah mengalami hal seperti itu. Pantas saja di bagian lengannya terlihat
kulit yang memerah, belang berbeda dengan kulit aslinya yang putih. Malam itu
dia bercerita kalau itu adalah bekas siraman air panas ayah padanya ketika usia
6 tahun. Aku tidak habis fikir kenapa ayah melakukan hal seperti itu. Ayah ?
masih pantaskan kau di panggil ayah oleh kami ?
“Hanya kau yang lebih
beruntung Yusuf. Menjadi anak bungsu, selalu ada yang menjagamu dari
kekerasaannya. Ada kakak-kakak dan ibumu yang selalu melindungimu.” Kata Kak
Irma. Dia mengusap kedua ujung matanya. Terharu mengingat kejadian masalalunya.
“Ismi, ibu tentunya sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi
kau tahu sendiri kalau ibu terlalu baik, ya sangat terlalu baik untuk menjadi
istri ayah. Harusnya yang baik untuk yang baik bukan bu.?” Tanya Kak Irma
meneruskan kalimatnya. Aku hanya diam memerhatikan percakapan mereka sambil
terus memijit-mijit lengan ibu.
“Iya Irma, yang baik
memang untuk yang baik. Mungkin ayahmu baik untuk ibu di mata Allah Nak. Allah
Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Karena ayah, kalian bisa mengenal dunia
bukan.?” Jawab ibu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.
“Ibu memang ibu yang
paling baik di seluruh dunia.” Kataku, memuji ibu. “Maafkan Yusuf ya bu.?”
Mataku lamat-lamat menatap wajah ibu.
Seketika ibu tersenyum,
mengangguk padaku.
***
Tidak ada yang begitu
spesial dari kehidupan masa kecilku. Tidak ada sosok ayah yang selalu mengantar
jemput sekolah, tidak ada ayah yang menemaniku bermain, tidak ada ayah yang
selalu perhatian terhadap anak-anaknya. Dan aku baru menyadarinya saat umurku 9
tahun. Saat itu aku mulai membenci ayahku sendiri.
Hampir 10 tahun lamanya
hingga usiaku 19 tahun aku masih mengingat-ingat kejadian itu. Tubuh ibu dia
dorong tanpa peduli ibu sakit. Ibu memang tidak sakit parah bagian luar, tapi
aku tahu yang paling merasakan sakit yang teramat manyakitkan adalah hatinya. Namun
ibu adalah wanita yang paling cantik dan paling baik yang pernah aku kenal. Dia
tetap tegar menjalani semua ini, tetap melayani suami yang keras kepala, terus
menyakitinya. Tetapi entahlah ibu tetap yakin dengan kasih sayang dan doa yang dia
panjatkan kepada Allah akan mengubah watak ayah yang buruk.
Berbeda dengan diriku,
yang semakin tumbuh dewasa semakin mengerti kondisi setiap permasalah keluarga.
Kebencian itu terus tumbuh bersamaan dengan terus bertambahnya usiaku. “Ayah,
jangan salahkan aku kalau aku tidak pernah bangga memiliki seorang ayah.”
Kata-kata ini selalu berputar-putar dalam kepalaku, mengaduknya bersama racun
kebencianku pada ayah.
Aku selalu iri dengan
Adnan, Fatih dan Zidan yang memiliki ayah yang baik. Adnan yang selalu diantar
jemput oleh ayahnya sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas
meskipun di jemput dengan sepeda tua milik ayahnya namun itu terlihat
menyenangkan. Fatih, yang selalu kompak dengan ayahnya mencari belut di sawah,
memancing di sungai dan berbagai kegiatan lainnya. Ayahnya Fatih selalu
melibatkan hal-hal yang menyenangkan bersama anak-anaknya. Dan ayahnya Adnan
selalu bercerita tentang dongeng-dongeng dan cerita kehidupannya yang menarik
dan memberikan pemahaman baik. Dan jujur saja aku banyak belajar dari ayah
ketiga sahabatku itu.
Kebencianku pada ayah
sedikit menghilangkan ingatan tentang masa kecilku. Aku benar-benar tidak ingat
kalau dulu ayahku pernah memelukku atau tidak, pernah menggendongku atau tidak,
sekalian pun memang pernah entahlah aku tak mengingatnya. Tetapi 2 tahun yang
lalu ibu memberi ku sebuah foto yang sudah berjamur, menguning, di dalam foto
itu ada seorang anak kecil yang sedang tertawa riang di pangkuan ayah. Ibu
bercerita kalau itu aku, ya ibu sengaja memperlihatkan foto itu berusaha untuk
menghapus kebencianku pada ayah. Namun aku memutuskan untuk terus membencinya,
karena 10 tahun terakhir ini setelah kejadian itu ayah tetap belum bisa
berubah, tetap berbicara dengan nada yang selalu berteriak tetapi dia tetap
mengeles kalau cara bicaranya memang seperti itu, membentak, kasar dan
menakutkan. Tidak bisakah dia berbicara sopan dan lembut ? memuji atau merayu
ibu dengan kata-kata sayang ? aku tidak pernah melihat kemesraan itu di
keluargaku. Tidak pernah, dan ayah kenyataannya masih bersikap seperti itu
sampai aku tumbuh dewasa. Dan selama itu aku jarang sekali berbicara dengannya,
berbicara jika memang kalau ada keperluan, selebihnya aku mencuekkannya begitu
juga dengannya. Aku sangat jauh dengannya, aku lebih dekat dengan ibu. Tidak
aneh kalau setiap doa-doaku selalu aku panjatkan untuk ibu, semua kebaikan
untuk ibu, aku hanya sesekali saja mendoakannya jika kebencianku sedikit
mereda.
Beberapa bulan yang
lalu. Bulan suci ramadhan untuk ke 10 kalinya kebencian itu terus berkembang. Kini
aku sudah tidak terlalu memikirkan kebencianku pada ayah. Biarlah jika aku memiliki
masalalu yang buruk. Biarlah. Aku akan membayar masalalu yang buruk itu dengan
segala prestasi dan kerja kerasku sekarang. Toh selama ini aku masih bisa
berkembang menjadi anak yang baik. Mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah
satu universitas di negeriku ini. Semua itu aku persembahkan untuk ibu. Dengan
segala kesibukan kuliahku, sedikit melupakankan kebencianku pada ayah.
Sore harinya di bulan
suci ramadhan.
Di dalam kamarku aku
sedang mengetik naskah untuk aku jadikan novel keduaku setelah tahun lalu
novelku berhasil di bukukan dan terus beberapa kali di cetak ulang. Sambil
kuliah aku juga menekuni hobiku yang sudah menjadi cita-citaku sejak kelas 2
sekolah menengah pertama untuk menjadi seorang penulis. Suara dering telepon
menguapkan semua ideku di langit-langit kamar. Aku mendengus kesal, dengan
malas mengangkat telepon yang ada di atas tumpukan buku-bukuku yang berserakkan
di kamar.
“Assalamu’alaikum. Maaf
ini siapa ya.?” Aku bertanya karena nomor yang tertera tidak aku kenal.
“Wa’alaikumsalam Kak
Yusuf, ini aku Indri.” Jawab seseorang dari sebrang sana.
“Oh ya, ada apa
malam-malam begini telepon.?”
“Maaf Kak kalau Indri
ganggu kakak. Indri cuma mau bilang, besok tim dakwah kampus kita mengadakan
acara pesantren kilat dengan tema Amazing Ramadhan, dan akan melaksanakan acara
kemanusian juga bercerita tentang Palestina dengan menghadirkan syekh-syekh
langsung dari Palestinanya. Nah karena Kak Yusuf fasih berbicara dalam bahasa
mereka, semua panitia meminta Kak Yusuf untuk menjadi moderatornya. Bagaimana
?.”
“Loh, tidak coba
meminta bantuan para dosen untuk menjadi moderatornya ?.” tanyaku heran.
“Justru mereka
menyarankan kami untuk meminta bantuan Kak Yusuf.”
“Oh begitu, acaranya di
mulai dari jam berapa sampai jam berapa.?”
“Dari jam 9 pagi sampai
jam 4 sore Kak. Susunan acara dan segala persiapannya sudah kami siapkan. Kak
Yusuf tinggal langsung datang ke masjid kampus besok pagi.”
Akhirnya aku menutup
pembicaraan kami di telepon dengan menyetujui permintaan Indri untuk menjadi
moderator acara dakwah kampus.
***
Keesokan harinya.
“Kuliahmu tidak libur
Suf.?” Tanya ibu saat aku meminta izin pamit padanya yang sedang membersihkan
teras rumah.
“Libur bu, tapi
sekarang ada undangan dari anak-anak untuk ikut serta dalam acara mereka. Yusuf
pamit ya bu. Asslamu’alaikum.” Jawabku sambil mencium tempurung tangan kanan
ibu. Ibu mengusap ubun-ubunku dengan lembut kemudian seperti biasa saat melepas
kepergian anak-anaknya dengan sebuah pesan, ‘Hati-hati ya Nak’.
Aku melihat ayah sedang
memberi makan ayam-ayamnya di kebun. Aku memutuskan untuk langsung pamit tanpa
meminta izin padanya. Hal ini sudah biasa, setiap aku berangkat aku memang suka
mencium tangan ibu tapi aku tidak mencium tangan ayah, dia juga tidak bilang
apa-apa dengan sikapku yang jelas membedakan rasa hormat pada ibu dan
padanya. Saat aku mencium tangannya bisa
di hitung hanya beberapa kali dalam setahun, terutama saat hari idul fitri dan
perayaan-perayaan lainnya.
Pagi itu aku jalan dari
rumah menuju ujung gang lalu menunggu angkutan umum yang setiap hari melintas
jalan raya menuju kampus. Di jalan-jalan sudah sibuk dengan orang-orang yang
berlalu lalang, hari libur yang cerah di manfaatkan untuk jalan-jalan bersama
keluarga, kekasih dan teman-teman. Tak banyak juga karyawan yang lembur bekerja
di hari libur. Beberapa angkot masih mengetem di pinggir jalan, tak segera
melintas di depanku yang sudah menunggu 3 menit lamanya. Aku lihat anak-anak
yang sedang berlarian di atas trotoar saling kejar-kejaran dengan temannya, ada
juga yang iseng mengejar anak burung pipit yang sedang berjemur, hinggap di
bangku taman yang di tanam di atas trotoar jalan. Anak burung itu hanya bisa
meloncat-loncat kecil mencoba menghindar dari kejaran anak-anak yang iseng. Anak-anak
itu tertawa riang, fikiran yang bebas tak ada beban dan yang mereka fikirkan
hanya kesenangan dan main-main.
5 menit berlalu, ada
angkot yang melintas di depanku. Aku mencoba menyetopnya.
“Ke kampus ya Bang.” Kataku
yang melongo di jendela mobil sebelum masuk ke dalam.
“Ok Mas, masuk-masuk.”
Jawab supir angkot mengangguk, mempersilahkan.
Saat aku akan melangkah
masuk, ada seseorang yang berteriak memanggil namaku, seketika menghentikan
langkahku.
“Kak Yusuf mau ke
kampus kan ? bareng Indri saja Kak.” Kata Indri manawarkan. Ternyata Indri yang
memanggil namaku dan menghentikan motor maticnya tepat di belakang angkot yang
akan ku naiki.
“Eh.?” Aku ragu
menerima tawaran Indri, aku melihat supir angkot memasang muka masam padaku.
Indri yang tahu gelagatku langsung menarik lenganku menjauh dari pintu angkot.
“Tidak apa-apa ya Bang,
satu penumpangnya aku curi hehehe.” Indri tersenyum ramah. Supir angkot itu
sudah menancap gas melajukan mobil angkotnya, jauh meninggalkan kami yang masih
diam di pinggir jalan.
“Kak Yusuf saja yang
bawa motornya ya Dri, boleh.?” Tanyaku pada Indri.
Indri menolehkan
pandangannya padaku.
“Iya, boleh Kak. Pasti
Kakak malu ya kalau di boncengin cewek.?” Senyuman yang manis menyungging di
bibirnya, meledekku.
Aku hanya tersenyum,
mengangguk.
10 menit kami sampai di
kampus. Sudah banyak peserta pesantren kilat yang memenuhi masjid kampus. Aku
dan Indri langsung pergi ke ruang panitia dan di sambut ramah oleh tim dakwah
kampus. Mereka terlihat senang Indri berhasil membujukku untuk ikut serta dalam
acara mereka. Sebenarnya aku bukan anggota tim dakwah kampus tetapi karena
mereka disarankan oleh dosen untuk mengajakku dan aku pun tidak bisa menolak.
Aku mengenal Indri saat pertama kali masuk kuliah, namun hanya sekedar kenal
dan tak begitu dekat.
Sebelum acara di mulai,
semua panitia sibuk mengecek segala peralatan, hadiah, konsumsi dan mengecek
peserta yang ikut dalam acara pesantren kilat. Ternyata semua peserta tak hanya
mahasiswa dan mahasiswi kampus saja, mereka juga mengajak ibu-ibu pengajian
yang tinggal di sekitar kampus, anak-anak TK, SD, SMP hingga SMA.
Penanggung jawab acara
tersebut sudah memberikan beberapa susunan acara dan pidato pembuka acara
tersebut yang di hadiri oleh penanggung jawab tim dakwah kampus sekaligus dosen
kami Pak Ahmad Sanusi dan Bu Jannah sebagai perwakilan para dosen kampus. Aku
sudah mondar-mandir di masjid kampus, ikut merapikan barisan anak-anak SD yang
sedari tadi berlarian di dalam masjid. Panitia lainnya sibuk mengecek
mickropon, menata makanan di atas meja, mengangkut aqua botol yang akan di
bagikan, ada juga yang jadi dokumentasi sibuk jeprrett sana, jepreett sini
mengambil gambar yang bagus.
Dan acara akhirnya di
mulai. Perasaanku sedikit gugup melihat para peserta pesantren kilat yang
banyak hampir memenuhi masjid kampus, bagian anak-anak sengaja di pisahkan dari
anak remaja dan ibu-ibu, mereka di tempatkan di lantai atas. Seperti biasa
acara di mulai dengan sambutan-sambutan dari dosen, ketua pelaksana dan
perwakilan dari ibu-ibu pengajian. Ternyata acara yang diadakan begitu padat,
sambil menunggu tamu istimewa dari Palestina datang, panitia sudah menyiapkan
beberapa permainan, dan beberapa narasumber lainnya. Seperti seorang motivator
dan seorang aktivis.
Dalam mengisi
kekosongan waktu, para panitia mengadakan lomba sambung ayat dan lomba
hapalan-hapalan surat. Dan siapa yang memenangkan lomba itu tentu saja
mendapatkan bingkisan special dari panitia. Yang di ikut sertakan dalam lomba
hanya anak-anak SD dan SMP sedangkan SMA dan ibu-ibu pengajian hanya menonton,
duduk manis di atas karpet hijau, bersorak dan gregetan melihat anak-anak SD
dan SMP ketika lupa dengan ayat dari surat yang sedang mereka bacakan. Ada juga
yang terharu mendengar ayat-ayat yang dibacakan anak-anak dengan suara yang
melengking namun sangat menyentuh.
Suara takbir
menggemakan seluruh ruangan masjid ketika aku dan segenap panitia berseru.
Takbir!. Maka semua orang yang ada di masjid meneriakkan takbir yang membahana,
menggetarkan langit-langit masjid.
“ALLAHUAKBAR!”
Sudah hampir satu jam
berlalu. Panitia lainnya sudah memberikan kode kedipan padaku untuk
menghentikan permainan, mengingat waktunya sudah habis dan akan di isi oleh
seorang aktivis setelah shalat dzuhur.
Saat itu kami semua di
berikan tontonan yang lucu dan memotivasi kami semua, tak heran kalau kami
semua tertawa bersamaan ketika melihat video-video lucu yang di pertontonkan. Kami
semua diberikan ilmu, beberapa tips untuk menjadi remaja yang kreatif dan
inovatif.
Setelah
acara kami di selingi dengan acara sholat dzuhur bersama dan tadarusan. Para
peserta pesanren kilat di bimbing oleh satu panitia untuk membaca ayat Al-Qur’an.
Beberapa anak-anak SD lantang membacakan surat-surat pendek dengan serempak,
lantang dan penuh semangat meramaikan suasana masjid. Dari halaman masjid,
hujan deras mengguyur membasahi rumput-rumput masjid dan sekelilingnya. Acara
kami mulai kembali.
“Baik, untuk seluruh
peserta pesantren kilat Amazing Ramadhan acaranya kita mulai kembali. Untuk
peserta yang masih memandang hujan di luar dipersilahkan untuk masuk kembali ke
dalam masjid.” Suaraku memecah keramaian baik di dalam masjid maupun di luar
masjid. Anak-anak yang sedang berlarian langsung mencari posisi duduk yang
nyaman, bersandar pada tiang-tiang masjid. Mengisi pojokan dan tempat yang
dekat dengan jendela. Berhimpit-himpitan.
“Ayo yang depan dulu di
isi.” Kataku. Mengatur barisan yang masih acak-acakan, numpuk di belakang dan
yang depan dibiarkan kosong.
“Ayo anak-anak SD
sekarang bergabung, kalian isi barisan paling depan. Ayo.!” Seru panitia yang
sibuk mengiring anak-anak ke barisan depan.
Lima belas menit kami
mengatur barisan supaya terlihat rapi.
“Kalian masih
semangat.?” Tanyaku saat memulai acaranya kembali.
“MASIH KAK.!” Jawaban
serempak dari semua peserta.
“Ah kurang semangat, masih
ada yang tidur-tiduran, menyender ke tiang-tiang dan dinding. Ayo kita takbir
biar tambah semangat ya.” Kata Indri yang tiba-tiba membantuku untuk memandu
acaranya. Dia tersenyum melihatku. Aku hanya mengangguk, membalas senyumannya.
“Takbir.!” Seruku.
“ALLAHUAKBAR.!”
“sekali lagi, jawab
yang lebih keras dan lebih bersemangat. TAKBIR.!”
“ALLAHUAKBAR.!”
Seruan takbir semua
peserta begitu bersemangat, menyamarkan suara air hujan yang deras di luar
masjid. Seorang narasumber yang seorang aktivis sudah siap untuk memberikan
cerita dari pengalamannya menjadi seorang aktivis atau memberikan kami
benih-benih motivasi lagi. Entahlah. Ini acara ketiga untuk menyambut
kedatangan syekh dari Palestina yang belum juga terlihat di lokasi.
Satu jam berlalu. Aktivis
itu hanya membahas semua prestasinya sedari kecil hingga sekarang. Dengan
bangganya menjelaskan satu persatu prestasi yang telah dia raih meskipun
tahunnya sudah terlewat lampau. Sampai-sampai saat dia mendapat juara tujuh
belas agustusan saja dia bahas. Satu jam yang membosankan. Jujur saja aku
kurang suka dengan orang yang membangga-banggakan prestasi di masalalunya,
terlihat sekali seperti orang yang tidak percaya diri dengan memanfaatkan
prestasi-prestasinya untuk menarik perhatian. Dari peserta saja sudah banyak
yang menguap, selonjoran dan bahkan anak-anak SD yang di depan saja tiduran
karena bosan, kehilangan semangat. Waktu yang diberikan untuk seorang aktivis
itu sampai dua jam. Kalau suasananya begini terus lama kelamaan peserta
diam-diam pada pulang atau bahkan ketiduran.
Hujan semakin deras
mengguyur, sesekali suara petir menyambar, sinarnya menyala berkelebat memantul
hingga ke dalam masjid. Suasana agak sedikit menyenangkan karena seorang
aktivis itu mulai berinteraksi dengan pesertanya, memandu kita untuk bermain
game ala aktivis lebih tepatnya melatih kita untuk konsentrasi sebelum dia
benar-benar memulai materi. Anak-anak SD menyambut begitu antusias. Anak-anak
SMP dan SMA malas-malasan menuruti perintahnya. Setelah itu materi ia berikan,
dia membahas kegiatan seorang aktivis yang sudah dia kerjakan. Tak hanya itu
dia juga membuat sebuah grup untuk penggalangan dana bagi masyarakat yang membutuhkan
bantuan. Mendirikan sanggar-sanggar untuk anak jalanan dan berbagai program
kerja lainnya. Dia berhasil menarik perhatian peserta dan membuat peserta
ber-‘Wah’, kagum dengan kegiatan-kegiatan yang di lakukan seorang aktivis.
Di akhir acara, aku tidak
menyangka kalau akan ada acara renungan setelah mendengarkan materi yang cukup
membosankan. Kami semua yang ada di seluruh masjid berdiri dari tempat duduk,
menundukan kepala, memejamkan mata dan siap mendengarkan sebuah renungan yang
akan di komandoi oleh seorang aktivis itu. Hal seperti ini biasanya akan
menguras air mata, memanggil jiwa kita dan membuka hati yang telah lama
tertutup. Ini sebuah pencerahan, aku juga ikut menundukan kepala.
Sebuah gambar kematian
menjadi pembuka sebuah renungan. Menggambarkan tentang kita yang sedang
sakaratul maut. Lagu yang menjadi pengiring renungan pun lembut terdengar
menyatu dengan keadaan, mengombang-ambingkan perasaan. Melukiskan imajinasi
yang menyedihkan dan menyeramkan. Beberapa menit berlalu sudah terdengar isak
tangis peserta yang begitu menghayati renungan, tangan-tangan mereka sudah
merogok kantung baju dan tas mereka hendak mengambil sebuah tissue. Tak terasa
renungan itu sedikit demi sedikit telah membuka mata hatiku, tetesan air mata
membahasi pipi ketika seorang aktivis itu menggambarkan sebuah kematian seorang
ibu. Aku langsung teringat ibu di rumah. Membayangkan saat aku pulang dari
acara ini melihat ibu yang sudah di bungkus dengan kain kafan membungkus
tubuhnya yang mungil. Tak terlihat lagi senyum di wajahnya yang kini telah
pucat. Ketika aku tak bisa lagi mencium kedua tangannya. Renungan tentang ibu
sering aku dengar, aku juga sering larut di dalamnya. Membayangkan tubuh ibu
yang terkujur kaku, membeku. Dalam tangisku, aku mencoba menepis perkataan
aktivis itu yang terus membawa imajinasi kami ke dalam kesedihan. Ada peserta
yang langsung terduduk, tidak tahan menangis tersedu-sedu memanggil ibunya. Aku
yang masih menangis dan memejamkan mata, menggeleng-gelengkan kepala. Aku
membentak imajinasi, berseru tidak mau gambaran yang ada di kepalaku itu
terjadi. Kematian ibu.
Aktivis itu tak
henti-hentinya terus menguras airmata kami. Menjerumuskan kami dalam kesedihan.
Kini dia menggambarkan sosok ayah. Ayah ? aku rasa aku tidak akan menangis
untuknya, aku bisa menghentikan tangisanku. Aku rasa selama hidupku aku belum
pernah menangis untuknya, yang ada hanya menangis karenanya. Karena bentakannya
dan karena hal menyakitkan yang disebabkan olehnya. Mungkin hal itu karena
kebencianku padanya, aku tidak pernah menangis di dalam doa untuknya, aku lebih
mendominasikan doaku untuk ibu dan selalu menangis untuknya di banding harus
menangis untuk ayah yang aku benci selama 10 tahun ini. Tidak. Aku tidak akan
menangis untuknya.
Kapan terakhir kali aku
memeluk ayah ? kapan terakhir kali aku mencium tangannya ? bermain, bercanda
bersamanya, saling bertegur sapa. Dan kapan, kapan terakhir ayah bilang kalau
dia menyayangi aku, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.? Sialnya aku tidak bisa
mengelak, batinku sudah menangisi sosok ayah untuk pertama kalinya yang entah
kenapa aku begitu saja mudah terpancing untuk meneteskan airmata. Aku mengigit
bibir yang bergetar, masih tidak menyangka kalau aku bisa menangis untuknya.
Untuk seorang ayah yang selama ini aku benci. Entah kenapa hatiku seketika
memberikan maaf untuk kesalahan-kesalahannya di masalalu. Aku membayangkan aku
ingin berada dalam pelukannya yang hangat, mencium tangannya seperti aku
menghormati ibu. Aku ingin banyak berbicara dengannya yang selama ini aku hanya
bisa ungkapkan hanya lewat barisan kata yang tak pernah aku ucap, hanya aku
abadikan kepedihan hatiku itu dalam sebuah diary yang sudah penuh dengan
kata-kata kebencianku padanya.
Ayah, aku tahu. Mungkin
kami, anak-anakmu yang bebal saja sering mempertanyakan keadilan Tuhan tentang
mengapa kami di lahirkan sebagai anak yang memiliki ayah sepertimu. Kami sibuk
mengutuk dan mempersalahkan keadaan. Bertanya apakah Tuhan benar-benar adil ?
Renungan itu berakhir
saat syekh dari Palestina tiba. Indri yang melihatku menangis memberikan
selembar tissue padaku. Aku membayangkan wajahku yang sembab seusai menangis.
Malu-malu menerima selembar tissue dari Indri. Dengan gesit aku langsung menyibakkan
airmata yang masih tersisa membendungi pelupuk mata.
2 jam berlalu bersama
para syekh Palestina menjadi pengalaman yang tidak akan aku lupakan bisa
bercakap dengan mereka dan diberikan kesempatan untuk berfoto bersama. Selesai
acara aku langsung pamit pulang, izin tidak bisa ikut beres-beres semuanya. Aku
ingin cepat pulang, mengingat renungan tadi aku ingin segera bertemu dengan
ayah, mencium lengannya seraya meminta maaf padanya karena sikapku selama ini
membenci dirinya. Dari kampus aku langsung naik kendaraan umum. Rasanya resah
sekali saat angkutan umum yang ku naiki lamban sekali tiba di gang rumah, terjebak
macet. Aku memutuskan untuk turun dari angkot, lalu memilih untuk naik ojeg
sampai rumah. Bibirku bergetar menahan tangisan yang aku tahan, aku menyuruh
abang tukang ojeg ngebut dan nyalip sisi mobil yang tidak maju-maju.
“Ayo Bang ngebut saja.
Aku tidak apa-apa ko. Biar cepat sampai rumah nih.” Seruku pada abang tukang
ojeg.
“Bener nih Mas tidak
apa-apa aku ajak ngebut.?” Tanyanya sedikit ragu.
Aku hanya menganguk
yakin.
Seketika motornya
langsung melesat cepat, meliuk-liuk di jalanan mencari celah yang kosong. Air
di kubangan muncrat mengotori roda motor. Jalanan sedikit licin karena guyuran
air hujan. Dan entah kenapa motor yang kunaiki limbung saat mencoba menghindar
dari batu besar yang tertancap di pinggir jalan. Abang tukang ojeg tidak bisa
menyeimbangkan keadaannya. Dan kecelakaan itu tidak bisa terelakkan lagi. Aku
bersama tukang ojeg menubruk trotoar jalan, tumbuhku terbanting hingga 2 meter
dan langsung tidak sadarkan diri. Entahlah aku tidak tahu nasib tukang ojeg
yang aku ajak menantang maut itu seperti apa keadaannya.
***
1 minggu berlalu.
Kini aku menjalani
hari-hariku dengan amat berbeda. Aku melihat dunia amatlah gelap, tidak ada
cahaya dan keindahan alam yang bisa aku lihat. Bahkan aku tidak bisa menarikan
jari-jariku di atas keyboard. Kecelakaan itu telah mengambil panca indraku yang
amat penting. Aku mengalami kebutaan total. Entah benda apa yang masuk ke
mataku saat terjadi kecelakaan itu. Dokter tidak bisa banyak membantu. Aku
nyaris kehilangan semangat hidup. Aku hanya menatap dunia yang gelap, lenggang
tak ada cahaya yang bisa menuntun. Aku tidak tahu apakah ini sebuah azab karena
aku telah membenci ayah atau karena keimananku sedang di uji dengan di
hilangkannya panca indraku.
Tetapi Tuhan tidak
pernah lupa untuk selalu memberi hikmah dari suatu peristiwa menyakitkan yang
di alami oleh hambanya. Kebutaanku mampu membuka mata hati ayah. Saat aku
menangis untuk pertama kalinya. Ayah mendekapku, aku hanya bisa mendengar isak
tangisnya. Aku sentuh pipinya yang basah. ‘Ayah engkau menangis untukku ?’,
tanya hatiku. Perasaanku seperti tertikam beribu belati, amat perih. Begitu
menyesal atas semua rasa kebencianku selama ini pada ayah.
Saat di rumah sakit,
aku berbincang dengan ayah setelah sekian lama kami tidak berbicara.
“Ayah, maafkan kelakuan
Yusuf selama ini sudah membenci Ayah. Maafkan aku…” Kataku, meraba-raba wajah
ayah dengan kedua tanganku. “ayah janji sama Yusuf, jangan kasar-kasar lagi
sama ibu, jangan membentak ibu, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.” Airmata yang
hangat mengalir di pipiku.
“Harusnya ayah yang
minta maaf padamu Suf, pada ibu dan pada kakak-kakakmu. Ayah yang keras kepala
dan tidak peduli dengan anak-anaknya. Ayah yang buru…”
“Sudah Ayah. Kami sudah
memaafkan kesalahan Ayah. Sedari kecil Yusuf ingin merasakan pelukan Ayah.”
Kata Kak Andi memotong pengakuan ayah.
Dan saat itulah. Di
usiaku yang ke-19 tahun aku merasakan pelukan ayah yang begitu hangat, badannya
bergetar karena terisak. Aku merasa bersyukur, tidak apa-apa Allah mengambil
salah satu panca indraku dan menggantikannya dengan nikmat kebahagiaan yang
lebih dari sekedar nikmat melihat.
1 bulan berlalu. Ayah
meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tahu kalau ayah
meninggal karena sakit TBC stadium 4. Ayah begitu rapih menyembunyikan
penyakitnya. Hanya saat itu ayah ketahuan sejak memasak bubur untuk dirinya
sendiri tanpa meminta bantuan ibu atau Kak Irma dan Kak Ismi. Ayah menanggung
semuanya sendirian, tanpa ingin merepotkan kami. Saat itu ayah mendonorkan
kedua matanya untukku. Dia rela kedua matanya di ambil, untuk menebus kesalahan
yang dia perbuat di masalalu. Akhirnya aku bisa melihat dunia dengan kedua mata
ayah. Semua itu sudah menghapus rasa kebencianku padanya. Dan kini meskipun ini
amatlah terlambat, aku ingin mengatakan kalau aku bangga memiliki seorang ayah.
Dengan matanya aku akan lebih banyak menangis lagi untuknya. Dan kalian yang
masih memiliki seorang ayah, bergegaslah, lari padanya dan katakan. KALIAN
BANGGA MEMILIKI SEORANG AYAH.
TAMAT
*Rencanany cerita ini akan aku buat novel dan akan memakai ending yang berbeda dengan ini. Doakan ya :)
LABIRIN RINDU
Sekian lama melukis rindu
Diantara jarak yang membeku
Memupuk rindu dengan wajah tersipu malu
Selalu bertumpuk tak pernah layu
Aku dan Kamu membentuk ruang rindu
Diantara jarak yang kadang membuat kita ragu
Saat aku ingin berlagu rindu
Engkau bilang tunggu di batas waktu
Jika rindu berpendapat
Ingin cepat sekali ia merapat
Dengan membawa bongkahan rindu bak emas yang mengkilat
Bak pujangga gagah membawa sejuta puisi hebat
Namun engkau memilih membangun ruang rindu yang berbeda
Membangun sebuah labirin istana
Labirin yang ditumpuk dengan beribu rindu kita
Ruang untuk kita bersua
Sampai jumpa di labirin rindu
Menatap wajah yang tersipu malu
Tempat yang tepat untuk bertemu
Sejenak bibir pun akan merasa kelu
-Senja Hujan
APA YANG HARUS AKU TUNGGU ?
Saat semuanya sudah teramat melelahkan
Saat angin sudah melayangkan angan
Saat hujan tak lagi memberikan kenangan
Saat mentari tak lagi berteman
Apa yang harus aku tunggu ?
Bintang seakan sudah meredup
Dan ia berkata sudah cukup
Membuat hatiku kuyup
Dan hanya kekecewaan yang mengecup
- Senja Hujan, 27092013.
MENTARI DI ATAS AIR
Pagi ini terlihat cerah dari hari kemarin
Tak ada kabut hitam yang menyelimuti mentari pagi
Cahaya mentari masuk melewati celah jendela yang terbuka
Menerpa wajahku yang membeku terhempas kabut pagi
Aku siap menjemput mimpi
Aku siap jika arah yang ku lalui akan banyak melukai
Aku melihat mimpi itu amat dekat
Seperti aku melihat mentari di atas air
Mentari itu amatlah dekat
Terlukis di atas air yang hangat
Seperti mimpi yang tiada pernah tamat
Aku melihat semua yang aku impikan amatlah dekat
Melihat impianku seperti melihat mentari di atas air
Yang begitu dekat dan begitu hangat
*20 September
Tak ada kabut hitam yang menyelimuti mentari pagi
Cahaya mentari masuk melewati celah jendela yang terbuka
Menerpa wajahku yang membeku terhempas kabut pagi
Aku siap menjemput mimpi
Aku siap jika arah yang ku lalui akan banyak melukai
Aku melihat mimpi itu amat dekat
Seperti aku melihat mentari di atas air
Mentari itu amatlah dekat
Terlukis di atas air yang hangat
Seperti mimpi yang tiada pernah tamat
Aku melihat semua yang aku impikan amatlah dekat
Melihat impianku seperti melihat mentari di atas air
Yang begitu dekat dan begitu hangat
*20 September
Awan Hitam Perusak
Pergilah, kau hanya menggelapkan hidupku
Pergilah, kau hanya mengusik hatiku
Hilangkan keyakinan di dalam diriku
Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?
Hilangkan rasa sakit dan kelamnya masalalu
Hilangkan kegundahan dalam hatiku
Hilangkah awan hitam yang mengukung kehidupanku
Hilangkan ketakutan saat kau mendekapku
Awan hitam yang sangat pekat
Menciutkan semangat yang hebat
Mengusik luka lama yang berkarat
Menenggelamkan imajinasi yang berkelebat
Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?
19 September sekitar Kota Bogor
Pergilah, kau hanya mengusik hatiku
Hilangkan keyakinan di dalam diriku
Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?
Hilangkan rasa sakit dan kelamnya masalalu
Hilangkan kegundahan dalam hatiku
Hilangkah awan hitam yang mengukung kehidupanku
Hilangkan ketakutan saat kau mendekapku
Awan hitam yang sangat pekat
Menciutkan semangat yang hebat
Mengusik luka lama yang berkarat
Menenggelamkan imajinasi yang berkelebat
Haruskah aku panggil suku penguasa angin untuk menghempaskanmu ?
19 September sekitar Kota Bogor
Sabtu, 14 September 2013
HERO KINGDOM KURIYO
Ide cerita ini dibuat oleh seseorang yang terinspirasi oleh Al-chan ( Aku :D ), Naruto, Komik Hero dan The Movie Eragon.
Maaf kalau cerita yang aku tulis jelek atau tidak sesuai dengan idenya. :') mari kita baca. Here We Go. ! :)
Ide Cerita : Koza-Kun
Editor & Penulis Naskah : Al-Islamadina
Maaf kalau cerita yang aku tulis jelek atau tidak sesuai dengan idenya. :') mari kita baca. Here We Go. ! :)
Ide Cerita : Koza-Kun
Editor & Penulis Naskah : Al-Islamadina
Suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Koza
Koma. Dia mengalami hal yang aneh dimana ruhnya kembali ke masa lalu saat
kerajaan Kuriyo yang di pimpin oleh ratu yang cantik bernama Al-Islamadina.
“Aaawww
di-dimana aku.?” Seseorang sedang berlari ke arah Koza. Bruuuggggg. Mereka pun
bertabrakan.
“Heiii
kau tidak punya mata ya.?” Kata Putri Islamadina.
“Justru
kau yang tidak punya mata.” Koza terkaget melihat wanita yang cantik yang ada
di depannya.
“Kau
tidak tahu siapa aku hah.?” Bentak Putri.
“Memang
kau siapa ? seorang Putri kah ?.” Koza bertanya bego.
“Memang
aku seorang Putri!” jawabnya ketus.
“Heii
kau sedang mimpi ya ? di zaman ini tidak ada yang namanya Putri.” Koza menutup
mulutnya, menahan tawa.
Tiba-tiba
ada seorang laki-laki yang berpakaian seorang pengawal menghampiri, melihat
mereka berdua duduk diatas tanah.
“Hei
apa yang kau lakukan bodoh.” Katanya tegas, menatap tajam ke arah Koza. “kau
pencuri.?” Matanya menyelidik. Dengan penuh kecurigaan, pengawal itu langsung
menghantamkan pukulannya pada perut Koza, hingga Koza jatuh pingsan.
“Pengawaaaal.” Teriak
Putri.
“Ada
apa putri.?” Tanya salah seorang pengawal yang bernama Jiraya. Seorang pengawal
yang sudah uzur yang setia melayani Putri dan mengabdikan dirinya pada kerajaan
Kuriyo.
“Cepat
bawa dia pergi.” Serunya galak. Matanya menyorotkan tatapan yang tajam dan
tidak suka dengan laki-laki yang tak berdaya, tergeletak diatas tanah.
“Siap.”
Jiraya menurut. Sebelum Jiraya membawanya pergi, dia membangukan Koza terlebih
dahulu.
“Hei
bangun kau.” Gertak Jiraya. Akhinya Koza terbangun dari pingsannya. Kedua tangannya
mengucek-ngucek mata, seraya memegang perutnya dan berseru.
“Aduh
perutku.!” Keluhnya sambil memegang bagian perutnya yang terasa
berdenyut-denyut.
“Sebenarnya
kau berasal dari mana.?” Tanya putri Islamadina.
Koza baru tersadar,
putri yang tadi dia tabrak sudah berdiri tegak dihadapannya. Dia berdiri lalu
mengepuk-ngepuk bajunya yang kotor terkena tanah. Tak lama Koza pun menjawab
pertanyaan putri.
“Aku berasal dari
Jepang!” Kata Koza.
“Jepang mana.?” Tanya
putri yang keheranan. ‘Jepang, ah itu nama kerajaan.?‘ Batin putri
bertanya-tanya.
“Jepang itu sebuah
Negara yang memiliki teknologi yang sudah maju.” Jelas Koza. Putri hanya diam
menahan tawa.
“Kenapa kau tertawa.?
Ada yang aneh dengan jawabanku, hah.? Tanya Koza. Jelas dia bertanya seperti
itu, apanya yang lucu dari jawabannya.?
“Buuuugggghhhhh.” Sebelum putri menjawab
pertanyaannya, Dia dipukul pada bagian perutnya oleh pengawal.
“Jangan berkata tidak
sopan di depan putri.” Bentak Pengawal.
Beberapa menit Koza
meringis menahan rasa sakit pada perutnya. Sedangkan Jiraya dan Putri terus
mengamati setiap gerak-geriknya.
“Sepertinya dia adalah
orang yang diramalkan.” Kata Jiraya yang tiba-tiba menyimpulkan sesuatu yang
sejak tadi dia mencurigai pemuda aneh yang tiba-tiba datang ke kerajaan Kuriyo.
“Apa maksud kau
Jiraya.?” Tanya putri, seketika terkaget dengan apa yang baru saja Jiraya
katakan.
“Dia mungkin orang yang
akan menjadi tombak dalam perang kerajaan Putri melawan kerajaan Taring Merah
yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir ini.” Kata Jiraya. Penjelasannya
didengar oleh semua orang, sedangkan Koza hanya terdiam, bingung, tidak
mengerti apa yang dikatakan pengawal yang bernama Jiraya itu.
“Hah. Dia.? Pasti
bukan,” Jawab Putri tidak terima dengan apa yang dikatakan Jiraya. “kita belum
tahu kalau dia adalah yang diramalkan. Jadi maumu apa Jiraya.?” Tanya Putri
yang memang sepertinya ingin menentang pernyataan dari Jiraya.
Jiraya berfikir sejenak
sampai dia menemukan sebuah ide untuk memastikan apa yang dikatakannya itu
boleh jadi benar.
“Begini saja, kita
keluarkan benda itu. Bagaimana Putri.?” Tanya Jiraya meminta persetujuan Putri.
Putri tercengang
mendengar permintaan pengawalnya itu.
“Kau gila.! Bagaimana
kalau bukan dia.?” Telunjuk Putri tepat menunjuk didepan kening Koza. Koza
masih terheran-heran dengan pembicaraan Putri dan Jiraya. ‘Sebenarnya apa yang
sedang mereka bicarakan.?’ Setumpuk pertanyaan hinggap di kepala Koza. Namun
dia tetap memilih diam, kepalanya terus mengikut kearah seseorang yang sedang
berbicara. Dipalingkan kearah Putri, balik lagi ke Jiraya. Bolak-balik, kekiri
dan kekanan layaknya sedang menyaksikan pertandingan bulu tangkis yang setiap
pukulannya akan dilihat penonton dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke
kanan.
“Paling…” Jiraya
menggantungkan kata-katanya .
“Paling kenapa.?” Koza
yang sedari tadi terdiam, memilih angkat bicara.
“Kau akan mati.” Jawab
Jiraya.
Koza pun sweetdrop.
Tubuhnya melemah, sedikit bergetar menopang tubuh tipisnya.
“Keluarkan pedang Sagenya,
cepat.!” Seru Putri pada Jiraya. Pedang Sage adalah pedang sakti dari neraka,
yang bisa membuktikan kalau Koza adalah orang yang diramalkan untuk menjadi
kesatria kerajaan Kuriyo.
“Baik Putri.”
Jiraya pun langsung
mengeluarkan pedang Sagenya. “Ini peganglah!” serunya, sambil memberikan pegang
itu pada Koza. Tak menunggu seruan untuk kedua kalinya, Koza pun menurut untuk
memegang pedang itu.
“Kyaaaaaaaaa.” Teriak
Koza.
“Bagaimana.?” Tanya
Jiraya amat antusias.
“Tidak terasa apa-apa.”
Jawab Koza santai, memasangkan raut muka yang polos. Tangannya terus
membalik-balikan sisi pedang itu, matanya lamat-lamat memperhatikan pedang yang
sedang dia pegang.
“Buuuuuggggggghhhh.
Jangan membuat kami kaget atas tingkah bodohmu itu.” Pukulan ketiga pun
dilayangkan Jiraya kepada Koza.
Sriiiiiiiiiinngggggg.
Tiba-tiba pedang yang masih berada di tangan Koza itu memancarkan cahaya ke
atas langit. Cahayanya membelah langit-langit malam. Kemudian pedang itu
berbicara. “WAHAI KOZA. KAU ADALAH KESATRIA YANG TELAH KU TUNGGU-TUNGGU.” Kata
pedang itu. Lalu bersamaan dengan itu mutiara merah turun dari langit seperti
petir yang menyambar menimbulkan suara yang menggelegar. Sreeessss. Suara
mutiara itu ketika terjatuh.
“Waaaahhhhh.” Serentak,
semua yang ada disana matanya terbelalak melihat kejadian itu.
“Hebat.” Seru Jiraya
yang nampak senang.
Putri terlihat bengong
tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Bagaimana Putri.?”
Tanya Koza, memutus Putri yang beberapa menit masih terdiam.
Hening, tak ada
jawaban.
“Bagaimana Putri.?”
Koza bertanya untuk kedua kalinya, matanya berkedip nakal kearah Putri.
“Ka-kau adalah kesatria
yang diramalkan itu, pahlawan legenda. Benar-benar tidak bisa dipercaya.” Jawab
Putri dengan tergagap. Raut mukanya saja terlihat syok, terus bergumam tidak
mempercayai kejadian tersebut. Tapi apa boleh buat, pedang sage yang sakti itu
telah menunjukan kebenarannya, bahwa Koza adalah seorang kesatria yang telah
diramalkan sejak dua tahun silam. Dia benar-benar datang dari dunia yang
berbeda, ya Koza datang dari masa depan.
Putri langsung berlari
meninggalkan Koza dan Jiraya.
“Jiraya, kenapa Putri
pergi.?” Tanya Koza, heran.
“Putri tidak apa-apa,
hanya…” lagi-lagi si kakek tua bernama Jiraya itu menggantungkan kata-katanya.
“Hanya apa kakek.?”
Koza berseru kesal sekaligus penasaran.
“Dia akan menikah
denganmu.” Jawab Jiraya.
“A-a-apa.?” Koza sontak
terkaget, tidak percaya. “kau boho-“
Buuuuuggghhhh. Jiraya
sudah mengepalkan tanganya dan memukul Koza. Koza meringis, menahan rasa sakit
karena pukulannya.
“Kau pasti bilang itu.”
Keluh Jiraya.
Sementara di kamar
putri Islamadina tengah diselimuti awan kegalauan. Putri terus berseru, ‘Aku
tidak percaya akan menikah dengan si bodoh itu.’ Dirinya benar-benar belum bisa
menerima kenyataan.
Kini Koza sudah mulai
menjalani pelatihan-pelatihan untuk ikut tempur dalam peperangan.
Di ruang latihan.
“Aduh…, dasar kakek
tua. Seenaknya saja membuatku pingsan untuk kedua kalinya sejak aku menginjakan
kaki di kerajaan ini.” Gerutu Koza.
“Kau pasti tidak mau
menikah dengan Putri ya.?” Tanya Jiraya.
Sontak Koza terkaget.
‘Bagaimana dia bisa tahu.?’ Batin Koza berbicara.
“Yah aku memang tahu
kalau kau tidak mau menikahi Putri.” Jelas Jiraya, seperti tahu betul isi hati
Koza.
“Kalau kakek tahu,
kenapa Putri harus menikah dengan orang sepertiku. Sedangkan kalian tahu kalau
aku datang dari dunia yang berbeda.” Protes Koza.
“DIAM KAU KOZA.!”
Bentak Jiraya, “dengarkan aku Koza,..” intonasi bicaranya seketika berubah,
lembut dengan memasangkan muka yang amat serius, “mau tidak mau kau harus
menikahi Putri.”
“KENAPA.?” Teriak Koza.
Anak muda ini memang tidak tahu sopan santun sama orang tua. Untung Jiraya
tidak melayangkan pukulan lagi ke perutnya.
“Karena Putri adalah
kekuatan dari pedang ini dan dirimu.”
Koza pun terdiam dan
berfikir.
“Kenapa harus menikah ?
apakah aku harus jadi seorang pelayan yang taat dan patuh pada kerajaan ini.?”
“Kalau kau tidak menikahi
Putri atau Putri tidak mau menikah denganmu…” Jiraya diam, ragu-ragu
mengatakannya.
“Jangan menggantungkan
kata-katamu Kakek.!” Seru Koza.
“Kau dan Putri akan
mati.”
Degg. Jantung Koza
seperti akan terjatuh, berdebum keras hingga hancur saat mendarat diatas
lantai. Koza pun sweetdrop karena itu.
“Jadi kau harus mau
menikah dengan Putri Islamadina.” Kata Jiraya, menarik sebuah kesimpulan.
“I-i-itu bohong kan
Jiraya.?.” Seseorang keluar dari balik pintu, tiba-tiba melayangkan pertanyaan.
Dia adalah Putri yang sejak dari tadi mendengarkan pembicaraan Jiraya dengan
Koza, mengintip dari balik pintu.
“Pu-Pup-Putri
Islamadina.! Kenapa Putri ada disini.?” Dengan gagap Jiraya bertanya.
“A-aku hanya lewat. Dan
tidak sengaja mendengar percakapan kalian.” Wajah Putri memerah, merendam malu
karena saat itu melihat Koza hanya memakai celana pendek dan tidak memakai baju
atasan. Jiraya kemudian melihat ekspresi Putri yang seperti itu dan dia menyimpulkan
sesuatu didalam hatinya, ‘Kurasa Putri sudah mulai suka dengan Koza.’ Kata hati
Jiraya berbicara.
“Hei Koza.!” Seru
Jiraya.
Koza pun memalingkan
wajahnya kearah seruan Jiraya.
“Cepat kau antar Putri
jalan-jalan.” Perintah Jiraya. Putri kaget mendengar seruan Jiraya.
“Tidak mau.” Koza
mendengus, kesal. Memasangkan muka malas.
“Ini perintah. Kalau
kau tidak mau, akan ku penggal kelapamu itu.” Gertak Jiraya.
Dari situ Koza melihat
senyum Putri yang malu-malu melihatnya dibentak oleh Jiraya. Saat Koza menatap
Putri, Putri langsung menenggelamkan senyumnya. Mungkin dia malu.
Koza pun pasrah dengan
keadaan dengan menghela nafas yang panjang.
“Baiklah.” Akhirnya
Koza menyetujui dan mau mengajak Putri Islamadina jalan-jalan keluar istana
kerajaan.
“Hei Koza.!” Jiraya
kembali memanggil Koza. Yang dipanggil langsung membalikkan badannya.
“Ada apa lagi Kakek.?”
Koza bertanya kesal.
“Apakah kau mau
mengajak Putri jalan-jalan hanya menggunakan celana pendek dan tidak
menggunakan baju.?” Jiraya melihat geli pada Koza.
Sontak Koza pun melihat
ke bawah, memeriksa tubuhnya dan ternyata kakek Jiraya benar, Koza baru sadar
akan hal itu dan dia segera menggunakan baju kesatrianya yang telah disiapkan
kakek Jiraya selama dia tinggal di kerajaan Kuriyo. Baju jirah yang berwarna
hitam telah menutupi tubuh tipisnya, Koza nampak gagah dengan baju itu dan
terlihat seperti kesatria-kesatria yang kuat.
“Jangan lupa bawa
pedang Sage itu. Lalu besok kau ikut latihan selama dua minggu di hutan
kematian.” Jelas Jiraya mengingatkan Koza.
Putri hanya diam dan
sepertinya dia mulai menyukai Koza. Dan
nampak terlukis awan kesedihan pada raut wajahnya ketika calon suaminya akan
dibawa oleh kakek Jiraya ke hutan kematian.
***
Saat diperjalan Koza
dan Putri hanya diam dan sesekali mereka mencuri-curi pandangan dan ketika
pandangan mereka bertemu kedua pipi mereka bersemu merah. Malu-malu merekahkan
senyuman. Sampai akhirnya Koza yang memulai pembicaraan, memecahkan keheningan.
“Nama lengkapmu siapa ?
apa aku harus memanggilmu Putri saja, tanpa tahu nama aslimu.?” Tanya Koza
berbasa-basi.
Sebelum menjawab,
sejenak Putri hanya terdiam. Malu menjawab pertanyaan Koza.
“Namaku lengkapku Al-Islamadina,
terserah Koza-kun saja mau memanggilku apa.” Jawab Putri yang pipinya masih
bersemu merah.
Koza pun tersipu malu
karena dipanggil dengan iming-iming kun. Baru kali ini Putri memanggil Koza
dengan panggilan jepang berbuntut kun. Beberapa hari yang lalu, Putri memang
sempat bertanya banyak hal tentang tempat asal Koza. Koza bercerita banyak
tentang tempat asalnya bagai seorang pendongeng handal dia menceritakan tempat
muasalnya dan segala kecanggihan yang membuat Negaranya terkenal dengan Negara
yang berteknologi canggih. Dan salah
satunya dia bercerita tentang panggilan Kun itu.
“Kalau aku panggil
Al-chan, bagaimana.?” Tanya Koza.
Sang Putri hanya
mengangguk kecil, tanda setuju.
“Hmm kita cari makan
yuk.?” Tanya Koza yang sudah dari tadi perutnya berteriak minta dikasih makan.
“A-a-ayo.” Jawab Putri.
Mereka pun mencari
kedai makanan yang ada di pinggir-pinggir jalan. Koza yang belum tahu kedai
mana yang enak masakannya bertanya pada Putri Al-chan.
“Al-chan.!” Seru Koza.
Putri pun menolehkan
wajahnya pada Koza yang memanggil namanya.
“Iya, Koza-kun. Ada
apa.?”
“Aku belum tahu daerah
ini. Jadi menurut Al-chan dimana tempat kedai yang enak di daerah ini.?” Tanya
Koza.
Lalu Putri berfikir
sejenak dan sekitar satu menit tiga puluh detik otaknya seperti mendapatkan
penerangan dan menemukan jawabannya.
“Aku tahu, kita makan
di kedai Ichikaru saja. Di sana tersedia makanan lengkap khas daerah ini.”
Jawab Putri sumringah memperlihatkan gigi putihnya.
***
Suasana malam hari di
kerajaan Kuriyo.
Malam yang lenggang
penuh taburan bintang di atas langit. Koza memutuskan berjalan-jalan mengelilingi
kerajaan Kuriyo. Istana yang sunyi menyisakan pengawal-pengawal yang masih terjaga.
Tiba-tiba langkah kaki Koza terhenti saat mendengar isakkan tangis seorang
wanita yang ternyata Putri Al-chan di balik jendela singgasananya yang mungkin
sengaja ia buka. Koza pun pelan-pelan menghampiri Putri yang sedang menangis.
“Kau sedang apa Al-chan.?”
Tanya Koza yang sudah mengambil posisi duduk di sebelah Putri dengan memandang
bintang yang menghiasi langit malam kerajaan Kuriyo.
“Tidak apa-apa.” Jawab
Putri. Tangannya gesit menghapus sisa-sisa airmata yang menempel di pipinya.
“Kau tidak bisa
berbohong karena setegar apapun Putri jika ada beban fikiran atau ada perasaan
tidak enak mengusik dalam hatinya pastilah ia menangis.” Koza mencoba memancing
Putri agar bisa menjelaskan apa yang kini sedang ia rasakan sampai seorang
Putri meneteskan airmatanya.?
“Aku tidak mau
kehilanganmu, karena banyak orang yang mati setelah masuk hutan itu.” Tetesan
airmatanya tak terbendung, mengalir tak hanya membasahi pipinya, bahkan basah
hingga menyentuh bibirnya yang manis.
Koza pun langsung
memeluk Putri hingga bersandar di dada bidang Koza.
“Kau harus percaya
padaku kalau aku akan kembali.” Jawab Koza menenangkan. Tangannya sedikit
menyibakkan airmata yang ada di pipi Putri.
Putri terkaget
mendengar jawaban Koza, pipinya kembali bersemu merah dan tangannya memeluk
erat tubuh tipis Koza. Tidak mau melepaskan pelukan Koza.
“Berjanjilah padaku
Koza-kun.” Kata Putri dengan suara yang bergetar.
“Ya, itu janjiku
padamu.”
Dan malam itu menjadi
saksi bisu cinta mereka berdua.
***
Waktu sudah pagi. Cahaya
matahari mengintip melalui celah-celah dedaunan, menyapu lembut kabut dingin di
pagi hari. Setelah kejadian malam itu, tak disangka Koza dan Putri akan secepat
itu saling menjatuhkan hatinya.
“Hei apa kau sudah
siap.?” Tanya Jiraya, memastikan. Pagi ini Koza dan Jiraya akan berangkat ke
hutan kematian.
“Tunggu Kakek Jiraya.”
Koza mencoba menahan keberangkatan. Dia menunggu seseorang, hanya ingin
dilihatnya sebentar saja, wajahnya yang cantik menawan, bermata sendu, bibirnya
yang manis, aaaah dia tetap ingin melihatnya terlebih dahulu sebelum dia pergi.
Jiraya yang seperti
tahu apa yang sedang dirasakan Koza, hendak meledeknya.
“Apakah kau sudah bisa
mencintai Putri.?” Senyum jahil tersungging dibibir lelaki tua yang sudah mulai
keriput itu.
Dari arah kejauhan,
terlihat Putri sedang berlari ke arah pintu gerbang kerajaan. Dia hendak
memberikan sesuatu pada Koza.
“Koza, ini.” Tangan
Putri menyodorkan sesuatu kehadapan Koza. Kemudian Dia tersenyum manis,
terlihat amat tulus tidak seperti sebelumnya saat pertemuan pertama mereka.
“Apa ini Putri.?” Tanya
Koza. Heran menatap benda yang diberikan Putri padanya.
“Ini adalah jimat
pelindung untuk Koza-Kun.” Putri mengembangkan senyuman manisnya.
Jiraya yang melihat
mereka hanya menghela nafas bahagia.
“Hei Koza, cepatlah
kita pergi.” Teriak Jiraya, mengganggu pertemuan romantis mereka.
“Hmmm. Sepertinya
memang sudah waktunya kita berpisah.” Kata Koza sedikit tertahan.
Putri hanya diam,
menahan tangis yang seketika saja bisa buncah membanjiri pipinya lagi. Entah
kenapa dia bisa memiliki rasa takut kehilangan Koza. Padahal siapalah Koza ?
dia hanya lelaki yang baru saja hadir di kehidupannya. Beruntung airmata itu
masih bisa ditahan dikantung airmata. Putri mencoba tersenyum menutupi rasa
sedihnya.
“Hati-hati ya Koza-Kun.”
Dengan malu-malu Putri mengatakannya. Tatapannya tetap terpaku pada Koza.
“Ya. Tunggu aku ya. Aku
pergi.” Koza pamit. Melambaikan tangannya.
Putri menatap Koza,
melepas kepergiannya. Terpaku di tempat dia berdiri sampai punggung Koza hilang
di ujung jalan.
“Koza, kau mencintai
Putri Islamadina ya.?” Jiraya kembali jahil menanyakan pertanyaan yang tadi
Koza biarkan melambung-lambung di angkasa tanpa sebuah jawaban darinya.
Mendengar hal itu rona
pipi Koza bersemu merah, bagaikan kepiting rebus.
“Memang aku suka
Putri.” Jawab Koza mau mengakui apa yang sedang dirasakan hatinya. Dia jawab
dengan tidak malu-malu.
***
Tak terasa mereka sudah
menjejakkan kaki di tempat tujuan. Pepohonan yang menjulang tinggi berdaun amat
kering, semak belukar yang rimba, menghitamkan pandangan, lolongan binatang
buas membahanakan seluruh penjuru hutan.
“Kita sudah sampai.”
Kata Jiraya. Matanya menyelusuri sekeliling hutan seperti elang yang sedang
mencari tempat peraduan.
“Wah hebat.” Seru Koza.
Dia menyeringai, asik memandangi apa yang ada di hutan kematian. Tak seseram
dengan yang pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ingat ya, kau harus
berjalan menemui binatang buas untuk menjadi tungganganmu.”
“Maksudmu dengan
binatang buas yang seperti apa.?” Koza bergiding, sedikit ada perasaan takut
kalau dia harus menunggangi binatang buas.
“Aku juga tidak tahu.
Aku belum pernah masuk ke sini, tetapi menurut ramalan itu. Di hutan ini kau
akan menunggangi hewan buas, kau sendiri yang akan menjinakkannya, tunggangan
itu dikenal dengan tunggangan legenda, jadi kau akan mengetahuinya sendiri.”
Terang Jiraya.
Koza hanya
mengangguk-anggukan kepalanya, mendengarkan dengan takzim penjelasan dari
Jiraya.
“Koza aku peringatkan
kau…” penjelasan Jiraya tertahan. Dia memperlihatkan wajah yang serius.
“Ada apa Kakek.?” Tanya
Koza tak kalah serius.
“Kau tidak boleh takut
dengan binatang yang ada dalam hutan ini dan jangan kau bunuh satu ekor semut
pun.” Kata Jiraya menerangkan.
“Kenapa begitu.?”
“Karena jika kau membunuh binatang yang ada di sisni
kau tidak akan mendapatkan tunggangan legenda itu. Ah iya, kau juga jangan
berlari kebelakang ke gerbang hutan ini sebelum kau menemukan tungganganmu itu,
kau tidak boleh kembali sekali pun kau takut teruslah berjalan ke depan.”
“Baik Kek.” Jawab Koza
dengan penuh kesungguhan dan tekad yang menggebu untuk segera bertemu dengan
tunggangan yang diramalkan. Jika dia merasa takut, dia akan mengingat wajah
Putri Al-chan yang bisa membuat rasa takutnya hilang.
Tak beberapa lama
mereka pun sampai di tempat binatang buas yang akan di tunggangi Koza. Binatang
itu ternyata naga. Naga yang sangat besar, memiliki ekor yang runcing.
Tiba-tiba seekor naga itu terbang, menukik tajam ke arah Koza. Naga itu tidak
buas seperti rupanya, ia langsung jinak dengan memegang baju kesatria Koza yang
berwarna hitam.
“Wahai Koza
tunggangilah aku, aku sudah lama menunggumu.” Naga itu berbicara.
“Eh, baik. Namamu
siapa.” Tanya Koza ragu, ‘Naga yang bisa berbicara, dia pasti punya nama.’
Fikir Koza.
“Namaku Eragon. Kau
siap Koza ? kau akan berlatih menungganiku untuk persiapan perang melawan
kerajaan Taring Merah.”
Koza hanya menganguk,
mengiyakan. Wuuuusssssshhhhhhh. Eragon dan Koza melesat ke angkasa, angin yang
kencang berada dibawahnya menyeimbangkan sayap-sayap Eragon. Di langit luas,
mereka berputar-putar. Sesekali Koza berseru,’woooooooooo’ sedikit ketakutan.
Namun dia terus mencengram erat tanduk-tanduk Eragon yang amat kokoh menancap
di atas kepalanya. Jiraya yang melihat dari bawah sangat senang melihat
kejadian itu. ‘Memang dia kesatria yang kuat’ seru Jiraya pada Koza.
Saat Eragon mendarat di
atas tanah, tak terhitung banyaknya dedaunan yang tersapu bersih oleh kedua
sayapnya.
“Ini keren Eragon.”
Seru Koza.
“Eragon ditunggangi bukan
untuk main-main Koza. Kau dilatih untuk menjaga keseimbangan saat berada di
punggungnya.” Jiraya mengingatkan.
“Iya Kek.” Jawab Koza.
***
Akhirnya sudah dua
minggu Koza berada di hutan kematian menjinakkan seekor naga yang bernama
Eragon. Naga berwarna merah api yang gagah, tanduk-tanduknya yang kokoh dan
giginya yang tajam mampu sekali mencabik tubuh beruang menjadi hancur.
Suasana di Istana
kerajaan Kuriyo.
Betapa bahagianya Putri
melihat kepulangan Koza dengan selamat. Dia melihat Koza dan Jiraya menunggangi
seekor naga yang melintas di langit kerajaan Kuriyo. ‘Aku percaya padamu
Koza-kun.’
“Hai Putri Al-chan.”
Sapa Koza setelah mendarat dihalaman istana. Putri kagum meliihatnya.
“Ko-Koza-kun.” Gagap
Putri menyapa Koza. Bagaimana mungkin ia tidak bahagia, dua minggu dia memendam
rindu dan kekhawatiran pada Koza yang hanya bisa ia sampaikan rindunya pada
langit malam. Betapa ia ingin memeluk Koza dan melepas rindunya, namun karena
malunya Putri, ia tidak melakukannya.
“Siapakah wanita cantik
itu Koza.?” Tanya Eragon, ia diam bersebelahan dengan Koza.
“Dia adalah calon
istriku Eragon. Dia Putri Al-Islamadina.” Jawab Koza dengan tegas dan
menyeringai senang memanggil nama lengkap Putri. Putri yang mendengar itu hanya
menyimpulkan senyuman malu.
“Tuan Putri, maukah
engkau menunggangi saya.?” Eragon menawarkan.
“Ayo Putri.” Tangan
Koza sudah memegang tangan Putri, membujuknya agar Putri mau menerima ajakan
Eragon. Koza menatap Putri penuh harap sampai Putri mengangukan kepalanya.
Dengan sangat senang
Putri menaiki Eragon untuk pertama kalinya bersama Koza, ia terus memeluk
punggung Koza dengan erat. Koza menikmati pelukkan dari Putri, saat berada di
angkasa, Koza memikirkan sesuatu.
“Al-chan.” Panggil Koza
pada Putri.
Putri yang senang
mendengar Koza memanggilnya dengan Al-chan. Ia mendekatkan wajahnya sambil
tetap memeluk punggung Koza.
“Ada apa Koza-kun.?”
Tanya Putri.
Koza menghela nafas
panjang. Nampak sekali ada hal yang serius yang ingin dia katakan.
“ Putri, aku sudah
menepati janjiku yang pertama.” Putri langsung tersenyum bahagia, rona bahagia
di wajahnya tengah mengembang. Ia menjawab Koza hanya dengan anggukan. “lalu
aku ingin membuat janji kedua. Aku mau membuat janji seumur hidupku.” Kata
Koza, sangat serius. Eragon yang mendengarkan Tuannya tahu situasi dan hanya
memilih diam dan terus terbang di angkasa.
“Janji apa Koza-kun.?”
Koza menghela nafas
lagi dan mulai menerangkan.
“Maukah kau menikah
denganku.?” Tanya Koza. Lalu dia mengeluarkan sebuah kotak dari saku celananya
yang berisi berlian jamrud. Putri sontak kaget dan rona di pipinya memerah
bagaikan kepiting rebus.
“A-a-aku ma-mau.” Jawab
Putri, malu-malu. Dari kedua sisi matanya sedikit mengeluarkan airmata bahagia.
Lalu Koza memakaikan cincin itu di jari manis Putri Islamadina dan ketika
Eragon mendarat di atas tanah, Koza langsung memeluk Putri. Eragon hanya diam,
tidak mau mengganggu kemesraan tuannya.
“Besok kita akan
melaksanakan pesta pernikahan kita.” kata Koza sangat antusias. Putri
menyetujuinya.
***
Hari yang dinanti pun
akhirnya datang. Koza Koma dan Putri Islamadina pun menikah. Ini adalah awal
dari semuanya. Pernikahan ini akan menjadi kekuatan yang sangat kuat untuk
melawan kerajaan Taring Merah.
“Whheeeiiiiiiii.” Semua
bersorak sangat senang karena Putri dari Kuriyo menikah. Koza sangat tampan
dengan jubah kerajaan berwarna biru. Putri juga cantik dengan segala hiasan
kerajaan, gaun dan mahkota yang ia kenakan. Suasana pernikahan berlangsung
dengan hikmat dan di isi dengan acara-acara tradisi kerajaan, tarian-tarian
hingga aksi pertandingan pengawal-pengawal beradu kekuatan dan menujukan
keahlian mereka dalam berpedang.
Saat Koza dan Putri
berpegangan tangan tiba-tiba ada sebuah pedang muncul di tengah-tengah mereka,
pedang itu berwarna putih, menyala terang. “Sreeeeettt.” Suara pedang yang ada
di tengah-tengah keduanya. Dan seketika pedang sage milik Koza pun keluar
bercahaya merah darah dan menyala terang. Kedua pedang itu melambung di udara.
Jiraya langsung mengambil kedua pedang itu dan keadaannya normal kembali.
“Pedang itu keluar
juga.” Kata Jiraya sambil membolak-balikkan sisi pedang berwarna putih itu.
Koza dan Putri terheran-heran, lalu Koza memutuskan untuk mencari penjelasan
pada Jiraya dengan bertanya padanya.
“Pedang apa itu
Jiraya.?” Tanya Koza.
“Apakah itu
pedangnya.?” Putri juga ikut bertanya pada Jiraya. Jawaban Putri dijawab dengan
sekali anggukan oleh Jiraya.
“Maksud kamu apa
Al-chan.?” Tanya Koza kembali yang tadi pertanyaan dia diabaikan. Ia ingin
mencari penjelasan.
“Itu adalah pedang dari
Surga.” Jelas Putri.
“Apa hubungannya dengan
pedang Sage ini.?” Tanya Koza lagi.
“Jika pedang ini di
pakai secara bersamaan kita akan memenangkan perang.” Jawab Jiraya.
“Oh begitu.” Koza
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Lalu siapa yang akan
memegang pedang itu.?” Tanya Putri.
Jiraya kemudian menatap
Putri dan menghela nafas panjang.
“Sepertinya kau Putri.”
Kata Jiraya sambil memberikan pedang itu pada Putri. Putri langsung mengambil
pedang itu dari tangan Jiraya.
“Srrrrrriiiiiiiiiinnnggg.”
Pedang Surga itu berkilat memancarkan cahayanya lagi.
“BANGKITLAH WAHAI
PEDANG SURGA.” Teriak Putri sangat tegas.
Suasana kerajaan Taring
Merah.
“Mereka sedang
mengadakan pesta pernikahan Tuan. Apa kita akan menyerang sekarang ? tidak ada
waktu lagi Tuan, sebelum kedua pedang itu benar-benar menguatkan kerajaan
Kuriyo dan… dan kita akan kalah.” Kata seorang anak buah Taring Merah. Dia Nampak
cemas dengan berita Putri Islamadina dan Koza menikah.
“Aku juga sudah tidak
sabar ingin memenggal kepala pemuda dari masa depan itu. Dia datang hanya untuk
mengacau. Akan aku tebas tubuhnya hingga aku keluarkan isi perutnya dan
jantungnya akan aku jadikan makanan special untuk Orochimaru hahahahaha.” Jawab
Taring Merah yang sedang mengelus-elus mesra ular kesayangannya bernama
Orochimaru. “Kita kacaukan hari bahagia mereka.” Kata Taring merah melanjutkan
kalimatnya dengan mantap.
Berangkatlah pasukan
kerajaan Taring merah menuju kerajaan Kuriyo. Seketika langit kerajaan Kuriyo
menjadi gelap. Daun-daun berguguran berubah menjadi warna hitam, pepohonan mati
begitu saja, angin yang menerpa lebih kencang dari biasanya. Suara gemuruh, derap
kaki pasukan Taring Merah menggema, menggetarkan langit-langit kerajaan Kuriyo.
Dari arah gerbang kerajaan Kuriyo sudah terdengar suara pedang beradu. Jiraya yang
sudah tahu dengan apa yang terjadi langsung menarik tangan Koza.
“Ayo Koza, saatnya kau
tunjukan bahwa kau adalah kesatria legenda itu. Cepat panggil Eragon. Dan Putri,
sebaiknya kau bersembunyi dulu di tempat yang aman. Cepat!” Seru Jiraya.
“Ta-tapi Koza-kun…”
Putri ragu mendengar perintah Jiraya, dia tetap memegang tangan Koza, seperti
tidak mau dipisahkan.
“Dia harus bertarung
Putri, menyelamatkan kerajaan kita.” Jelas Jiraya.
“Aku ikut. Aku akan
mendampingi Koza-kun.” Jawab Putri, memaksa.
“Putri.?” Koza
tercengang mendengar jawaban Putri.
Jiraya menghela nafas
panjang, pasrah. Dia juga tidak bisa menolak permintaan Putri, mengingat dia
hanya seorang pengawal.
Wuuuuuusssshhhhhh.
Eragon datang mengepakan sayapnya yang besar. Taring Merah datang menyerang
dengan menunggangi Orochimaru. Ukuran Orochimaru sama besarnya dengan Eragon,
panah-panah kecil yang melesat tak mampu menembus ke tubuh dua binatang legenda
itu. Pedang Sage sudah di genggam erat oleh Koza.
“Serang Eragon!” Seru
Koza.
Eragon langsung terbang
menukik ke arah Taring Merah berada.
“Muntahkan bisa
mematikanmu Orochimaru.” Perintah Taring Merah, senyumnya menyungging
menganggap hal ini sangat mudah hanya melawan pemuda biasa. Tatapannya sangat
merendahkan Koza.
Byyyuuuurr. Bisa dari
taring Orochimaru menyembur pada Eragon. Seketika Eragon limbung, gerakan
sayapnya melemah sepertinya akan ada pendaratan kasar. Namun Eragon tetap
mempertahankan keseimbangannya.
“Kau baik-baik saja
Eragon ? Kau baik-baik saja kan.?” Tanya Koza mencemaskan keadaan Eragon.
“Aku baik-baik saja
Koza.” Jawab Eragon. Bisa Orochimaru masih tersisa menetes di permukaan
wajahnya. “Kau pegangan yang erat Koza. Kau siap menancapkan pedangmu di
ubun-ubun Taring Merah dan Orochimaru.?” Tanya Eragon. Sepertinya bisa itu
tidak terlalu menimbulkan efek yang buruk untuk Eragon, permukaan kulitnya yang
tebal boleh jadi tidak akan bisa menyerap bisa Orochimaru.
“Aku siap Eragon.” Jawab
Koza bersemangat.
Peperangan itu semakin memanas.
Koza dan Taring Merah terus beradu pedang. Ribuan anak panah di luncurkan. Beberapa
pasukan sudah tergeletak tak berdaya menjadi mayat-mayat yang berlumuran darah
yang masih hangat dan segar. Tubuh mereka sudah tidak berbentuk di cingcang
oleh pedang-pedang. Halaman kerajaan Kuriyo menjadi lautan darah. Pertahanan pasukan
Kuriyo mulai melemah, beberapa pasukan Taring Merah sudah mulai merangsek ke
dalam istana kerajaan. Terlihat Jiraya yang sedang kewalahan, dia di kepung
oleh lima orang sekaligus, menodongkan pedang yang runcing ke arahnya.
“Kalian cari mati
denganku. Hyaaaaatt.” Kata Jiraya sambil menebaskan pedangnya dengan gaya
sekali putaran, menebas perut kelima pasukan lawan. Usus-usus mereka menyembul
keluar, memuntahkan segala isi perutnya.
“Putri kita terpanah. PUTRI
TERPANAH.” Salah satu prajurit berteriak sangat kencang. Semua wajah tertoleh
ke arahnya. Terlihat Putri sudah disangga di atas lengannya. Anak panah itu menancap
tepat di jantung Putri.
Koza terkaget dan amat
terpukul mendengarnya. Ia langsung menyuruh Eragon untuk mendekat ke arah
Putri. Kesempatan seperti ini langsung di manfaatkan oleh Taring Merah dan
pasukanya yang terus kejam menikam.
“Pu-putri Al-chan.?” Bibir
Koza bergetar, bertanya. Dia mengusap kedua ujung matanya.
“Koza-kun.” Airmata Putri
sudah mengalir di pipinya. Suaranya serak menjawab, nafasnya sedikit tersengal.
Koza mengusap lembut
airmata Putri.
“Bertahanlah istriku.” Airmatanya
sudah tak terbendung lagi. “Aku akan mencabut panahnya, kau harus kuat.” Kata Koza.
Airmata Putri hangat menetes di salah satu lengan Koza.
Putri meringis menahan
rasa sakit. Setelah anak panahnya tercabut Koza langsung menggerang marah,
sorotan matanya tajam. Seketika itu Koza berubah, tubuhnya menyatu dengan
Eragon menjadi monster legenda. Kemarahannya tak bisa dikendalikan, monster
legenda mengobrak-abrikan peperangan menghantam apa saja yang ada di hadapanya.
Taring Merah tercengang melihatnya, beberapa pasukannya bergidig dan lari
terbirit-birit.
“Hadapi monster itu
pengecut.” Teriak Taring Merah pada pasukannya. Pasukannya tak menuruti
perintahnya. Tubuh mereka bergetar melihat monster legenda yang menakutkan. Sekali
hembusan api dari mulut monster itu bisa memasakkan puluhan daging manusia.
Akhirnya Taring Merah
yang menghadapi monster legenda dengan didampingi ular raksasanya bernama
Orochimaru itu.
Sorotan mata monster
legenda sangat memburu tajam kearah Taring Merah. Dari lubang hidungnya
terdengar suara dengusan nafas yang sangat panas dan kasar.
“Grrrrroooooooooooaaaaaaaaaa.”
Monster legenda berteriak. Tubuhnya yang besar langsung lari memburu Taring
Merah. Dengan satu kali gigitan mengunakan gigi-giginya yang tajam menikam
Orochimaru yang seketika tubuhnya jatuh berdebum keras di atas tanah, tak
berdaya. Hanya menyisakakan Taring Merah yang memegang erat-erat pedangnya. Dan
tak lama setelah itu, monster legenda langsung menyerang, mencabik-cabik tubuh
Taring Merah hingga hancur. Darah segar Taring Merah muncrat, sebagiannya sudah
mengalir membentuk kelokan di atas tanah.
Perang pun berakhir. Ribuan
tumpukkan mayat tergeletak tak beraturan. Langit kerajaan Kuriyo kembali
terang, matahari sudah mengintip di atas langit. Awan-awan hitam menipis dan
menghilang oleh hembusan angin.
***
Satu minggu berlalu
setelah peperangan antara kerajaan Kuriyo melawan kerajaan Taring Merah.
“Aku harus kembali ke
tempat asalku. Jepang.” Keluh Koza.
“Kau akan
meninggalkanku.?” Putri bertanya ketus.
“E-e-bukan begitu…”
jawab Koza, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Bingung mencari jawaban
dari pertanyaan Putri.
“Kau bisa mengajak
Putri ke tempat asalmu Koza.” Kata Jiraya yang tiba-tiba datang menengahi
pembicaraan mereka.
“Kakek tidak sedang
bergurau bukan ? bagaimana mungkin Putri bisa…”
Bruuuuuggg. Jiraya
memukul telak perut Koza. “Kau jangan membuat istri kau sedih Koza. Kau tega
sekali meninggalkan istri yang sedang hamil muda.”
“Apa? Putri hamil.?” Mata
bulat Koza terbelalak. “apa itu benar Putri.?” Tanya Koza.
Yang di tanya hanya
diam kemudian mengangguk kecil.
“Lantas bagaimana caranya
aku bisa kembali ke Jepang dan mengajak Putri ke sana Kek.?”
“Kalian bisa
menggunakan pedang Sage dan pedang dari surga itu untuk menembus waktu.” Jawab Jiraya.
“Benarkah.?” Tanya Koza
dan Putri hampir bersamaan. Jiraya mengangguk yakin.
Akhirnya Putri ikut
bersama Koza ke masa depan tempat dimana Koza tinggal. Mereka bisa pergi ke
masa depan dan masa lalu dengan menggunakan pedang Sage dan pedang surganya,
melewati batas waktu. Panah yang menancap ke jantung putri waktu itu tidak
terlalu dalam dan bisa disembuhkan oleh pedang surga. Dan Jiraya kemudian diangkat
menjadi seorang panglima kerajaan Kuriyo.
THE
END
Langganan:
Postingan (Atom)