Hujan

Hujan
Sang Pengagum Hujan

Sabtu, 28 September 2013

TANGISAN PERTAMAKU UNTUK AYAH


Kenangan sepuluh tahun yang lalu terus tergambar jelas dalam ingatan, seperti film layar lebar yang kembali di putar untuk aku lihat. Sayang kenangan itu membuat aku semakin benci padanya. Sejak saat itu aku memutuskan untuk membencinya. Sosok ayah yang tidak dekat dengan anak-anaknya, bagiku dia sosok ayah yang hanya sedikit peduli pada anak-anaknya. Dia lebih suka diam atau membentak kami dan ibu. Dia ayah yang buruk, dia sendiri yang membuat kami menjauh darinya, sekedar menyapa atau berbicara pun anaknya enggan, takut dan malas. Aku tidak tahu penderitaan apa yang telah kakak-kakakku rasakan karena ulahnya yang pasti mereka pun sama bencinya denganku. 

            Kenangan sepuluh tahun yang lalu yang tidak bisa aku lupakan hingga sekarang. Saat itu aku masih berumur 9 tahun. Di bulan yang penuh berkah, bulan yang suci yaitu bulan ramadhan kami sekeluarga hendak berbuka puasa. Begitu banyak hidangan berbuka yang di sediakan ibu, ada kolak pisang, es cingcau, gorengan-gorengan, bubur sum-sum, dan tidak lupa ibu juga menyiapkan hidangan berbuka puasa yang di anjurkan oleh Rasul Allah, beberapa butir kurma yang ranum dan segar. Saat itu aku sedang sibuk menata jajanan yang aku kumpulkan dari siang untuk aku makan setelah hidangan berbuka puasa. Aku memang selalu memiliki kebiasaan seperti itu, mengumpulkan jajanan di sekolah untuk aku berbuka. Di ruang makan ibu sudah sibuk mondar-mandir ke dapur ke ruang makan mengangkut makanan yang akan di hidangkan, tinggal beberapa menit lagi bedug magrib akan di pukul oleh santri-santri yang mondok di dekat masjid paling besar di kampung kami. 

Duugg. Duuuruugg. Duuuggg. Duuuuggg. Duugggg. Allahuakbar. Allahuakbar. Adzan magrib telah di kumandangkan. Tanganku sudah mennyomot dua butir kurma sebelum aku menyantap hidangan lainnya. 

“Jangan lupa baca doa dulu Suf.” Ibu mengingatkanku, takut-takut aku lupa karena tak sabar mencicipi hidangan di atas meja makan.

“Allahuma Lakasumtu Wabik’amantu Wa’ala Rizkika Abtortu Birrohmatika Ya Arhama Rohimin.” Dengan di sengaja aku lantang membaca doanya dengan kedua tangan yang ditengadahkan, setelah itu mengucap ‘Amin’ sambil mengusap wajahku. 

Ibu tersenyum melihat kelakuanku. Dia menyerahkan segelas es cingcau segar padaku. Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi sudah menyinduk nasi yang masih mengepul di dalam sangku, memenuhi piring mereka dengan lauk pauk, sayur asam, sambal dan lalapan daun singkong yang begitu menggoda. Aku yang tidak mau kehabisan, langsung meneguk es cingcau hingga tetes terakhir menyisakan gelas yang kosong melompong. Ruang makan ramai oleh dentingan gelas, sendok dan garpu. Setiap bulan ramadhan adalah momen yang paling menyenangkan di keluarga kami, kapan lagi kami semua memiliki jadwal makan yang bersamaan di meja makan ? baik saat makan sahur dan berbuka puasa. Hal ini cukup baik untuk saling mendekatkan kami satu sama lain, yang setiap harinya mana ada kami makan bareng-bareng. Paling ya hanya sesekali saja. 

Lauk yang ada di piringku sudah tinggal tulang-tulangnya saja. Perutku sudah merasa penuh, dua kali aku menyinduk nasi di sangku, menyeruput sayur asam yang segar dan nikmat dipisah di mangkuk kecil. 

“Yusuf, sudah makannya. Nanti kau tidak bisa bangun dari bangku loh. Haha.” Ka Andi yang sudah dari tadi mengambil air wudhu, mengenakan sarung dan koko hendak ke masjid, iseng menyikut lenganku yang masih betah duduk di ruang meja makan. “Mau ke masjid bareng kakak tidak.?”  Tanya Kak Andi.

“Kak Andi duluan saja, nanti Yusuf nyusul deh.” Jawabku yang masih sibuk menyeruput kuah sayur asam buatan ibu memang tidak ada duanya. Kak Andi langsung berlalu meninggalkanku.

“Yusuf, kamu jangan lama-lama makannya nanti waktu magribnya keburu habis. Sebentar lagi ayahmu pulang dari masjid pasti mengomel melihat kamu masih duduk di ruang makan.” Kata ibu mengingatkan. 

Demi mendengar ibu yang mengingatkan aku dengan ayah, aku langsung bergegas membujuk ibu untuk mengantarku ke kamar mandi. Ayah memang tidak pernah ikut makan bersama dengan kami, baik itu di bulan ramadhan atau pun di bulan-bulan biasa. Saat berbuka puasa, dia hanya menyantap kurma dan satu gelas kolak saja dan langsung pergi ke masjid, Setelah sholat magrib lalu balik lagi ke rumah dan baru makan nasi. Maka dari itu, sehari-harinya kami jarang bercakap, saling cuek dengan anak-anaknya. 

“Ibu, ayolah antar Yusuf ke kamar mandi. Yusuf takut bu.” Aku merengek, menarik-narik baju gamis ibu yang sedang membereskan piring-piring dan gelas kotor. 

“Aduh Yusuf tidak lihat ibu sedang apa ? tidak ada hantu-hantu di bulan ramadhan Nak. Hantu-hantunya sudah diikat oleh Allah.” Jelas ibu terlihat kerepotan.

“Makanya de, kamu jangan lihat film-film hantu norak itu kalau kamu takut. Sok jago sih.” Kak Irma keluar dari balik pintu kamarnya, meledekku. Aku memoyongkan bibirku, sebal menatap Kak Irma.

Kemarin aku dan teman-temanku, Adnan, Fatih dan Zidan menonton film hantu yang sedang jadi trending topic di rumahnya Fatih. Aku kira tidak akan menimbulkan efek parno yang berlebihan setelah melihatnya. Ternyata setelah melihat filmnya aku jadi parno, takut kemana-mana sendirian, aku juga takut pergi ke kamar mandi sendirian karena di dalam film yang ku tonton hantunya sering ada di kamar mandi.

Pintu rumah terdengar dibuka oleh seseorang, aku tahu itu pasti ayah. Aku langsung berlari ke arah ibu. Menguntit di belakangnya. Kak Irma dan Kak Ismi sudah siap-siap mau sholat terawih ke madrasah khusus perempuan. Di kampung kami sholat laki-laki dan perempuan berbeda tempat, laki-laki sholat di mesjid besar dan perempuan di madrasah tempat pengajian. Sholat secara terpisah dan imam yang berbeda. Laki-laki dengan imam laki-laki dan perempuan dengan imam perempuan. 

Ayah menatap tajam ke arahku yang terus menguntit ibu. Sedangkan aku terus merengek ke ibu, enggan pergi ke kamar mandi sendiri.

“Biar, jangan diantar. Dasar anak manja. Ibunya juga sama saja terus manjain anaknya.” Kata ayah yang sepertinya tahu apa yang sedang aku pinta ke ibu. 

Ayolah, mendengar suaranya saja aku sudah malas. Ibu tetap melayaninya dengan sabar, padahal dia selalu disalah-salahkan terus oleh ayah. Aku tidak suka dengan kata-katanya yang kasar. Aku tidak suka ayah. Hatiku terus berseteru. Andaikan aku bisa meminta untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, aku akan meminta untuk dilahirkan oleh ibu yang tidak memiliki suami yang seperti ayahku saat ini. Sayangnya pilihan seperti tidak pernah ada. 

Akhirnya aku memaksakan pergi ke kamar mandi sendirian dengan terisak mendengar kata-kata yang keluar dari mulut seorang ayah yang selalu saja berkata kasar. Aku menangis, sesegukan di dalam kamar mandi. ibu hendak mengetuk pintu kamar mandi yang aku kunci. Namun dari pintu dapur terdengar suara sesuatu terjatuh, berdebum di atas lantai. Tangisanku sejenak terhenti. Aku diam mendengarkan apa yang terjadi. Saat itu Kak Irma dan Kak Ismi menjerit memanggil ibu. 

“Ibu…Ya Allah Ibu.” Suara Kak Irma bergetar memanggil ibu dan terdengar suara derap kakinya ke arah suara benda yang terjatuh itu. 

“Ibuuuu!” Suara Kak Ismi sudah bercampur dengan isak tangis. Aku masih diam di kamar mandi, menatap diri sendiri di kaca yang menempel di dinding, bertanya dalam hati, ‘Apa yang terjadi?’ aku langsung memutuskan untuk keluar masih keadaan belum berwudhu. 

Aku lihat tubuh ibu sudah terbaring di atas lantai. Dari kedua matanya sudah menjatuhkan beberapa tetes airmata yang lembut mengalir di pipinya yang masih nampak terlihat muda dan cantik. Kak Irma dan Kak Ismi sudah mendekap tubuh ibu, tetapi aku melihat lelaki yang sedari kecil aku memanggil dia ayah, hanya melihat kejadian itu di bawah pintu. Entahlah dia sepeti tidak merasa bersalah telah mendorong tubuh ibu yang boleh jadi sangat lelah telah menyiapkan hidangan buka puasa untuk kami. Aku tahu dia mendorong ibu dari Kak Irma yang terus berteriak menyalahkan ayah.

“Ayah kenapa tega sekali mendorong ibu, KENAPA.?” Wajah Kak Irma sudah memerah karena emosi. Dia berani membentak ayah demi membela ibu. Airmatanya mengalir deras di pipinya yang mulai panas, memerah.

Aku yang tidak tahu kejadian pastinya seperti apa, sudah menjerit ketakutan, berteriak memanggil ibu, memegang lengannya. Aku takut. Aku takut ibu meninggalkan kami. Tubuhnya melemah. Aku tahu ini gara-gara ulahku yang ingin di antar ke kamar mandi oleh ibu. Tapi yang tidak aku mengerti kenapa ayah melakukan semua ini ? padahal ibu hanya ingin menenangkan aku yang sedang terisak di kamar mandi. 

Dari balik kaca rumah kami. Ibu Risma dan tetangga lainnya tengah mengintip ingin tahu apa yang sedang terjadi, karena mereka mendengar kami berteriak dan menangis. Namun mereka tidak berani masuk.

Ayah hanya diam melihat kami yang merangkul tubuh lemah ibu. Ia juga tidak membantu ibu berdiri dari lantai, hanya kami bertiga yang memapah tubuh lemah ibu ke kamar. Setelah itu Kak Irma menyuruh aku mengambil air wudhu, aku menurut sambil berlalu pura-pura tidak melihat ayah yang sedang meneruskan menghabiskan makanannya. Aku berlari-lari kecil ke kamar ibu dan sholat di dalam. Kami berempat membiarkan ayah sendirian di ruang makan.

Kak Irma, Kak Ismi dan aku memutuskan untuk tidak pergi sholat terawih. Memilih menemani ibu yang terbaring di atas kasur. Aku memijit-mijit lengan ibu. 

“Harusnya kejadian ini tidak terulang lagi, memalukan. Bu, kenapa ayah masih bersikap seperti itu.?” Tanya Kak Ismi. Tangannya memijit lembut kaki ibu.

“Apa kita laporkan ke polisi saja bu ? ini kekerasan dalam rumah tangga.” Kata Kak Irma menambahkan.

“Dia itu ayah kalian…” Lirih ibu, “kalian tidak malu kalau punya ayah yang di penjara ? maafkanlah ayah kalian Nak. Suatu hari nanti dia pasti berubah.” Airmata ibu mengalir, membasahi bantal yang dia kenakan. 

“Tapi bu, aku ingat saat dia menyiramkan air panas ke tubuhku ketika aku berusia 6 tahun yang merengek minta uang jajan pada ibu. Ibu juga memaafkannya. Tidakkah ibu terluka melihat anak ibu di perlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.?” Tanya Kak Ismi, terisak amat tertahan. 

Aku baru tahu kalau Kak Ismi pernah mengalami hal seperti itu. Pantas saja di bagian lengannya terlihat kulit yang memerah, belang berbeda dengan kulit aslinya yang putih. Malam itu dia bercerita kalau itu adalah bekas siraman air panas ayah padanya ketika usia 6 tahun. Aku tidak habis fikir kenapa ayah melakukan hal seperti itu. Ayah ? masih pantaskan kau di panggil ayah oleh kami ?

“Hanya kau yang lebih beruntung Yusuf. Menjadi anak bungsu, selalu ada yang menjagamu dari kekerasaannya. Ada kakak-kakak dan ibumu yang selalu melindungimu.” Kata Kak Irma. Dia mengusap kedua ujung matanya. Terharu mengingat kejadian masalalunya. “Ismi, ibu tentunya sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi kau tahu sendiri kalau ibu terlalu baik, ya sangat terlalu baik untuk menjadi istri ayah. Harusnya yang baik untuk yang baik bukan bu.?” Tanya Kak Irma meneruskan kalimatnya. Aku hanya diam memerhatikan percakapan mereka sambil terus memijit-mijit lengan ibu. 

“Iya Irma, yang baik memang untuk yang baik. Mungkin ayahmu baik untuk ibu di mata Allah Nak. Allah Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Karena ayah, kalian bisa mengenal dunia bukan.?” Jawab ibu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.

“Ibu memang ibu yang paling baik di seluruh dunia.” Kataku, memuji ibu. “Maafkan Yusuf ya bu.?” Mataku lamat-lamat menatap wajah ibu.

Seketika ibu tersenyum, mengangguk padaku. 

*** 

Tidak ada yang begitu spesial dari kehidupan masa kecilku. Tidak ada sosok ayah yang selalu mengantar jemput sekolah, tidak ada ayah yang menemaniku bermain, tidak ada ayah yang selalu perhatian terhadap anak-anaknya. Dan aku baru menyadarinya saat umurku 9 tahun. Saat itu aku mulai membenci ayahku sendiri. 

Hampir 10 tahun lamanya hingga usiaku 19 tahun aku masih mengingat-ingat kejadian itu. Tubuh ibu dia dorong tanpa peduli ibu sakit. Ibu memang tidak sakit parah bagian luar, tapi aku tahu yang paling merasakan sakit yang teramat manyakitkan adalah hatinya. Namun ibu adalah wanita yang paling cantik dan paling baik yang pernah aku kenal. Dia tetap tegar menjalani semua ini, tetap melayani suami yang keras kepala, terus menyakitinya. Tetapi entahlah ibu tetap yakin dengan kasih sayang dan doa yang dia panjatkan kepada Allah akan mengubah watak ayah yang buruk. 

Berbeda dengan diriku, yang semakin tumbuh dewasa semakin mengerti kondisi setiap permasalah keluarga. Kebencian itu terus tumbuh bersamaan dengan terus bertambahnya usiaku. “Ayah, jangan salahkan aku kalau aku tidak pernah bangga memiliki seorang ayah.” Kata-kata ini selalu berputar-putar dalam kepalaku, mengaduknya bersama racun kebencianku pada ayah. 

Aku selalu iri dengan Adnan, Fatih dan Zidan yang memiliki ayah yang baik. Adnan yang selalu diantar jemput oleh ayahnya sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas meskipun di jemput dengan sepeda tua milik ayahnya namun itu terlihat menyenangkan. Fatih, yang selalu kompak dengan ayahnya mencari belut di sawah, memancing di sungai dan berbagai kegiatan lainnya. Ayahnya Fatih selalu melibatkan hal-hal yang menyenangkan bersama anak-anaknya. Dan ayahnya Adnan selalu bercerita tentang dongeng-dongeng dan cerita kehidupannya yang menarik dan memberikan pemahaman baik. Dan jujur saja aku banyak belajar dari ayah ketiga sahabatku itu. 

Kebencianku pada ayah sedikit menghilangkan ingatan tentang masa kecilku. Aku benar-benar tidak ingat kalau dulu ayahku pernah memelukku atau tidak, pernah menggendongku atau tidak, sekalian pun memang pernah entahlah aku tak mengingatnya. Tetapi 2 tahun yang lalu ibu memberi ku sebuah foto yang sudah berjamur, menguning, di dalam foto itu ada seorang anak kecil yang sedang tertawa riang di pangkuan ayah. Ibu bercerita kalau itu aku, ya ibu sengaja memperlihatkan foto itu berusaha untuk menghapus kebencianku pada ayah. Namun aku memutuskan untuk terus membencinya, karena 10 tahun terakhir ini setelah kejadian itu ayah tetap belum bisa berubah, tetap berbicara dengan nada yang selalu berteriak tetapi dia tetap mengeles kalau cara bicaranya memang seperti itu, membentak, kasar dan menakutkan. Tidak bisakah dia berbicara sopan dan lembut ? memuji atau merayu ibu dengan kata-kata sayang ? aku tidak pernah melihat kemesraan itu di keluargaku. Tidak pernah, dan ayah kenyataannya masih bersikap seperti itu sampai aku tumbuh dewasa. Dan selama itu aku jarang sekali berbicara dengannya, berbicara jika memang kalau ada keperluan, selebihnya aku mencuekkannya begitu juga dengannya. Aku sangat jauh dengannya, aku lebih dekat dengan ibu. Tidak aneh kalau setiap doa-doaku selalu aku panjatkan untuk ibu, semua kebaikan untuk ibu, aku hanya sesekali saja mendoakannya jika kebencianku sedikit mereda. 

Beberapa bulan yang lalu. Bulan suci ramadhan untuk ke 10 kalinya kebencian itu terus berkembang. Kini aku sudah tidak terlalu memikirkan kebencianku pada ayah. Biarlah jika aku memiliki masalalu yang buruk. Biarlah. Aku akan membayar masalalu yang buruk itu dengan segala prestasi dan kerja kerasku sekarang. Toh selama ini aku masih bisa berkembang menjadi anak yang baik. Mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah satu universitas di negeriku ini. Semua itu aku persembahkan untuk ibu. Dengan segala kesibukan kuliahku, sedikit melupakankan kebencianku pada ayah. 

Sore harinya di bulan suci ramadhan.

Di dalam kamarku aku sedang mengetik naskah untuk aku jadikan novel keduaku setelah tahun lalu novelku berhasil di bukukan dan terus beberapa kali di cetak ulang. Sambil kuliah aku juga menekuni hobiku yang sudah menjadi cita-citaku sejak kelas 2 sekolah menengah pertama untuk menjadi seorang penulis. Suara dering telepon menguapkan semua ideku di langit-langit kamar. Aku mendengus kesal, dengan malas mengangkat telepon yang ada di atas tumpukan buku-bukuku yang berserakkan di kamar. 

“Assalamu’alaikum. Maaf ini siapa ya.?” Aku bertanya karena nomor yang tertera tidak aku kenal.

“Wa’alaikumsalam Kak Yusuf, ini aku Indri.” Jawab seseorang dari sebrang sana.

“Oh ya, ada apa malam-malam begini telepon.?” 

“Maaf Kak kalau Indri ganggu kakak. Indri cuma mau bilang, besok tim dakwah kampus kita mengadakan acara pesantren kilat dengan tema Amazing Ramadhan, dan akan melaksanakan acara kemanusian juga bercerita tentang Palestina dengan menghadirkan syekh-syekh langsung dari Palestinanya. Nah karena Kak Yusuf fasih berbicara dalam bahasa mereka, semua panitia meminta Kak Yusuf untuk menjadi moderatornya. Bagaimana ?.”

“Loh, tidak coba meminta bantuan para dosen untuk menjadi moderatornya ?.” tanyaku heran.

“Justru mereka menyarankan kami untuk meminta bantuan Kak Yusuf.”

“Oh begitu, acaranya di mulai dari jam berapa sampai jam berapa.?” 

“Dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore Kak. Susunan acara dan segala persiapannya sudah kami siapkan. Kak Yusuf tinggal langsung datang ke masjid kampus besok pagi.”

Akhirnya aku menutup pembicaraan kami di telepon dengan menyetujui permintaan Indri untuk menjadi moderator acara dakwah kampus.

*** 

Keesokan harinya. 

“Kuliahmu tidak libur Suf.?” Tanya ibu saat aku meminta izin pamit padanya yang sedang membersihkan teras rumah. 

“Libur bu, tapi sekarang ada undangan dari anak-anak untuk ikut serta dalam acara mereka. Yusuf pamit ya bu. Asslamu’alaikum.” Jawabku sambil mencium tempurung tangan kanan ibu. Ibu mengusap ubun-ubunku dengan lembut kemudian seperti biasa saat melepas kepergian anak-anaknya dengan sebuah pesan, ‘Hati-hati ya Nak’. 

Aku melihat ayah sedang memberi makan ayam-ayamnya di kebun. Aku memutuskan untuk langsung pamit tanpa meminta izin padanya. Hal ini sudah biasa, setiap aku berangkat aku memang suka mencium tangan ibu tapi aku tidak mencium tangan ayah, dia juga tidak bilang apa-apa dengan sikapku yang jelas membedakan rasa hormat pada ibu dan padanya.  Saat aku mencium tangannya bisa di hitung hanya beberapa kali dalam setahun, terutama saat hari idul fitri dan perayaan-perayaan lainnya. 

Pagi itu aku jalan dari rumah menuju ujung gang lalu menunggu angkutan umum yang setiap hari melintas jalan raya menuju kampus. Di jalan-jalan sudah sibuk dengan orang-orang yang berlalu lalang, hari libur yang cerah di manfaatkan untuk jalan-jalan bersama keluarga, kekasih dan teman-teman. Tak banyak juga karyawan yang lembur bekerja di hari libur. Beberapa angkot masih mengetem di pinggir jalan, tak segera melintas di depanku yang sudah menunggu 3 menit lamanya. Aku lihat anak-anak yang sedang berlarian di atas trotoar saling kejar-kejaran dengan temannya, ada juga yang iseng mengejar anak burung pipit yang sedang berjemur, hinggap di bangku taman yang di tanam di atas trotoar jalan. Anak burung itu hanya bisa meloncat-loncat kecil mencoba menghindar dari kejaran anak-anak yang iseng. Anak-anak itu tertawa riang, fikiran yang bebas tak ada beban dan yang mereka fikirkan hanya kesenangan dan main-main.
5 menit berlalu, ada angkot yang melintas di depanku. Aku mencoba menyetopnya.

“Ke kampus ya Bang.” Kataku yang melongo di jendela mobil sebelum masuk ke dalam.

“Ok Mas, masuk-masuk.” Jawab supir angkot mengangguk, mempersilahkan.

Saat aku akan melangkah masuk, ada seseorang yang berteriak memanggil namaku, seketika menghentikan langkahku. 

“Kak Yusuf mau ke kampus kan ? bareng Indri saja Kak.” Kata Indri manawarkan. Ternyata Indri yang memanggil namaku dan menghentikan motor maticnya tepat di belakang angkot yang akan ku naiki. 

“Eh.?” Aku ragu menerima tawaran Indri, aku melihat supir angkot memasang muka masam padaku. Indri yang tahu gelagatku langsung menarik lenganku menjauh dari pintu angkot.

“Tidak apa-apa ya Bang, satu penumpangnya aku curi hehehe.” Indri tersenyum ramah. Supir angkot itu sudah menancap gas melajukan mobil angkotnya, jauh meninggalkan kami yang masih diam di pinggir jalan. 

“Kak Yusuf saja yang bawa motornya ya Dri, boleh.?” Tanyaku pada Indri.

Indri menolehkan pandangannya padaku. 

“Iya, boleh Kak. Pasti Kakak malu ya kalau di boncengin cewek.?” Senyuman yang manis menyungging di bibirnya, meledekku.

Aku hanya tersenyum, mengangguk.

10 menit kami sampai di kampus. Sudah banyak peserta pesantren kilat yang memenuhi masjid kampus. Aku dan Indri langsung pergi ke ruang panitia dan di sambut ramah oleh tim dakwah kampus. Mereka terlihat senang Indri berhasil membujukku untuk ikut serta dalam acara mereka. Sebenarnya aku bukan anggota tim dakwah kampus tetapi karena mereka disarankan oleh dosen untuk mengajakku dan aku pun tidak bisa menolak. Aku mengenal Indri saat pertama kali masuk kuliah, namun hanya sekedar kenal dan tak begitu dekat. 

Sebelum acara di mulai, semua panitia sibuk mengecek segala peralatan, hadiah, konsumsi dan mengecek peserta yang ikut dalam acara pesantren kilat. Ternyata semua peserta tak hanya mahasiswa dan mahasiswi kampus saja, mereka juga mengajak ibu-ibu pengajian yang tinggal di sekitar kampus, anak-anak TK, SD, SMP hingga SMA. 

Penanggung jawab acara tersebut sudah memberikan beberapa susunan acara dan pidato pembuka acara tersebut yang di hadiri oleh penanggung jawab tim dakwah kampus sekaligus dosen kami Pak Ahmad Sanusi dan Bu Jannah sebagai perwakilan para dosen kampus. Aku sudah mondar-mandir di masjid kampus, ikut merapikan barisan anak-anak SD yang sedari tadi berlarian di dalam masjid. Panitia lainnya sibuk mengecek mickropon, menata makanan di atas meja, mengangkut aqua botol yang akan di bagikan, ada juga yang jadi dokumentasi sibuk jeprrett sana, jepreett sini mengambil gambar yang bagus. 

Dan acara akhirnya di mulai. Perasaanku sedikit gugup melihat para peserta pesantren kilat yang banyak hampir memenuhi masjid kampus, bagian anak-anak sengaja di pisahkan dari anak remaja dan ibu-ibu, mereka di tempatkan di lantai atas. Seperti biasa acara di mulai dengan sambutan-sambutan dari dosen, ketua pelaksana dan perwakilan dari ibu-ibu pengajian. Ternyata acara yang diadakan begitu padat, sambil menunggu tamu istimewa dari Palestina datang, panitia sudah menyiapkan beberapa permainan, dan beberapa narasumber lainnya. Seperti seorang motivator dan seorang aktivis. 

Dalam mengisi kekosongan waktu, para panitia mengadakan lomba sambung ayat dan lomba hapalan-hapalan surat. Dan siapa yang memenangkan lomba itu tentu saja mendapatkan bingkisan special dari panitia. Yang di ikut sertakan dalam lomba hanya anak-anak SD dan SMP sedangkan SMA dan ibu-ibu pengajian hanya menonton, duduk manis di atas karpet hijau, bersorak dan gregetan melihat anak-anak SD dan SMP ketika lupa dengan ayat dari surat yang sedang mereka bacakan. Ada juga yang terharu mendengar ayat-ayat yang dibacakan anak-anak dengan suara yang melengking namun sangat menyentuh. 

Suara takbir menggemakan seluruh ruangan masjid ketika aku dan segenap panitia berseru. Takbir!. Maka semua orang yang ada di masjid meneriakkan takbir yang membahana, menggetarkan langit-langit masjid. 

“ALLAHUAKBAR!”          
 
Sudah hampir satu jam berlalu. Panitia lainnya sudah memberikan kode kedipan padaku untuk menghentikan permainan, mengingat waktunya sudah habis dan akan di isi oleh seorang aktivis setelah shalat dzuhur.

Saat itu kami semua di berikan tontonan yang lucu dan memotivasi kami semua, tak heran kalau kami semua tertawa bersamaan ketika melihat video-video lucu yang di pertontonkan. Kami semua diberikan ilmu, beberapa tips untuk menjadi remaja yang kreatif dan inovatif. 

  Setelah acara kami di selingi dengan acara sholat dzuhur bersama dan tadarusan. Para peserta pesanren kilat di bimbing oleh satu panitia untuk membaca ayat Al-Qur’an. Beberapa anak-anak SD lantang membacakan surat-surat pendek dengan serempak, lantang dan penuh semangat meramaikan suasana masjid. Dari halaman masjid, hujan deras mengguyur membasahi rumput-rumput masjid dan sekelilingnya. Acara kami mulai kembali. 

“Baik, untuk seluruh peserta pesantren kilat Amazing Ramadhan acaranya kita mulai kembali. Untuk peserta yang masih memandang hujan di luar dipersilahkan untuk masuk kembali ke dalam masjid.” Suaraku memecah keramaian baik di dalam masjid maupun di luar masjid. Anak-anak yang sedang berlarian langsung mencari posisi duduk yang nyaman, bersandar pada tiang-tiang masjid. Mengisi pojokan dan tempat yang dekat dengan jendela. Berhimpit-himpitan. 

“Ayo yang depan dulu di isi.” Kataku. Mengatur barisan yang masih acak-acakan, numpuk di belakang dan yang depan dibiarkan kosong.

“Ayo anak-anak SD sekarang bergabung, kalian isi barisan paling depan. Ayo.!” Seru panitia yang sibuk mengiring anak-anak ke barisan depan.

Lima belas menit kami mengatur barisan supaya terlihat rapi.

“Kalian masih semangat.?” Tanyaku saat memulai acaranya kembali.

“MASIH KAK.!” Jawaban serempak dari semua peserta. 

“Ah kurang semangat, masih ada yang tidur-tiduran, menyender ke tiang-tiang dan dinding. Ayo kita takbir biar tambah semangat ya.” Kata Indri yang tiba-tiba membantuku untuk memandu acaranya. Dia tersenyum melihatku. Aku hanya mengangguk, membalas senyumannya.

“Takbir.!” Seruku.

“ALLAHUAKBAR.!”

“sekali lagi, jawab yang lebih keras dan lebih bersemangat. TAKBIR.!” 

“ALLAHUAKBAR.!” 

Seruan takbir semua peserta begitu bersemangat, menyamarkan suara air hujan yang deras di luar masjid. Seorang narasumber yang seorang aktivis sudah siap untuk memberikan cerita dari pengalamannya menjadi seorang aktivis atau memberikan kami benih-benih motivasi lagi. Entahlah. Ini acara ketiga untuk menyambut kedatangan syekh dari Palestina yang belum juga terlihat di lokasi.

Satu jam berlalu. Aktivis itu hanya membahas semua prestasinya sedari kecil hingga sekarang. Dengan bangganya menjelaskan satu persatu prestasi yang telah dia raih meskipun tahunnya sudah terlewat lampau. Sampai-sampai saat dia mendapat juara tujuh belas agustusan saja dia bahas. Satu jam yang membosankan. Jujur saja aku kurang suka dengan orang yang membangga-banggakan prestasi di masalalunya, terlihat sekali seperti orang yang tidak percaya diri dengan memanfaatkan prestasi-prestasinya untuk menarik perhatian. Dari peserta saja sudah banyak yang menguap, selonjoran dan bahkan anak-anak SD yang di depan saja tiduran karena bosan, kehilangan semangat. Waktu yang diberikan untuk seorang aktivis itu sampai dua jam. Kalau suasananya begini terus lama kelamaan peserta diam-diam pada pulang atau bahkan ketiduran. 

Hujan semakin deras mengguyur, sesekali suara petir menyambar, sinarnya menyala berkelebat memantul hingga ke dalam masjid. Suasana agak sedikit menyenangkan karena seorang aktivis itu mulai berinteraksi dengan pesertanya, memandu kita untuk bermain game ala aktivis lebih tepatnya melatih kita untuk konsentrasi sebelum dia benar-benar memulai materi. Anak-anak SD menyambut begitu antusias. Anak-anak SMP dan SMA malas-malasan menuruti perintahnya. Setelah itu materi ia berikan, dia membahas kegiatan seorang aktivis yang sudah dia kerjakan. Tak hanya itu dia juga membuat sebuah grup untuk penggalangan dana bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan. Mendirikan sanggar-sanggar untuk anak jalanan dan berbagai program kerja lainnya. Dia berhasil menarik perhatian peserta dan membuat peserta ber-‘Wah’, kagum dengan kegiatan-kegiatan yang di lakukan seorang aktivis.

Di akhir acara, aku tidak menyangka kalau akan ada acara renungan setelah mendengarkan materi yang cukup membosankan. Kami semua yang ada di seluruh masjid berdiri dari tempat duduk, menundukan kepala, memejamkan mata dan siap mendengarkan sebuah renungan yang akan di komandoi oleh seorang aktivis itu. Hal seperti ini biasanya akan menguras air mata, memanggil jiwa kita dan membuka hati yang telah lama tertutup. Ini sebuah pencerahan, aku juga ikut menundukan kepala.

Sebuah gambar kematian menjadi pembuka sebuah renungan. Menggambarkan tentang kita yang sedang sakaratul maut. Lagu yang menjadi pengiring renungan pun lembut terdengar menyatu dengan keadaan, mengombang-ambingkan perasaan. Melukiskan imajinasi yang menyedihkan dan menyeramkan. Beberapa menit berlalu sudah terdengar isak tangis peserta yang begitu menghayati renungan, tangan-tangan mereka sudah merogok kantung baju dan tas mereka hendak mengambil sebuah tissue. Tak terasa renungan itu sedikit demi sedikit telah membuka mata hatiku, tetesan air mata membahasi pipi ketika seorang aktivis itu menggambarkan sebuah kematian seorang ibu. Aku langsung teringat ibu di rumah. Membayangkan saat aku pulang dari acara ini melihat ibu yang sudah di bungkus dengan kain kafan membungkus tubuhnya yang mungil. Tak terlihat lagi senyum di wajahnya yang kini telah pucat. Ketika aku tak bisa lagi mencium kedua tangannya. Renungan tentang ibu sering aku dengar, aku juga sering larut di dalamnya. Membayangkan tubuh ibu yang terkujur kaku, membeku. Dalam tangisku, aku mencoba menepis perkataan aktivis itu yang terus membawa imajinasi kami ke dalam kesedihan. Ada peserta yang langsung terduduk, tidak tahan menangis tersedu-sedu memanggil ibunya. Aku yang masih menangis dan memejamkan mata, menggeleng-gelengkan kepala. Aku membentak imajinasi, berseru tidak mau gambaran yang ada di kepalaku itu terjadi. Kematian ibu. 

Aktivis itu tak henti-hentinya terus menguras airmata kami. Menjerumuskan kami dalam kesedihan. Kini dia menggambarkan sosok ayah. Ayah ? aku rasa aku tidak akan menangis untuknya, aku bisa menghentikan tangisanku. Aku rasa selama hidupku aku belum pernah menangis untuknya, yang ada hanya menangis karenanya. Karena bentakannya dan karena hal menyakitkan yang disebabkan olehnya. Mungkin hal itu karena kebencianku padanya, aku tidak pernah menangis di dalam doa untuknya, aku lebih mendominasikan doaku untuk ibu dan selalu menangis untuknya di banding harus menangis untuk ayah yang aku benci selama 10 tahun ini. Tidak. Aku tidak akan menangis untuknya.

Kapan terakhir kali aku memeluk ayah ? kapan terakhir kali aku mencium tangannya ? bermain, bercanda bersamanya, saling bertegur sapa. Dan kapan, kapan terakhir ayah bilang kalau dia menyayangi aku, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.? Sialnya aku tidak bisa mengelak, batinku sudah menangisi sosok ayah untuk pertama kalinya yang entah kenapa aku begitu saja mudah terpancing untuk meneteskan airmata. Aku mengigit bibir yang bergetar, masih tidak menyangka kalau aku bisa menangis untuknya. Untuk seorang ayah yang selama ini aku benci. Entah kenapa hatiku seketika memberikan maaf untuk kesalahan-kesalahannya di masalalu. Aku membayangkan aku ingin berada dalam pelukannya yang hangat, mencium tangannya seperti aku menghormati ibu. Aku ingin banyak berbicara dengannya yang selama ini aku hanya bisa ungkapkan hanya lewat barisan kata yang tak pernah aku ucap, hanya aku abadikan kepedihan hatiku itu dalam sebuah diary yang sudah penuh dengan kata-kata kebencianku padanya. 

Ayah, aku tahu. Mungkin kami, anak-anakmu yang bebal saja sering mempertanyakan keadilan Tuhan tentang mengapa kami di lahirkan sebagai anak yang memiliki ayah sepertimu. Kami sibuk mengutuk dan mempersalahkan keadaan. Bertanya apakah Tuhan benar-benar adil ? 

Renungan itu berakhir saat syekh dari Palestina tiba. Indri yang melihatku menangis memberikan selembar tissue padaku. Aku membayangkan wajahku yang sembab seusai menangis. Malu-malu menerima selembar tissue dari Indri. Dengan gesit aku langsung menyibakkan airmata yang masih tersisa membendungi pelupuk mata. 

2 jam berlalu bersama para syekh Palestina menjadi pengalaman yang tidak akan aku lupakan bisa bercakap dengan mereka dan diberikan kesempatan untuk berfoto bersama. Selesai acara aku langsung pamit pulang, izin tidak bisa ikut beres-beres semuanya. Aku ingin cepat pulang, mengingat renungan tadi aku ingin segera bertemu dengan ayah, mencium lengannya seraya meminta maaf padanya karena sikapku selama ini membenci dirinya. Dari kampus aku langsung naik kendaraan umum. Rasanya resah sekali saat angkutan umum yang ku naiki lamban sekali tiba di gang rumah, terjebak macet. Aku memutuskan untuk turun dari angkot, lalu memilih untuk naik ojeg sampai rumah. Bibirku bergetar menahan tangisan yang aku tahan, aku menyuruh abang tukang ojeg ngebut dan nyalip sisi mobil yang tidak maju-maju. 

“Ayo Bang ngebut saja. Aku tidak apa-apa ko. Biar cepat sampai rumah nih.” Seruku pada abang tukang ojeg.

“Bener nih Mas tidak apa-apa aku ajak ngebut.?” Tanyanya sedikit ragu.

Aku hanya menganguk yakin.

Seketika motornya langsung melesat cepat, meliuk-liuk di jalanan mencari celah yang kosong. Air di kubangan muncrat mengotori roda motor. Jalanan sedikit licin karena guyuran air hujan. Dan entah kenapa motor yang kunaiki limbung saat mencoba menghindar dari batu besar yang tertancap di pinggir jalan. Abang tukang ojeg tidak bisa menyeimbangkan keadaannya. Dan kecelakaan itu tidak bisa terelakkan lagi. Aku bersama tukang ojeg menubruk trotoar jalan, tumbuhku terbanting hingga 2 meter dan langsung tidak sadarkan diri. Entahlah aku tidak tahu nasib tukang ojeg yang aku ajak menantang maut itu seperti apa keadaannya.

*** 

1 minggu berlalu.

Kini aku menjalani hari-hariku dengan amat berbeda. Aku melihat dunia amatlah gelap, tidak ada cahaya dan keindahan alam yang bisa aku lihat. Bahkan aku tidak bisa menarikan jari-jariku di atas keyboard. Kecelakaan itu telah mengambil panca indraku yang amat penting. Aku mengalami kebutaan total. Entah benda apa yang masuk ke mataku saat terjadi kecelakaan itu. Dokter tidak bisa banyak membantu. Aku nyaris kehilangan semangat hidup. Aku hanya menatap dunia yang gelap, lenggang tak ada cahaya yang bisa menuntun. Aku tidak tahu apakah ini sebuah azab karena aku telah membenci ayah atau karena keimananku sedang di uji dengan di hilangkannya panca indraku. 

Tetapi Tuhan tidak pernah lupa untuk selalu memberi hikmah dari suatu peristiwa menyakitkan yang di alami oleh hambanya. Kebutaanku mampu membuka mata hati ayah. Saat aku menangis untuk pertama kalinya. Ayah mendekapku, aku hanya bisa mendengar isak tangisnya. Aku sentuh pipinya yang basah. ‘Ayah engkau menangis untukku ?’, tanya hatiku. Perasaanku seperti tertikam beribu belati, amat perih. Begitu menyesal atas semua rasa kebencianku selama ini pada ayah. 

Saat di rumah sakit, aku berbincang dengan ayah setelah sekian lama kami tidak berbicara.

“Ayah, maafkan kelakuan Yusuf selama ini sudah membenci Ayah. Maafkan aku…” Kataku, meraba-raba wajah ayah dengan kedua tanganku. “ayah janji sama Yusuf, jangan kasar-kasar lagi sama ibu, jangan membentak ibu, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.” Airmata yang hangat mengalir di pipiku.

“Harusnya ayah yang minta maaf padamu Suf, pada ibu dan pada kakak-kakakmu. Ayah yang keras kepala dan tidak peduli dengan anak-anaknya. Ayah yang buru…”

“Sudah Ayah. Kami sudah memaafkan kesalahan Ayah. Sedari kecil Yusuf ingin merasakan pelukan Ayah.” Kata Kak Andi memotong pengakuan ayah. 

Dan saat itulah. Di usiaku yang ke-19 tahun aku merasakan pelukan ayah yang begitu hangat, badannya bergetar karena terisak. Aku merasa bersyukur, tidak apa-apa Allah mengambil salah satu panca indraku dan menggantikannya dengan nikmat kebahagiaan yang lebih dari sekedar nikmat melihat. 

1 bulan berlalu. Ayah meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tahu kalau ayah meninggal karena sakit TBC stadium 4. Ayah begitu rapih menyembunyikan penyakitnya. Hanya saat itu ayah ketahuan sejak memasak bubur untuk dirinya sendiri tanpa meminta bantuan ibu atau Kak Irma dan Kak Ismi. Ayah menanggung semuanya sendirian, tanpa ingin merepotkan kami. Saat itu ayah mendonorkan kedua matanya untukku. Dia rela kedua matanya di ambil, untuk menebus kesalahan yang dia perbuat di masalalu. Akhirnya aku bisa melihat dunia dengan kedua mata ayah. Semua itu sudah menghapus rasa kebencianku padanya. Dan kini meskipun ini amatlah terlambat, aku ingin mengatakan kalau aku bangga memiliki seorang ayah. Dengan matanya aku akan lebih banyak menangis lagi untuknya. Dan kalian yang masih memiliki seorang ayah, bergegaslah, lari padanya dan katakan. KALIAN BANGGA MEMILIKI SEORANG AYAH.

TAMAT

*Rencanany cerita ini akan aku buat novel dan akan memakai ending yang berbeda dengan ini. Doakan ya :)









Tidak ada komentar:

Posting Komentar