Miss Kasih bacaan yah buat kalian pagi ini
silahkan di baca dan cermati
Menulis yang baik adalah sebuah perspektif yang sulit untuk
didefinisikan oleh banyak orang. Khususnya bagi mereka yang awam dalam
kepenulisan, minimal ia awam dalam kepembacaan. Karena itu setiap kali
muncul pernyataan tentang “menulis yang baik” kita tak bisa berkomentar
apa-apa. Beberapa orang masih memercayai bahwa menulis
adalah semata tentang esensi dan menafikkan tentang bentuk. Jika hal
ini termasuk dalam pemahaman kita, maka tidaklah berlebihan kalau kita
masih termasuk dalam golongan penulis dan pembaca awam.
Saya
analogikan seperti masakan. Kompetisi masak-memasak pernah marak di TV
swasta. Hal yang saya sukai dari acara ini adalah keberadaan
juri-jurinya yang—tentu saja—ahli pada bidangnya. Dengan pengetahuan,
pengalaman, dan sensitifitas yang mereka miliki, mereka bisa menilai
dengan objektif tentang seberapa baik masakan itu telah dibuat. Tentu
ada kriteria masing-masing untuk setiap jenis masakan dapat dikatakan
sudah dimasak dengan baik atau belum. Mulai dari pengolahan, pemotongan
bahan, lama memasak, banyaknya adonan atau bumbu, ada pula poin plus
jika peserta mampu memberikan inovasinya sendiri yang tidak mengubah
tujuan memasak, hingga ke masalah penyajian, dan beragam hal lain yang
saya tak cukup paham.
Saya awam dalam hal masak-memasak, pun
cecap-mencecap. Adalah hal yang sangat mungkin jika saya makan apa pun
jenis makanan yang saya suka ketika saya lapar. Saya tak akan peduli
dengan adonannya, seberapa imbang komposisi setiap bahan makanan itu,
berapa lama waktu yang mereka gunakan untuk memasak, begitu pula dengan
masalah penyajiannya. Saya sudah tahu rasa masakan itu dan saya tak
peduli hal lain kecuali membuat perut saya kenyang. Para ahli memasak
itu, mungkin akan mengernyit dahi hingga menggeleng-gelengkan kepala
(mungkin ia iba) jika ia melihat saya lahap memakan masakan
tertentu—yang bagi mereka tidak dimasak dengan baik dan benar. Kenapa
hal ini terjadi? Jawabannya, karena keberadaan ilmu. Ya, ahli memasak
telah memiliki ilmu tentang memasak yang tidak saya miliki. Oleh karena
itulah kemudian mereka memiliki standar sendiri untuk menilai suatu
masakan, dan jelas, mereka pun adalah pemasak yang baik.
Lalu
kembali ke masalah kepenulisan, bagaimana tulisan yang baik itu?
Selayaknya pemasak tadi, kita butuh pengetahuan, pengalaman, dan
sensitifitas dalam bidang kepenulisan itu sendiri. Minimal, kita adalah
pembaca yang baik. Paling tidak, jika pun kita tak mahir menulis, kita
mahir dalam membaca—artinya kita paham tentang standar sebuah tulisan
yang baik. Apalagi kalau kita mahir dalam menulis, maka otomatis kita
akan mahir dalam membaca.
Memberi kekuatan pada “pesan” yang ingin disampaikan
Tulisanmu adalah pikiranmu. Bagaimanapun proses menulis dan pemahamanmu
tentang menulis, kamu tidak bisa menafikkan bahwa apa yang kamu tulis
sebenarnya adalah apa yang ingin kamu sampaikan kepada pembaca. Jika
membahas artikel, kita tentu mudah memahami karena posisinya sendiri
sudah sangat kentara sebagai penyampai pesan. Coba kita lihat karya
sastra, bisa puisi, cerpen, atau novel. Tampaknya penulis sastra hanya
ingin ‘bermain-main’ dengan imajinasinya semata dengan menghadirkannya
dalam bentuk prosa. Tapi hal itu tidaklah tepat. Penulis sasta pun
sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu dalam karya-karyanya. Masalahnya,
sampaikah pesan itu kepada pembaca? Saya tidak ragu mengatakan bahwa
artikel dan esai yang “kentara” sebagai penyampai pesan pun, jika diolah
dengan buruk, bisa jadi pesan di dalamnya tidak sampai pada pemahaman
pembaca. Maka muncullah istilah “tulisan yang kering”, atau “tulisan
yang tawar”, karena tulisan itu tidak membekaskan apa-apa dibenak
pembacanya. Tulisan itu posisinya menjadi sama dengan buku pelajaran
yang dibaca sekali dan digunakan untuk menjawab soal ujian, kemudian
buku itu hilang entah ke mana (jujur saja, saya sering mengalami hal
ini).
Untuk menghindari kegagalan ini, penulis butuh fokus.
Kita hanya perlu menyampaikan hal-hal yang mendukung tujuan kepenulisan
kita, yaitu penyampaian pesan itu sendiri. Tidak perlu membicarakan
segala sesuatu yang melintas di kepala. Gunakan filter yang bersih untuk
menyaring ide. Bayangkan bahwa tujuan kita adalah membuat, misalnya,
“pembaca percaya dengan pemikiran kita”. Maka yang kita butuhkan adalah
paragraph-paragraf yang berisi ide, data, dan pemahaman yang menyeluruh
tentang hal itu alih-alih tampak memaksakan kehendak. Orang akan percaya
padamu jika kamu peduli dengan mereka, itu bisa menjadi premis yang
kita pakai saat memulai menulis dan kita pertahankan premin itu sampai
tulisan itu selesai (hal ini sangat membantumu untuk tetap fokus).
Kemudian pilihlah judul yang tepat untuk mewakili tulisanmu. Lain liga
jika pesan yang ingin kita sampaikan adalah, “betapa menderitanya
anak-anak palestina”, maka kita butuh banyak cerita-cerita yang
mendukung, data, dan kalimat-kalimat yang mengundang simpati.
Pesan dalam tulisanmu adalah pamungkas dari keseluruhan tulisanmu.
Ketika pembacamu mendapat energi untuk “bergerak” setelah membaca
tulisanmu, maka pesanmu sejatinya telah menancap di benaknya.
Miss aini
*L Elih Marliah menulislah apa yang ingin kamu sampaikan bukan menulis apa yang orang lain inginkan.
Al-Islamadina_Langit(1) :D
Hujan tidak hanya mampu menyamarkan airmataku ketika Aku menangis. Namun Hujan juga mampu membuat hatiku merasakan tenang dengan suara rintikan yang jatuh dari atas langit. Hujan selalu meredamkan amarah di hatiku bahkan mampu menghapus kebencian yang meradang di hatiku. Suasana Hujan yang selalu Aku rindukan, seperti katak yang selalu riang menyambut datangnya Hujan dengan menyanyikan nyanyian hujan. Tak peduli dengan gelegar petir yang menyambar, Aku tetap mengagumi Hujan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar