Kenangan sepuluh tahun
yang lalu terus tergambar jelas dalam ingatan, seperti film layar lebar yang
kembali di putar untuk aku lihat. Sayang kenangan itu membuat aku semakin benci
padanya. Sejak saat itu aku memutuskan untuk membencinya. Sosok ayah yang tidak
dekat dengan anak-anaknya, bagiku dia sosok ayah yang hanya sedikit peduli pada
anak-anaknya. Dia lebih suka diam atau membentak kami dan ibu. Dia ayah yang
buruk, dia sendiri yang membuat kami menjauh darinya, sekedar menyapa atau
berbicara pun anaknya enggan, takut dan malas. Aku tidak tahu penderitaan apa
yang telah kakak-kakakku rasakan karena ulahnya yang pasti mereka pun sama
bencinya denganku.
Kenangan
sepuluh tahun yang lalu yang tidak bisa aku lupakan hingga sekarang. Saat itu
aku masih berumur 9 tahun. Di bulan yang penuh berkah, bulan yang suci yaitu
bulan ramadhan kami sekeluarga hendak berbuka puasa. Begitu banyak hidangan
berbuka yang di sediakan ibu, ada kolak pisang, es cingcau, gorengan-gorengan,
bubur sum-sum, dan tidak lupa ibu juga menyiapkan hidangan berbuka puasa yang
di anjurkan oleh Rasul Allah, beberapa butir kurma yang ranum dan segar. Saat
itu aku sedang sibuk menata jajanan yang aku kumpulkan dari siang untuk aku
makan setelah hidangan berbuka puasa. Aku memang selalu memiliki kebiasaan
seperti itu, mengumpulkan jajanan di sekolah untuk aku berbuka. Di ruang makan
ibu sudah sibuk mondar-mandir ke dapur ke ruang makan mengangkut makanan yang
akan di hidangkan, tinggal beberapa menit lagi bedug magrib akan di pukul oleh
santri-santri yang mondok di dekat masjid paling besar di kampung kami.
Duugg. Duuuruugg.
Duuuggg. Duuuuggg. Duugggg. Allahuakbar. Allahuakbar. Adzan magrib telah di
kumandangkan. Tanganku sudah mennyomot dua butir kurma sebelum aku menyantap
hidangan lainnya.
“Jangan lupa baca doa
dulu Suf.” Ibu mengingatkanku, takut-takut aku lupa karena tak sabar mencicipi
hidangan di atas meja makan.
“Allahuma Lakasumtu
Wabik’amantu Wa’ala Rizkika Abtortu Birrohmatika Ya Arhama Rohimin.” Dengan di
sengaja aku lantang membaca doanya dengan kedua tangan yang ditengadahkan,
setelah itu mengucap ‘Amin’ sambil mengusap wajahku.
Ibu tersenyum melihat
kelakuanku. Dia menyerahkan segelas es cingcau segar padaku. Kak Irma, Kak Ismi
dan Kak Andi sudah menyinduk nasi yang masih mengepul di dalam sangku, memenuhi
piring mereka dengan lauk pauk, sayur asam, sambal dan lalapan daun singkong
yang begitu menggoda. Aku yang tidak mau kehabisan, langsung meneguk es cingcau
hingga tetes terakhir menyisakan gelas yang kosong melompong. Ruang makan ramai
oleh dentingan gelas, sendok dan garpu. Setiap bulan ramadhan adalah momen yang
paling menyenangkan di keluarga kami, kapan lagi kami semua memiliki jadwal
makan yang bersamaan di meja makan ? baik saat makan sahur dan berbuka puasa.
Hal ini cukup baik untuk saling mendekatkan kami satu sama lain, yang setiap
harinya mana ada kami makan bareng-bareng. Paling ya hanya sesekali saja.
Lauk yang ada di
piringku sudah tinggal tulang-tulangnya saja. Perutku sudah merasa penuh, dua
kali aku menyinduk nasi di sangku, menyeruput sayur asam yang segar dan nikmat
dipisah di mangkuk kecil.
“Yusuf, sudah makannya.
Nanti kau tidak bisa bangun dari bangku loh. Haha.” Ka Andi yang sudah dari
tadi mengambil air wudhu, mengenakan sarung dan koko hendak ke masjid, iseng menyikut
lenganku yang masih betah duduk di ruang meja makan. “Mau ke masjid bareng
kakak tidak.?” Tanya Kak Andi.
“Kak Andi duluan saja,
nanti Yusuf nyusul deh.” Jawabku yang masih sibuk menyeruput kuah sayur asam
buatan ibu memang tidak ada duanya. Kak Andi langsung berlalu meninggalkanku.
“Yusuf, kamu jangan
lama-lama makannya nanti waktu magribnya keburu habis. Sebentar lagi ayahmu
pulang dari masjid pasti mengomel melihat kamu masih duduk di ruang makan.”
Kata ibu mengingatkan.
Demi mendengar ibu yang
mengingatkan aku dengan ayah, aku langsung bergegas membujuk ibu untuk
mengantarku ke kamar mandi. Ayah memang tidak pernah ikut makan bersama dengan
kami, baik itu di bulan ramadhan atau pun di bulan-bulan biasa. Saat berbuka
puasa, dia hanya menyantap kurma dan satu gelas kolak saja dan langsung pergi
ke masjid, Setelah sholat magrib lalu balik lagi ke rumah dan baru makan nasi.
Maka dari itu, sehari-harinya kami jarang bercakap, saling cuek dengan
anak-anaknya.
“Ibu, ayolah antar
Yusuf ke kamar mandi. Yusuf takut bu.” Aku merengek, menarik-narik baju gamis
ibu yang sedang membereskan piring-piring dan gelas kotor.
“Aduh Yusuf tidak lihat
ibu sedang apa ? tidak ada hantu-hantu di bulan ramadhan Nak. Hantu-hantunya
sudah diikat oleh Allah.” Jelas ibu terlihat kerepotan.
“Makanya de, kamu
jangan lihat film-film hantu norak itu kalau kamu takut. Sok jago sih.” Kak
Irma keluar dari balik pintu kamarnya, meledekku. Aku memoyongkan bibirku,
sebal menatap Kak Irma.
Kemarin aku dan
teman-temanku, Adnan, Fatih dan Zidan menonton film hantu yang sedang jadi
trending topic di rumahnya Fatih. Aku kira tidak akan menimbulkan efek parno
yang berlebihan setelah melihatnya. Ternyata setelah melihat filmnya aku jadi
parno, takut kemana-mana sendirian, aku juga takut pergi ke kamar mandi
sendirian karena di dalam film yang ku tonton hantunya sering ada di kamar
mandi.
Pintu rumah terdengar
dibuka oleh seseorang, aku tahu itu pasti ayah. Aku langsung berlari ke arah
ibu. Menguntit di belakangnya. Kak Irma dan Kak Ismi sudah siap-siap mau sholat
terawih ke madrasah khusus perempuan. Di kampung kami sholat laki-laki dan
perempuan berbeda tempat, laki-laki sholat di mesjid besar dan perempuan di
madrasah tempat pengajian. Sholat secara terpisah dan imam yang berbeda.
Laki-laki dengan imam laki-laki dan perempuan dengan imam perempuan.
Ayah menatap tajam ke
arahku yang terus menguntit ibu. Sedangkan aku terus merengek ke ibu, enggan
pergi ke kamar mandi sendiri.
“Biar, jangan diantar.
Dasar anak manja. Ibunya juga sama saja terus manjain anaknya.” Kata ayah yang
sepertinya tahu apa yang sedang aku pinta ke ibu.
Ayolah, mendengar
suaranya saja aku sudah malas. Ibu tetap melayaninya dengan sabar, padahal dia
selalu disalah-salahkan terus oleh ayah. Aku tidak suka dengan kata-katanya
yang kasar. Aku tidak suka ayah. Hatiku terus berseteru. Andaikan aku bisa
meminta untuk dilahirkan dari orang tua yang seperti apa, aku akan meminta
untuk dilahirkan oleh ibu yang tidak memiliki suami yang seperti ayahku saat
ini. Sayangnya pilihan seperti tidak pernah ada.
Akhirnya aku memaksakan
pergi ke kamar mandi sendirian dengan terisak mendengar kata-kata yang keluar
dari mulut seorang ayah yang selalu saja berkata kasar. Aku menangis, sesegukan
di dalam kamar mandi. ibu hendak mengetuk pintu kamar mandi yang aku kunci.
Namun dari pintu dapur terdengar suara sesuatu terjatuh, berdebum di atas
lantai. Tangisanku sejenak terhenti. Aku diam mendengarkan apa yang terjadi.
Saat itu Kak Irma dan Kak Ismi menjerit memanggil ibu.
“Ibu…Ya Allah Ibu.”
Suara Kak Irma bergetar memanggil ibu dan terdengar suara derap kakinya ke arah
suara benda yang terjatuh itu.
“Ibuuuu!” Suara Kak
Ismi sudah bercampur dengan isak tangis. Aku masih diam di kamar mandi, menatap
diri sendiri di kaca yang menempel di dinding, bertanya dalam hati, ‘Apa yang
terjadi?’ aku langsung memutuskan untuk keluar masih keadaan belum berwudhu.
Aku lihat tubuh ibu
sudah terbaring di atas lantai. Dari kedua matanya sudah menjatuhkan beberapa
tetes airmata yang lembut mengalir di pipinya yang masih nampak terlihat muda
dan cantik. Kak Irma dan Kak Ismi sudah mendekap tubuh ibu, tetapi aku melihat
lelaki yang sedari kecil aku memanggil dia ayah, hanya melihat kejadian itu di
bawah pintu. Entahlah dia sepeti tidak merasa bersalah telah mendorong tubuh
ibu yang boleh jadi sangat lelah telah menyiapkan hidangan buka puasa untuk
kami. Aku tahu dia mendorong ibu dari Kak Irma yang terus berteriak menyalahkan
ayah.
“Ayah kenapa tega sekali
mendorong ibu, KENAPA.?” Wajah Kak Irma sudah memerah karena emosi. Dia berani
membentak ayah demi membela ibu. Airmatanya mengalir deras di pipinya yang
mulai panas, memerah.
Aku yang tidak tahu
kejadian pastinya seperti apa, sudah menjerit ketakutan, berteriak memanggil
ibu, memegang lengannya. Aku takut. Aku takut ibu meninggalkan kami. Tubuhnya
melemah. Aku tahu ini gara-gara ulahku yang ingin di antar ke kamar mandi oleh
ibu. Tapi yang tidak aku mengerti kenapa ayah melakukan semua ini ? padahal ibu
hanya ingin menenangkan aku yang sedang terisak di kamar mandi.
Dari balik kaca rumah
kami. Ibu Risma dan tetangga lainnya tengah mengintip ingin tahu apa yang
sedang terjadi, karena mereka mendengar kami berteriak dan menangis. Namun
mereka tidak berani masuk.
Ayah hanya diam melihat
kami yang merangkul tubuh lemah ibu. Ia juga tidak membantu ibu berdiri dari
lantai, hanya kami bertiga yang memapah tubuh lemah ibu ke kamar. Setelah itu
Kak Irma menyuruh aku mengambil air wudhu, aku menurut sambil berlalu pura-pura
tidak melihat ayah yang sedang meneruskan menghabiskan makanannya. Aku
berlari-lari kecil ke kamar ibu dan sholat di dalam. Kami berempat membiarkan
ayah sendirian di ruang makan.
Kak Irma, Kak Ismi dan
aku memutuskan untuk tidak pergi sholat terawih. Memilih menemani ibu yang
terbaring di atas kasur. Aku memijit-mijit lengan ibu.
“Harusnya kejadian ini
tidak terulang lagi, memalukan. Bu, kenapa ayah masih bersikap seperti itu.?”
Tanya Kak Ismi. Tangannya memijit lembut kaki ibu.
“Apa kita laporkan ke
polisi saja bu ? ini kekerasan dalam rumah tangga.” Kata Kak Irma menambahkan.
“Dia itu ayah kalian…”
Lirih ibu, “kalian tidak malu kalau punya ayah yang di penjara ? maafkanlah
ayah kalian Nak. Suatu hari nanti dia pasti berubah.” Airmata ibu mengalir,
membasahi bantal yang dia kenakan.
“Tapi bu, aku ingat
saat dia menyiramkan air panas ke tubuhku ketika aku berusia 6 tahun yang
merengek minta uang jajan pada ibu. Ibu juga memaafkannya. Tidakkah ibu terluka
melihat anak ibu di perlakukan seperti itu oleh ayahnya sendiri.?” Tanya Kak
Ismi, terisak amat tertahan.
Aku baru tahu kalau Kak
Ismi pernah mengalami hal seperti itu. Pantas saja di bagian lengannya terlihat
kulit yang memerah, belang berbeda dengan kulit aslinya yang putih. Malam itu
dia bercerita kalau itu adalah bekas siraman air panas ayah padanya ketika usia
6 tahun. Aku tidak habis fikir kenapa ayah melakukan hal seperti itu. Ayah ?
masih pantaskan kau di panggil ayah oleh kami ?
“Hanya kau yang lebih
beruntung Yusuf. Menjadi anak bungsu, selalu ada yang menjagamu dari
kekerasaannya. Ada kakak-kakak dan ibumu yang selalu melindungimu.” Kata Kak
Irma. Dia mengusap kedua ujung matanya. Terharu mengingat kejadian masalalunya.
“Ismi, ibu tentunya sakit hati melihat anaknya diperlakukan seperti itu. Tapi
kau tahu sendiri kalau ibu terlalu baik, ya sangat terlalu baik untuk menjadi
istri ayah. Harusnya yang baik untuk yang baik bukan bu.?” Tanya Kak Irma
meneruskan kalimatnya. Aku hanya diam memerhatikan percakapan mereka sambil
terus memijit-mijit lengan ibu.
“Iya Irma, yang baik
memang untuk yang baik. Mungkin ayahmu baik untuk ibu di mata Allah Nak. Allah
Maha Mengetahui yang terbaik untuk kita. Karena ayah, kalian bisa mengenal dunia
bukan.?” Jawab ibu mencoba bangkit dari posisi berbaringnya.
“Ibu memang ibu yang
paling baik di seluruh dunia.” Kataku, memuji ibu. “Maafkan Yusuf ya bu.?”
Mataku lamat-lamat menatap wajah ibu.
Seketika ibu tersenyum,
mengangguk padaku.
***
Tidak ada yang begitu
spesial dari kehidupan masa kecilku. Tidak ada sosok ayah yang selalu mengantar
jemput sekolah, tidak ada ayah yang menemaniku bermain, tidak ada ayah yang
selalu perhatian terhadap anak-anaknya. Dan aku baru menyadarinya saat umurku 9
tahun. Saat itu aku mulai membenci ayahku sendiri.
Hampir 10 tahun lamanya
hingga usiaku 19 tahun aku masih mengingat-ingat kejadian itu. Tubuh ibu dia
dorong tanpa peduli ibu sakit. Ibu memang tidak sakit parah bagian luar, tapi
aku tahu yang paling merasakan sakit yang teramat manyakitkan adalah hatinya. Namun
ibu adalah wanita yang paling cantik dan paling baik yang pernah aku kenal. Dia
tetap tegar menjalani semua ini, tetap melayani suami yang keras kepala, terus
menyakitinya. Tetapi entahlah ibu tetap yakin dengan kasih sayang dan doa yang dia
panjatkan kepada Allah akan mengubah watak ayah yang buruk.
Berbeda dengan diriku,
yang semakin tumbuh dewasa semakin mengerti kondisi setiap permasalah keluarga.
Kebencian itu terus tumbuh bersamaan dengan terus bertambahnya usiaku. “Ayah,
jangan salahkan aku kalau aku tidak pernah bangga memiliki seorang ayah.”
Kata-kata ini selalu berputar-putar dalam kepalaku, mengaduknya bersama racun
kebencianku pada ayah.
Aku selalu iri dengan
Adnan, Fatih dan Zidan yang memiliki ayah yang baik. Adnan yang selalu diantar
jemput oleh ayahnya sejak dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas
meskipun di jemput dengan sepeda tua milik ayahnya namun itu terlihat
menyenangkan. Fatih, yang selalu kompak dengan ayahnya mencari belut di sawah,
memancing di sungai dan berbagai kegiatan lainnya. Ayahnya Fatih selalu
melibatkan hal-hal yang menyenangkan bersama anak-anaknya. Dan ayahnya Adnan
selalu bercerita tentang dongeng-dongeng dan cerita kehidupannya yang menarik
dan memberikan pemahaman baik. Dan jujur saja aku banyak belajar dari ayah
ketiga sahabatku itu.
Kebencianku pada ayah
sedikit menghilangkan ingatan tentang masa kecilku. Aku benar-benar tidak ingat
kalau dulu ayahku pernah memelukku atau tidak, pernah menggendongku atau tidak,
sekalian pun memang pernah entahlah aku tak mengingatnya. Tetapi 2 tahun yang
lalu ibu memberi ku sebuah foto yang sudah berjamur, menguning, di dalam foto
itu ada seorang anak kecil yang sedang tertawa riang di pangkuan ayah. Ibu
bercerita kalau itu aku, ya ibu sengaja memperlihatkan foto itu berusaha untuk
menghapus kebencianku pada ayah. Namun aku memutuskan untuk terus membencinya,
karena 10 tahun terakhir ini setelah kejadian itu ayah tetap belum bisa
berubah, tetap berbicara dengan nada yang selalu berteriak tetapi dia tetap
mengeles kalau cara bicaranya memang seperti itu, membentak, kasar dan
menakutkan. Tidak bisakah dia berbicara sopan dan lembut ? memuji atau merayu
ibu dengan kata-kata sayang ? aku tidak pernah melihat kemesraan itu di
keluargaku. Tidak pernah, dan ayah kenyataannya masih bersikap seperti itu
sampai aku tumbuh dewasa. Dan selama itu aku jarang sekali berbicara dengannya,
berbicara jika memang kalau ada keperluan, selebihnya aku mencuekkannya begitu
juga dengannya. Aku sangat jauh dengannya, aku lebih dekat dengan ibu. Tidak
aneh kalau setiap doa-doaku selalu aku panjatkan untuk ibu, semua kebaikan
untuk ibu, aku hanya sesekali saja mendoakannya jika kebencianku sedikit
mereda.
Beberapa bulan yang
lalu. Bulan suci ramadhan untuk ke 10 kalinya kebencian itu terus berkembang. Kini
aku sudah tidak terlalu memikirkan kebencianku pada ayah. Biarlah jika aku memiliki
masalalu yang buruk. Biarlah. Aku akan membayar masalalu yang buruk itu dengan
segala prestasi dan kerja kerasku sekarang. Toh selama ini aku masih bisa
berkembang menjadi anak yang baik. Mendapatkan beasiswa untuk kuliah di salah
satu universitas di negeriku ini. Semua itu aku persembahkan untuk ibu. Dengan
segala kesibukan kuliahku, sedikit melupakankan kebencianku pada ayah.
Sore harinya di bulan
suci ramadhan.
Di dalam kamarku aku
sedang mengetik naskah untuk aku jadikan novel keduaku setelah tahun lalu
novelku berhasil di bukukan dan terus beberapa kali di cetak ulang. Sambil
kuliah aku juga menekuni hobiku yang sudah menjadi cita-citaku sejak kelas 2
sekolah menengah pertama untuk menjadi seorang penulis. Suara dering telepon
menguapkan semua ideku di langit-langit kamar. Aku mendengus kesal, dengan
malas mengangkat telepon yang ada di atas tumpukan buku-bukuku yang berserakkan
di kamar.
“Assalamu’alaikum. Maaf
ini siapa ya.?” Aku bertanya karena nomor yang tertera tidak aku kenal.
“Wa’alaikumsalam Kak
Yusuf, ini aku Indri.” Jawab seseorang dari sebrang sana.
“Oh ya, ada apa
malam-malam begini telepon.?”
“Maaf Kak kalau Indri
ganggu kakak. Indri cuma mau bilang, besok tim dakwah kampus kita mengadakan
acara pesantren kilat dengan tema Amazing Ramadhan, dan akan melaksanakan acara
kemanusian juga bercerita tentang Palestina dengan menghadirkan syekh-syekh
langsung dari Palestinanya. Nah karena Kak Yusuf fasih berbicara dalam bahasa
mereka, semua panitia meminta Kak Yusuf untuk menjadi moderatornya. Bagaimana
?.”
“Loh, tidak coba
meminta bantuan para dosen untuk menjadi moderatornya ?.” tanyaku heran.
“Justru mereka
menyarankan kami untuk meminta bantuan Kak Yusuf.”
“Oh begitu, acaranya di
mulai dari jam berapa sampai jam berapa.?”
“Dari jam 9 pagi sampai
jam 4 sore Kak. Susunan acara dan segala persiapannya sudah kami siapkan. Kak
Yusuf tinggal langsung datang ke masjid kampus besok pagi.”
Akhirnya aku menutup
pembicaraan kami di telepon dengan menyetujui permintaan Indri untuk menjadi
moderator acara dakwah kampus.
***
Keesokan harinya.
“Kuliahmu tidak libur
Suf.?” Tanya ibu saat aku meminta izin pamit padanya yang sedang membersihkan
teras rumah.
“Libur bu, tapi
sekarang ada undangan dari anak-anak untuk ikut serta dalam acara mereka. Yusuf
pamit ya bu. Asslamu’alaikum.” Jawabku sambil mencium tempurung tangan kanan
ibu. Ibu mengusap ubun-ubunku dengan lembut kemudian seperti biasa saat melepas
kepergian anak-anaknya dengan sebuah pesan, ‘Hati-hati ya Nak’.
Aku melihat ayah sedang
memberi makan ayam-ayamnya di kebun. Aku memutuskan untuk langsung pamit tanpa
meminta izin padanya. Hal ini sudah biasa, setiap aku berangkat aku memang suka
mencium tangan ibu tapi aku tidak mencium tangan ayah, dia juga tidak bilang
apa-apa dengan sikapku yang jelas membedakan rasa hormat pada ibu dan
padanya. Saat aku mencium tangannya bisa
di hitung hanya beberapa kali dalam setahun, terutama saat hari idul fitri dan
perayaan-perayaan lainnya.
Pagi itu aku jalan dari
rumah menuju ujung gang lalu menunggu angkutan umum yang setiap hari melintas
jalan raya menuju kampus. Di jalan-jalan sudah sibuk dengan orang-orang yang
berlalu lalang, hari libur yang cerah di manfaatkan untuk jalan-jalan bersama
keluarga, kekasih dan teman-teman. Tak banyak juga karyawan yang lembur bekerja
di hari libur. Beberapa angkot masih mengetem di pinggir jalan, tak segera
melintas di depanku yang sudah menunggu 3 menit lamanya. Aku lihat anak-anak
yang sedang berlarian di atas trotoar saling kejar-kejaran dengan temannya, ada
juga yang iseng mengejar anak burung pipit yang sedang berjemur, hinggap di
bangku taman yang di tanam di atas trotoar jalan. Anak burung itu hanya bisa
meloncat-loncat kecil mencoba menghindar dari kejaran anak-anak yang iseng. Anak-anak
itu tertawa riang, fikiran yang bebas tak ada beban dan yang mereka fikirkan
hanya kesenangan dan main-main.
5 menit berlalu, ada
angkot yang melintas di depanku. Aku mencoba menyetopnya.
“Ke kampus ya Bang.” Kataku
yang melongo di jendela mobil sebelum masuk ke dalam.
“Ok Mas, masuk-masuk.”
Jawab supir angkot mengangguk, mempersilahkan.
Saat aku akan melangkah
masuk, ada seseorang yang berteriak memanggil namaku, seketika menghentikan
langkahku.
“Kak Yusuf mau ke
kampus kan ? bareng Indri saja Kak.” Kata Indri manawarkan. Ternyata Indri yang
memanggil namaku dan menghentikan motor maticnya tepat di belakang angkot yang
akan ku naiki.
“Eh.?” Aku ragu
menerima tawaran Indri, aku melihat supir angkot memasang muka masam padaku.
Indri yang tahu gelagatku langsung menarik lenganku menjauh dari pintu angkot.
“Tidak apa-apa ya Bang,
satu penumpangnya aku curi hehehe.” Indri tersenyum ramah. Supir angkot itu
sudah menancap gas melajukan mobil angkotnya, jauh meninggalkan kami yang masih
diam di pinggir jalan.
“Kak Yusuf saja yang
bawa motornya ya Dri, boleh.?” Tanyaku pada Indri.
Indri menolehkan
pandangannya padaku.
“Iya, boleh Kak. Pasti
Kakak malu ya kalau di boncengin cewek.?” Senyuman yang manis menyungging di
bibirnya, meledekku.
Aku hanya tersenyum,
mengangguk.
10 menit kami sampai di
kampus. Sudah banyak peserta pesantren kilat yang memenuhi masjid kampus. Aku
dan Indri langsung pergi ke ruang panitia dan di sambut ramah oleh tim dakwah
kampus. Mereka terlihat senang Indri berhasil membujukku untuk ikut serta dalam
acara mereka. Sebenarnya aku bukan anggota tim dakwah kampus tetapi karena
mereka disarankan oleh dosen untuk mengajakku dan aku pun tidak bisa menolak.
Aku mengenal Indri saat pertama kali masuk kuliah, namun hanya sekedar kenal
dan tak begitu dekat.
Sebelum acara di mulai,
semua panitia sibuk mengecek segala peralatan, hadiah, konsumsi dan mengecek
peserta yang ikut dalam acara pesantren kilat. Ternyata semua peserta tak hanya
mahasiswa dan mahasiswi kampus saja, mereka juga mengajak ibu-ibu pengajian
yang tinggal di sekitar kampus, anak-anak TK, SD, SMP hingga SMA.
Penanggung jawab acara
tersebut sudah memberikan beberapa susunan acara dan pidato pembuka acara
tersebut yang di hadiri oleh penanggung jawab tim dakwah kampus sekaligus dosen
kami Pak Ahmad Sanusi dan Bu Jannah sebagai perwakilan para dosen kampus. Aku
sudah mondar-mandir di masjid kampus, ikut merapikan barisan anak-anak SD yang
sedari tadi berlarian di dalam masjid. Panitia lainnya sibuk mengecek
mickropon, menata makanan di atas meja, mengangkut aqua botol yang akan di
bagikan, ada juga yang jadi dokumentasi sibuk jeprrett sana, jepreett sini
mengambil gambar yang bagus.
Dan acara akhirnya di
mulai. Perasaanku sedikit gugup melihat para peserta pesantren kilat yang
banyak hampir memenuhi masjid kampus, bagian anak-anak sengaja di pisahkan dari
anak remaja dan ibu-ibu, mereka di tempatkan di lantai atas. Seperti biasa
acara di mulai dengan sambutan-sambutan dari dosen, ketua pelaksana dan
perwakilan dari ibu-ibu pengajian. Ternyata acara yang diadakan begitu padat,
sambil menunggu tamu istimewa dari Palestina datang, panitia sudah menyiapkan
beberapa permainan, dan beberapa narasumber lainnya. Seperti seorang motivator
dan seorang aktivis.
Dalam mengisi
kekosongan waktu, para panitia mengadakan lomba sambung ayat dan lomba
hapalan-hapalan surat. Dan siapa yang memenangkan lomba itu tentu saja
mendapatkan bingkisan special dari panitia. Yang di ikut sertakan dalam lomba
hanya anak-anak SD dan SMP sedangkan SMA dan ibu-ibu pengajian hanya menonton,
duduk manis di atas karpet hijau, bersorak dan gregetan melihat anak-anak SD
dan SMP ketika lupa dengan ayat dari surat yang sedang mereka bacakan. Ada juga
yang terharu mendengar ayat-ayat yang dibacakan anak-anak dengan suara yang
melengking namun sangat menyentuh.
Suara takbir
menggemakan seluruh ruangan masjid ketika aku dan segenap panitia berseru.
Takbir!. Maka semua orang yang ada di masjid meneriakkan takbir yang membahana,
menggetarkan langit-langit masjid.
“ALLAHUAKBAR!”
Sudah hampir satu jam
berlalu. Panitia lainnya sudah memberikan kode kedipan padaku untuk
menghentikan permainan, mengingat waktunya sudah habis dan akan di isi oleh
seorang aktivis setelah shalat dzuhur.
Saat itu kami semua di
berikan tontonan yang lucu dan memotivasi kami semua, tak heran kalau kami
semua tertawa bersamaan ketika melihat video-video lucu yang di pertontonkan. Kami
semua diberikan ilmu, beberapa tips untuk menjadi remaja yang kreatif dan
inovatif.
Setelah
acara kami di selingi dengan acara sholat dzuhur bersama dan tadarusan. Para
peserta pesanren kilat di bimbing oleh satu panitia untuk membaca ayat Al-Qur’an.
Beberapa anak-anak SD lantang membacakan surat-surat pendek dengan serempak,
lantang dan penuh semangat meramaikan suasana masjid. Dari halaman masjid,
hujan deras mengguyur membasahi rumput-rumput masjid dan sekelilingnya. Acara
kami mulai kembali.
“Baik, untuk seluruh
peserta pesantren kilat Amazing Ramadhan acaranya kita mulai kembali. Untuk
peserta yang masih memandang hujan di luar dipersilahkan untuk masuk kembali ke
dalam masjid.” Suaraku memecah keramaian baik di dalam masjid maupun di luar
masjid. Anak-anak yang sedang berlarian langsung mencari posisi duduk yang
nyaman, bersandar pada tiang-tiang masjid. Mengisi pojokan dan tempat yang
dekat dengan jendela. Berhimpit-himpitan.
“Ayo yang depan dulu di
isi.” Kataku. Mengatur barisan yang masih acak-acakan, numpuk di belakang dan
yang depan dibiarkan kosong.
“Ayo anak-anak SD
sekarang bergabung, kalian isi barisan paling depan. Ayo.!” Seru panitia yang
sibuk mengiring anak-anak ke barisan depan.
Lima belas menit kami
mengatur barisan supaya terlihat rapi.
“Kalian masih
semangat.?” Tanyaku saat memulai acaranya kembali.
“MASIH KAK.!” Jawaban
serempak dari semua peserta.
“Ah kurang semangat, masih
ada yang tidur-tiduran, menyender ke tiang-tiang dan dinding. Ayo kita takbir
biar tambah semangat ya.” Kata Indri yang tiba-tiba membantuku untuk memandu
acaranya. Dia tersenyum melihatku. Aku hanya mengangguk, membalas senyumannya.
“Takbir.!” Seruku.
“ALLAHUAKBAR.!”
“sekali lagi, jawab
yang lebih keras dan lebih bersemangat. TAKBIR.!”
“ALLAHUAKBAR.!”
Seruan takbir semua
peserta begitu bersemangat, menyamarkan suara air hujan yang deras di luar
masjid. Seorang narasumber yang seorang aktivis sudah siap untuk memberikan
cerita dari pengalamannya menjadi seorang aktivis atau memberikan kami
benih-benih motivasi lagi. Entahlah. Ini acara ketiga untuk menyambut
kedatangan syekh dari Palestina yang belum juga terlihat di lokasi.
Satu jam berlalu. Aktivis
itu hanya membahas semua prestasinya sedari kecil hingga sekarang. Dengan
bangganya menjelaskan satu persatu prestasi yang telah dia raih meskipun
tahunnya sudah terlewat lampau. Sampai-sampai saat dia mendapat juara tujuh
belas agustusan saja dia bahas. Satu jam yang membosankan. Jujur saja aku
kurang suka dengan orang yang membangga-banggakan prestasi di masalalunya,
terlihat sekali seperti orang yang tidak percaya diri dengan memanfaatkan
prestasi-prestasinya untuk menarik perhatian. Dari peserta saja sudah banyak
yang menguap, selonjoran dan bahkan anak-anak SD yang di depan saja tiduran
karena bosan, kehilangan semangat. Waktu yang diberikan untuk seorang aktivis
itu sampai dua jam. Kalau suasananya begini terus lama kelamaan peserta
diam-diam pada pulang atau bahkan ketiduran.
Hujan semakin deras
mengguyur, sesekali suara petir menyambar, sinarnya menyala berkelebat memantul
hingga ke dalam masjid. Suasana agak sedikit menyenangkan karena seorang
aktivis itu mulai berinteraksi dengan pesertanya, memandu kita untuk bermain
game ala aktivis lebih tepatnya melatih kita untuk konsentrasi sebelum dia
benar-benar memulai materi. Anak-anak SD menyambut begitu antusias. Anak-anak
SMP dan SMA malas-malasan menuruti perintahnya. Setelah itu materi ia berikan,
dia membahas kegiatan seorang aktivis yang sudah dia kerjakan. Tak hanya itu
dia juga membuat sebuah grup untuk penggalangan dana bagi masyarakat yang membutuhkan
bantuan. Mendirikan sanggar-sanggar untuk anak jalanan dan berbagai program
kerja lainnya. Dia berhasil menarik perhatian peserta dan membuat peserta
ber-‘Wah’, kagum dengan kegiatan-kegiatan yang di lakukan seorang aktivis.
Di akhir acara, aku tidak
menyangka kalau akan ada acara renungan setelah mendengarkan materi yang cukup
membosankan. Kami semua yang ada di seluruh masjid berdiri dari tempat duduk,
menundukan kepala, memejamkan mata dan siap mendengarkan sebuah renungan yang
akan di komandoi oleh seorang aktivis itu. Hal seperti ini biasanya akan
menguras air mata, memanggil jiwa kita dan membuka hati yang telah lama
tertutup. Ini sebuah pencerahan, aku juga ikut menundukan kepala.
Sebuah gambar kematian
menjadi pembuka sebuah renungan. Menggambarkan tentang kita yang sedang
sakaratul maut. Lagu yang menjadi pengiring renungan pun lembut terdengar
menyatu dengan keadaan, mengombang-ambingkan perasaan. Melukiskan imajinasi
yang menyedihkan dan menyeramkan. Beberapa menit berlalu sudah terdengar isak
tangis peserta yang begitu menghayati renungan, tangan-tangan mereka sudah
merogok kantung baju dan tas mereka hendak mengambil sebuah tissue. Tak terasa
renungan itu sedikit demi sedikit telah membuka mata hatiku, tetesan air mata
membahasi pipi ketika seorang aktivis itu menggambarkan sebuah kematian seorang
ibu. Aku langsung teringat ibu di rumah. Membayangkan saat aku pulang dari
acara ini melihat ibu yang sudah di bungkus dengan kain kafan membungkus
tubuhnya yang mungil. Tak terlihat lagi senyum di wajahnya yang kini telah
pucat. Ketika aku tak bisa lagi mencium kedua tangannya. Renungan tentang ibu
sering aku dengar, aku juga sering larut di dalamnya. Membayangkan tubuh ibu
yang terkujur kaku, membeku. Dalam tangisku, aku mencoba menepis perkataan
aktivis itu yang terus membawa imajinasi kami ke dalam kesedihan. Ada peserta
yang langsung terduduk, tidak tahan menangis tersedu-sedu memanggil ibunya. Aku
yang masih menangis dan memejamkan mata, menggeleng-gelengkan kepala. Aku
membentak imajinasi, berseru tidak mau gambaran yang ada di kepalaku itu
terjadi. Kematian ibu.
Aktivis itu tak
henti-hentinya terus menguras airmata kami. Menjerumuskan kami dalam kesedihan.
Kini dia menggambarkan sosok ayah. Ayah ? aku rasa aku tidak akan menangis
untuknya, aku bisa menghentikan tangisanku. Aku rasa selama hidupku aku belum
pernah menangis untuknya, yang ada hanya menangis karenanya. Karena bentakannya
dan karena hal menyakitkan yang disebabkan olehnya. Mungkin hal itu karena
kebencianku padanya, aku tidak pernah menangis di dalam doa untuknya, aku lebih
mendominasikan doaku untuk ibu dan selalu menangis untuknya di banding harus
menangis untuk ayah yang aku benci selama 10 tahun ini. Tidak. Aku tidak akan
menangis untuknya.
Kapan terakhir kali aku
memeluk ayah ? kapan terakhir kali aku mencium tangannya ? bermain, bercanda
bersamanya, saling bertegur sapa. Dan kapan, kapan terakhir ayah bilang kalau
dia menyayangi aku, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.? Sialnya aku tidak bisa
mengelak, batinku sudah menangisi sosok ayah untuk pertama kalinya yang entah
kenapa aku begitu saja mudah terpancing untuk meneteskan airmata. Aku mengigit
bibir yang bergetar, masih tidak menyangka kalau aku bisa menangis untuknya.
Untuk seorang ayah yang selama ini aku benci. Entah kenapa hatiku seketika
memberikan maaf untuk kesalahan-kesalahannya di masalalu. Aku membayangkan aku
ingin berada dalam pelukannya yang hangat, mencium tangannya seperti aku
menghormati ibu. Aku ingin banyak berbicara dengannya yang selama ini aku hanya
bisa ungkapkan hanya lewat barisan kata yang tak pernah aku ucap, hanya aku
abadikan kepedihan hatiku itu dalam sebuah diary yang sudah penuh dengan
kata-kata kebencianku padanya.
Ayah, aku tahu. Mungkin
kami, anak-anakmu yang bebal saja sering mempertanyakan keadilan Tuhan tentang
mengapa kami di lahirkan sebagai anak yang memiliki ayah sepertimu. Kami sibuk
mengutuk dan mempersalahkan keadaan. Bertanya apakah Tuhan benar-benar adil ?
Renungan itu berakhir
saat syekh dari Palestina tiba. Indri yang melihatku menangis memberikan
selembar tissue padaku. Aku membayangkan wajahku yang sembab seusai menangis.
Malu-malu menerima selembar tissue dari Indri. Dengan gesit aku langsung menyibakkan
airmata yang masih tersisa membendungi pelupuk mata.
2 jam berlalu bersama
para syekh Palestina menjadi pengalaman yang tidak akan aku lupakan bisa
bercakap dengan mereka dan diberikan kesempatan untuk berfoto bersama. Selesai
acara aku langsung pamit pulang, izin tidak bisa ikut beres-beres semuanya. Aku
ingin cepat pulang, mengingat renungan tadi aku ingin segera bertemu dengan
ayah, mencium lengannya seraya meminta maaf padanya karena sikapku selama ini
membenci dirinya. Dari kampus aku langsung naik kendaraan umum. Rasanya resah
sekali saat angkutan umum yang ku naiki lamban sekali tiba di gang rumah, terjebak
macet. Aku memutuskan untuk turun dari angkot, lalu memilih untuk naik ojeg
sampai rumah. Bibirku bergetar menahan tangisan yang aku tahan, aku menyuruh
abang tukang ojeg ngebut dan nyalip sisi mobil yang tidak maju-maju.
“Ayo Bang ngebut saja.
Aku tidak apa-apa ko. Biar cepat sampai rumah nih.” Seruku pada abang tukang
ojeg.
“Bener nih Mas tidak
apa-apa aku ajak ngebut.?” Tanyanya sedikit ragu.
Aku hanya menganguk
yakin.
Seketika motornya
langsung melesat cepat, meliuk-liuk di jalanan mencari celah yang kosong. Air
di kubangan muncrat mengotori roda motor. Jalanan sedikit licin karena guyuran
air hujan. Dan entah kenapa motor yang kunaiki limbung saat mencoba menghindar
dari batu besar yang tertancap di pinggir jalan. Abang tukang ojeg tidak bisa
menyeimbangkan keadaannya. Dan kecelakaan itu tidak bisa terelakkan lagi. Aku
bersama tukang ojeg menubruk trotoar jalan, tumbuhku terbanting hingga 2 meter
dan langsung tidak sadarkan diri. Entahlah aku tidak tahu nasib tukang ojeg
yang aku ajak menantang maut itu seperti apa keadaannya.
***
1 minggu berlalu.
Kini aku menjalani
hari-hariku dengan amat berbeda. Aku melihat dunia amatlah gelap, tidak ada
cahaya dan keindahan alam yang bisa aku lihat. Bahkan aku tidak bisa menarikan
jari-jariku di atas keyboard. Kecelakaan itu telah mengambil panca indraku yang
amat penting. Aku mengalami kebutaan total. Entah benda apa yang masuk ke
mataku saat terjadi kecelakaan itu. Dokter tidak bisa banyak membantu. Aku
nyaris kehilangan semangat hidup. Aku hanya menatap dunia yang gelap, lenggang
tak ada cahaya yang bisa menuntun. Aku tidak tahu apakah ini sebuah azab karena
aku telah membenci ayah atau karena keimananku sedang di uji dengan di
hilangkannya panca indraku.
Tetapi Tuhan tidak
pernah lupa untuk selalu memberi hikmah dari suatu peristiwa menyakitkan yang
di alami oleh hambanya. Kebutaanku mampu membuka mata hati ayah. Saat aku
menangis untuk pertama kalinya. Ayah mendekapku, aku hanya bisa mendengar isak
tangisnya. Aku sentuh pipinya yang basah. ‘Ayah engkau menangis untukku ?’,
tanya hatiku. Perasaanku seperti tertikam beribu belati, amat perih. Begitu
menyesal atas semua rasa kebencianku selama ini pada ayah.
Saat di rumah sakit,
aku berbincang dengan ayah setelah sekian lama kami tidak berbicara.
“Ayah, maafkan kelakuan
Yusuf selama ini sudah membenci Ayah. Maafkan aku…” Kataku, meraba-raba wajah
ayah dengan kedua tanganku. “ayah janji sama Yusuf, jangan kasar-kasar lagi
sama ibu, jangan membentak ibu, Kak Irma, Kak Ismi dan Kak Andi.” Airmata yang
hangat mengalir di pipiku.
“Harusnya ayah yang
minta maaf padamu Suf, pada ibu dan pada kakak-kakakmu. Ayah yang keras kepala
dan tidak peduli dengan anak-anaknya. Ayah yang buru…”
“Sudah Ayah. Kami sudah
memaafkan kesalahan Ayah. Sedari kecil Yusuf ingin merasakan pelukan Ayah.”
Kata Kak Andi memotong pengakuan ayah.
Dan saat itulah. Di
usiaku yang ke-19 tahun aku merasakan pelukan ayah yang begitu hangat, badannya
bergetar karena terisak. Aku merasa bersyukur, tidak apa-apa Allah mengambil
salah satu panca indraku dan menggantikannya dengan nikmat kebahagiaan yang
lebih dari sekedar nikmat melihat.
1 bulan berlalu. Ayah
meninggalkan kami untuk selama-lamanya. Tidak ada yang tahu kalau ayah
meninggal karena sakit TBC stadium 4. Ayah begitu rapih menyembunyikan
penyakitnya. Hanya saat itu ayah ketahuan sejak memasak bubur untuk dirinya
sendiri tanpa meminta bantuan ibu atau Kak Irma dan Kak Ismi. Ayah menanggung
semuanya sendirian, tanpa ingin merepotkan kami. Saat itu ayah mendonorkan
kedua matanya untukku. Dia rela kedua matanya di ambil, untuk menebus kesalahan
yang dia perbuat di masalalu. Akhirnya aku bisa melihat dunia dengan kedua mata
ayah. Semua itu sudah menghapus rasa kebencianku padanya. Dan kini meskipun ini
amatlah terlambat, aku ingin mengatakan kalau aku bangga memiliki seorang ayah.
Dengan matanya aku akan lebih banyak menangis lagi untuknya. Dan kalian yang
masih memiliki seorang ayah, bergegaslah, lari padanya dan katakan. KALIAN
BANGGA MEMILIKI SEORANG AYAH.
TAMAT
*Rencanany cerita ini akan aku buat novel dan akan memakai ending yang berbeda dengan ini. Doakan ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar